Disclaimer:
Maaf banget untuk yang datang ke
blogku untuk membaca cerpen, aku sempat vakum bentar karena banyak kegiatan
kampus. Waktu untuk literasi terpakai semua untuk mengetik review. Ini cerita
pendek yang ku buat semenjak semester 2. Komen atau like OK!
Udara yang begitu berat untuk dihirup
menari di dalam ruangan. Cahaya neon yang lemah menjadi latar parade lampu LED
dari proyek-proyek yang sedang ku bangun. Satu-satunya suara yang menggetarkan
ruangan ini hanyalah raungan dinamo kipas yang ada di atas meja yang terletak
di sudut kanan garasi. Sangat sepi, sangat sunyi, sangat damai.
Sebuah surga bagi manusia-manusia teknik.
Suasana ruangan begitu dingin ketika
aku sedah bekeja di bengkel pribadiku. Lampu neon menemaniku selama aku sedang
bekerja. Aroma tungsten dan timah mengisi ruanganku bekerja seiring satu titik
timah menetes dari badannya menghubungkan
satu kabel kepada komponen lainnya untuk membangun motherboard dari
proyek pengembangan tenaga yang sedang kulakukan bagi perumahanku di Sangatta,
Kalimantan Timur.
Sejak insiden yang terjadi di Bermuda
kami hampir terancam akan dikeluarkan karena permasalahan nilai. Apa boleh
buat, itulah risiko dari penelitian. Aku menghubungi tiga rekan yang mengikutku
dan meminta mereka untuk menutup diri dari menghubungi satu sama lain. Meminta
mereka untuk tetap fokus membangun nilai mereka sampai kita dapat melalui
tingkat sarjana hingga tuntas. Dalam empat tahun dari sekarang kita baru dapat
berkomunikasi lagi, pada waktu kita semua telah bekerja.
Sekarang, setelah lima tahun berlalu
kami telah berbuat banyak bagi hidup masing-masing. David menguasai industri
elektronik dan telekomunikasi dengan kantor pusat yang ia letakan di Kendari.
Aku kurang mengetahui untuk keberadaan Sandi sekarang, selama lima tahun ini
dia sulit untuk dihubungi bahkan, SMS yang kami tinggalkan bagi dia belum di
balas olehnya. Untuk Ahmad, ia memilih untuk bekerja di kantor assembly milik
Astra Motors. Cukup mengecewakan namun, jika dia bangga tidak apa-apalah.
Setidaknya kami bisa hidup dengan tentram.
Tetapi itu tidak bertahan lama. Sejak
kami menjalani kehidupan kami banyak orang yang termotivasi untuk membangun
secara independen. Menurutku untuk permasalahan ini justru lebih baik bagi
masyarakat. Membangun ikatan dan kesempatan bagi orang-orang yang tidak
memiliki pekerjaan. Namun, untuk politik ini merupakan kekacauan yang cukup
keras menampar negara. Perusahaan-perusahaan minyak, elektronik dan teknologi
dari Jepang hingga ke Eropa Barat memilih untuk mencabut ikatan kerja yang
akhirnya membawa kami kepada krisis tenaga dan barang konsumsi publik. Hanya
satu negara yang tersisa — walau kita masih menjadi bagian dari ASEAN — yaitu
Russia. Dari semua bagian Eropa, hanya negara itu yang tersisa. Mereka
mendukung dengan berbagai kemampuan yang mereka punya untuk mengusahakan negara
ini tetap berdiri.
Bagi beberapa bagian dari provinsi,
bantuan mereka merupakan dukungan yang cukup signifikan, terutama di bidang
tenaga. Generator air laut, ladang panel surya, bahkan, ada yang menggunakan
nuklir sebagai sumber tenaga listrik. Namun, sangat disayangkan bagi Papua.
Keberadaan Freeport — yang tetap keras kepala dan serakah,
mempertahankan kontrak mereka — menghalangi persebaran bantuan tenaga
ini. Menyebabkan sulitnya integrasi negara dengan penyebaran tenaga.
Itulah yang memulai pertemuan kami
kembali. Tepat pada pukul 05.00 pintu rumahku diketuk. Dalam keadaan itu, aku
masih tertidur lelap. Sampai ketika mereka memilih untuk mendobrak pintuku.
Mataku langsung terbuka lebar. Beruntung aku tertidur dengan seragam bengkelku, jumpsuit dengan
mantel pengaman. Aku menuruni tangga dan menemukan empat orang telah menungguku
di sofa. Mereka hanya memperhatikanku, tanpa berkata sedikit pun. Ternyata, ada
orang kelima yang bersembunyi di sebelah tangga menyambutku dengan sapu tangan
berlumur chloroform. Pandanganku
perlahan menjadi buyar hingga akhirnya gelap gulita.
Sebuah cahaya terang mengejutkanku.
Dengan bersikeras aku berusaha untuk membuka mata. Tentu saja setiap orang akan
panik jika ia mengetahui dirinya telah terbangun, bukan di tempat tinggalnya
sendiri. Inilah yang terjadi padaku saat membuka mata. Tanpa memperhatikan, aku
menggeliat untuk meminta di lepaskan dari kursi ini. Sampai seorang letnan
menghampiriku, menuntutku agar tenang terlebih dahulu agar dapat mempermudah
penjelasan. Maka aku diam menahan emosi. Saat kuperhatikan, aku menyadari dua
rekanku dari perjalanan kami di Bermuda berada dalam ruangan yang sama,
terborgol di kursi di seberang meja. Aku mengarahkan pandanganku ke tengah meja,
dan gambar yang berada di tengah meja itulah yang memberitahuku di mana aku dan
kedua temanku berada. Kami berada di ruang rapat BIN. Namun, ada satu yang
menggangguku hal yang sangat menggangguku. Jika aku dan tiga rekanku bisa
berada di sini, mengapa Sandi tidak ada? Apakah mereka melupakan dia atau tidak
mengenalnya? Dan kemudian pertanyaan itu terjawab.
Dari kejauhan —memandang dari
lokasi aku sedang duduk — pintu ruangan terbuka. Sungguh ini
merupakan kejutan bagiku dan teman-temanku. Sandi memasuki ruangan dengan
seorang ajudan di sebelahnya. Di belakang dia ada tiga orang pengawal milliter,
satu dari Russia dan dua orang Indonesia. Pembawaan dia bagaikan seseorang yang
penting di dalam instansi, dengan berhiaskan mantel laboratorium. Saat ia sampai
di ruangan ia tidak langsung menduduki kursi yang telah disediakan, justru
menyambut kami.
"Hey, apa kabar kawan-kawan
lamaku?"
Aku ingin menyambut balik dia namun,
aku tidak bisa. Emosiku langsung meluap karena ia menghubungi kita sama sekali.
"Ke mana saja kau! Lima tahun,
lima tahun! Dan tidak ada satu pun pesan yang kau balas kembali bung!"
"Hey, hey tenanglah
kawan. Aku dapat menjelaskan semua pada kalian."
"Kalau begitu" sahut David,
"jelaskan pada kami. Setidaknya itu hutangmu pada kawan-kawanmu!"
"Tentu. Jadi seperti ini, kalian
semua masih mengingat bukan insiden mengerikan yang berada di bermuda. Seperti
yang kau telah jelaskan padaku, Enock, sebuah 'portal waktu' terbuka menghisap
kita satu per satu. Aku juga mengalami itu namun, portal tersebut tidak
mengantarku pulang melainkan mengunciku di celah waktu — mohon maaf
bagi yang tidak mengerti cukup memperhatikan saja curhat kami. Aku tersangkut
di sana cukup lama hingga tiba-tiba sebuah celah muncul. Ada robekan kecil di
ruang hampa itu, aku kurang tahu penyebabnya tetapi, dalam situasi seperti itu
tentu kau tidak akan memperhatikan hal teknis seperti itu. Maka aku menggunakan
celah itu untuk menyelamatkan diriku. Akhirnya aku mendapati diriku dalam ruang
ini."
Setelah aku mendengar itu aku sedikit
lega. Aku dapat menganggap wajar mengapa dia tidak menjelaskan. Namun, ternyata
cerita dia tidak berhenti di situ. Justru hal ini cukup menegejutkan kami
semua.
"Namun, inilah yang akan membuat
kalian kebingungan. Aku mendarat di sini pada tahun 2001. Tahun yang sama
ketika Bakin mengalami restrukturasi menjadi BIN. Dan seiring waktu aku mulai
menyadari. Keberadaan ku di dalam celah waktu mempengaruhiku juga. Waktuku
menjadi irrelevan di dalam dunia yang membuatku terkunci dalam keadaan seperti
ini. Aku tidak dapat lapar, lelah, maupun istirahat.
"Selama tahun-tahun itu aku
berada di sini. Menjadi bahan juga pemandu penelitian si bidang pengembangan.
Diantara kegiatan-kegiatan itu, aku menceritakan kepada mereka tentang
petualangan kita. Mereka sedikit tertarik tentang apa yang kita pahami dan
mengasumsikan bahwa kalian bertiga, ditambah aku dan beberapa orang lain mampu
untuk menghadapi krisis sekarang."
"Baiklah" Ahmad menyahut,
"apakah yang kalian percayakan pada kami? Juga bagaimana kami membantu
kalian dalam rencana kalian?"
"Lebih baik aku menunjukan
langsung saja pada kalian."
Borgol kami dilepaskan oleh keamanan
yang selanjutnya mengarahkan kami menuju ruang penelitian. Ruangan tersebut
merupakan ruangan yang cukup luas. Tidak tampak terlalu mewah tetapi,
setidaknya layak untuk bekerja dengan keadaan prima. Seutuhnya, tempat itu
terbagi dua sisi. Kanan digunakan sebagai hangar dan kiri sebagai bengkel
pembangunan, seperti mesin, generator, juga beberapa hal lainnya yang dianggap
penting bagi negara. Kami diarahkan kepada satu titik ruangan yang di sana ada
benda yang cukup besar. Terbagi dalam tiga keping dengan total setengah lebih
panjang dari menara reciver telekomunikasi.
Dua orang perwira dari Russia menarik tirai yang menutupi benda tersebut. Dan
tampaklah sebuah benda besar — tampak seperti miniatur dari gedung Empire State — berlapis
dengan perak. Kepingan ketiga dari struktur tersebut menjulur sekumpulan kabel
yang sepertinya merupakan serat optik.
"Inilah," dengan percaya
diri Sandi menyahut, "karya yang telah dikembangkan olehku selama aku
menghilang. Mungkin masih kasar namun, aku yakin. Bantuan dari kalian dapat
mewujudkan rancangan ini."
"Dan apakah rancangan itu?"
sahut David.
"Sebuah transmiter energi kawan.
Alat ini menyalurkan listrik melalui udara dengan konsep radiasi. Listrik akan
dikirimkan dengan menginduksi unsur hidrogen yang kemudian ditangkap oleh salah
satu reciver ini."
Kuakui tawaran ini cukup gila dan juga
menarik. Walau aku sesungguhnya ingin menolaknya. Tetapi, mau atau tidak mau
tentu aku wajib untuk menerimanya. Keberadaan aku dan dua kawanku — aku
tidak menghitung Sandi karena alasan yang cukup gamblang — di dalam
bangunan BIN sudah menyatakan bahwa, kami telah sah terlibat dalam proyek ini.
Jika kami menolak pun, jaminan kami selamat meninggalkan bangunan ini hilang.
Sehingga kami tentu tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakannya.
"Sekiranya" tanya Ahmad,
"estimasi rancangan ini dapat diwujudkan dalam rentang waktu berapa?
Menghitung dari jumlah sumber daya sekarang."
Pertanyaan tersebut dibalas langsung
oleh perwira dari TNI. Ia memberikan kami data-data logistik dan statistika
proyek ini. Tertera jumlah sumber daya — dalam rupa grafik tentunya — yang
cukup signifikan untuk menyelesaikan tiga kota dalam lima tahun, tiga setengah
tahun jika efektif. Keuangan juga tertera di dalam. Cukup mengejutkan untuk
mengetahui proyek ini menggunakan budget yang cukup kecil untuk skala antar
provinsi. Namun, dalam kondisi tertentu, mereka telah memilih tiga kota
terdekat di dalam satu provinsi sebagai lokasi uji coba dari proyek ini.
Kalimantan Tengah, Sampit, Gunung Mas, dan Murung Raya yang dipilih sebagai
lahan uji coba.
"Sebelum itu," Sandi
menyelip "kami memiliki permasalahan. Sistem transmiter yang kami buat
masih belum sempurna. Masih terdapat permasalahan dalam rangkaian sistem
distorsinya. Kami sedikit sulit untuk menyesuaikan medan yang akan kami gunakan
untuk mengionisasi hidrogen dalam jumlah yang cukup sedikit, juga mengatur
tekanan udara yang di lalui menjadi sempit. Itu semua untuk menghindari adanya
kemungkinan radiasi berkepanjangan."
Ku akui, tawaran ini semakin
menantangku. Sebuah proyek, yang mungkin, baru dikembangkan oleh kedua negara
yang terlibat — Russia dan Indonesia — dalam bidang
persebaran tenaga. Dari sudut pandangku, proyek ini dapat menjadi sejarah baru
dalam dunia sains. Aku dapat membayangkan negara-negara Eropa Barat menarik
lidah mereka ke dalam tenggorokan ketika mendengar berita ini. Maka aku
berunding dengan kawan-kawanku. Hasil yang kami dapatkan adalah persetujuan.
Kami segera memulai proyek ini. Namun,
aku merasa ada satu informasi yang kurang. Sumber tenaganya dari mana?
Menyadari itu aku langsung berbalik dan menahan Sandi di lengan kanannya,
sebelum dia meninggalkan ruangan. Menanyakan sumber tenaga yang akan digunakan
untuk mengalirkan listrik ke daerah-daerah yang ditentukan. Dia menjawab dengan
begitu simpel padaku, sumber tenaga akan disambungkan melalui reaktor nuklir
dari salah satu mothership milik
Russia. Cukup membingungkan tetapi, bisa dipahami sedikit. Lalu aku berlanjut
kepada proyek yang akan kami jalankan. Sandi mengawasi dari ruang supervisor.
Terus berlanjut sebagai rutinitas lima tahun lamanya.
Memang cukup sulit menjalankan proyek
ini selama lima tahun. Menyembunyikan fakta adanya proyek kerja sama negara
dengan negara lain dalam perkembangan teknologi. Berkali-kali aku harus
membatalkan rapat dalam bisnis bengkelku. Jarang mengurus rumahku sendiri. Hampir
setiap hari aku terpaksa memakan masakan dari luar untuk menghemat piring.
Sangat boros pola makan seperti ini. Tetapi, apa boleh buat? Aku tidak ada daya
untuk menolak BIN.
Transmitter telah siap. Sekarang para
pihak KGB sedang mengangkut ketiga reciver kepada tiga daerah
yang telah ditentukan. Hanya tinggal menyambungkan kepada reaktor yang berada
dalam kapal induk. Kami berempat diangkut mnggunakan truk mercedes tua milik
TNI. Aku memperhatikan sekelilingku. Selama proyek ini, aku selalu bertanya-tanya
di manakah lokasiku. Dan secara tidak langsung pertanyaan itu terjawab. Riak
air dan peluit kapal menggaungkan simfoni yang sangat khas di telingaku. Hanya
satu tempat yang memiliki riak setenang ini dan raungan yang seperti itu, juga
tempat itu tidak begitu jauh dari rumahku. ‘Pelabuhan Marine’. Ternyata aku
tidak meninggalkan kota ku selama empat tahun. Aku masih berada di kotaku
selama ini tanpa menyadarinya.
Tangan kananku kujulurkan kepada
Sandi, lalu mencolek dia.
“San, San? Kita masih di Sangatta ya?”
Dibalas olehnya dengan kejutan yang
tidak menyenangkan bagiku. Dia menghantam mulutku dan menarik seluruh kepalaku
ke sebelah pundak dia. Di sebelah telingku dibisikannya.
“Dengar kawan, aku tahu kau mengenal
daerah ini dengan baik. Tetapi, aku tidak mau kawan-kawan kita dalam bahaya
mengerti!”
Kudapati suatu yang tidak nyaman
mengenai bisikan itu seakan-akan ada nada keterpaksaan ang disembunyikan oleh
Sandi. Mungkin, dia sangat baik untuk menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi,
pesan itu memaparkan semuanya secara gamblang walau hanya sejenak.
Tidak lama kami tiba di pelabuhan.
David, dengan sikap frontalnya langsung menuruni truk dan mencari ‘sumber
tenaga nuklir’ yang dibahas sebelumnya. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
menyindir kompetensi dari para agen-agen Rusia dan kedisiplinannya. Kemudian
terdengar gemuruh dan riak yang seiring menari di gendang telinga. 1,5
kilometer dari pesisir, terlihat air membelah menjadi dua dan ditengahnya
beranjak sebuah menara besi yang berbentuk sirip setinggi lima meter naik ke
permukaan laut.
Kami berempat tercengang melihatnya.
David, karena malu menelan lidahnya dalam-dalam. Pasukan Rusia mengntarkan kami
ke pelabuhan. Kami telah ditunggu oleh anggota militer Indonesia dan Rusia yang
sedang duduk di atas perahu karet berwarna abu-abu. Satu persatu kami
diturunkan keatas perahu. Sandi labih dulu turun, lalu kami bertiga menyusul.
Saat semua sudah siap, kami berlayar mendekati kapal selam Rusia itu.
Ada lima personil tentara Rusia telah
menunggu untuk mengantarkan kami ke dalam perut kapal selam. Semuanya
berhiaskan warna merah dan hijau. Sungguh pengap bahkan, aku sempat meragukan
kapal ini adalah kapal selam terbaik di dunia. Tetapi, bukan itu yang harus
kami fokuskan. Ukuran dimensi dari kapal inilah yang sangat vital bagi proyek
ini. Kami berempat berjalan dari atas menara kapal menuju ruang mesin.
Sepanjang jalan ini terasa sangat pengap. Berbagai pipa oksigen yang menunjukan
indikasi tekanannya ditahan demi menjamin kelangsungan hidup awak kapal. Kami
akhirnya tiba di ruang mesin.
Didapati ruangan itu benar-benar luas
juga begitu panas. Begitu banyak tikar wool digulung rapih dan diletakan di
kanan ruangan. Sandi menanyakan ini kepada salah satu awak kapal selam ini. Dia
mengangguk mengerti. Sesudah itu Sandi menjelaskan kepada kami.
“Mereka bilang, bagian yang dahulunya
digunakan sebagai ruang tidur awak mesin mereka bongkar. Pemerintahan Rusia
sangat ingin mendukung proyek ini. Jadi dari perintah langsung olehnya, kami
harus menyediakan ruang bagi kalian.”
“Terus,” sahut Ahmad “panas ini dari
mana?” Sandi menanyakan kembali.
“Dia bilang, sistem sirkulasi ruang
ini juga harus dibongkar untuk mempermudah akses ke ruang mesinnya.”
“Jadi bagaimana dengan radiasinya? Apa
kalian bodoh? Kita bisa mati di sini jika radiasi itu menembus besi-besi ini!”
teriak David.
Satu awak kapal Rusia yang bersenjata
menahan menghadang David dengan satu tangan kemudian menggumamkan bahasa Rusia.
Sandi membantu membuat David paham. Dijelaskan bahwa pipa-pipa untuk sirkulasi
tersebut memang dibongkar namun, dialihkan keluar kapal. Menjamin radiasinya
tetap terisolasi.
Masih merasa tidak tenang maka Sandi
mengantar David keluar dari kapal selam. Ditemani untuk menghirup udara segar
lautan agar dia tenang. Sementara aku dan Ahmad menetap dan menahan rasa
pengap, melanjutkan kegiatan. Awak kapal yang berada di belakangku meminjamkan
meterannya padaku. Kami berdua mulai bekerja.
Dua jam belum berlalu tetapi, itu
tidak menghalangi mereka. Semua material dan kepingan-kepingan yang akan
disusun sebagai transmiter ion plutonium untuk mendistorsi molekul udara agar
dapat mengirimkan listrik. Di ujung kru pengiriman supply, David dan Sandi
menyusul dari belakang. Sepertinya dia telah siap untuk melaksanakan proyek
ini. Dengan semangat David menyambar alat-alat untuk membangun. Bergerak dengan
gesit dan teliti merangkai komponen demi komponen. Kami pun mengikuti.
Jam demi jam berlalu dan kami tidak bisa
merasakannya. Kami terus saja melanjutkan pekerjaan dengan giat. Panas yang
kami rasakan akhirnya terlupakan. Termakan rasa bangga akan kesempatan untuk
membuat suatu mahakarya dalam sejarah sains Indonesia. Tiba-tiba terdengan
suara dentingan ketika kami bekerja. Semuanya berhenti seketika. Dari atas
datang TNI melaporkan ada seekor buaya yang tidak sengaja menabrak kapal ini.
Semua menampakan raut wajah yang kebingungan. Bertanya-tanya, mengapa bisa ada
seekor buaya di lautan. Ahmad menoleh manghadapku, dan perlahan
disusul oleh personil yang berdada di dekatnya. Aku memberi penjelasan singkat
kepada mereka, mengenai kondisi alam daerahku, dan akhirnya kami kembali
melanjutkan pekerjaan.
Mahakarya telah lahir dari dalam rahim
ibu sains. Proyek kami menjadi instrumen simfoni tenaga yang akan menjadi
penolong bangsaku dan negara tetangga. Tahap terakhir hanya menuangkan
komposisi harmonis dari arus listrik yang melayang di udara. Kehormatan
diberikan kepada David, sebagai orang yang meragukan keberhasilan proyek ini,
agar merasa sedikit malu untuk memperkirakan kemungkinan itu. Satu buah tekanan
lembut pada tombol merah yang ada pada kendali jarak jauh transmiter. Simfoni
mulai.
Awalnya muncul sebuah dengungan yang
menggaung di dalam ruangan. Kemudian, penurunan temperatur ruangan menyusul.
Hanya dalam hitungan detik setiap personil yang ada di dalam kapal selam
mendapat laporan keberhasilan reciever menyalurkan
listrik ke daerah-daerah uji coba. Kami semua bangga mendengar kabar itu.
Akhirnya kami bukan bangsa terbelakang yang bisa dibodohi oleh korporasi minyak
di luar sana. Kami menetukan untuk mengatur sebuah jadawal pengawasan selama
enam bulan untuk memastikan kestabilan alat yang kami berempat telah ciptakan.
Dua bulan berlalu dan proyek ini berjalan
begitu lancar. Desa-desa yang kami jadikan sebagai tempat uji coba mendapati
tenaga tanpa henti. Pengairan, penerangan dalam rumah, dan alat-alat produksi
yang memerlukan listrik semua telah aktif. Seakan-akan daerah uji coba kami
berada di ambang moderenisasi itu sendiri. Tidak lagi memerlukan bantuan dari
kota-kota besar yang telah memiliki kemajuan. Bahkan, mereka memproduksi alat
produksi mereka sendiri walau, masih dengan bahan-bahan terbatas. Setidaknya
ada bukti kebaikan dari alat ini, terutama dalam aspek produksi. Tetapi,
kebesaran ini tidak bertahan lama. Di samping semua kebaikan yang dibawakan
alat ini ada efek fatal yang terjadi pada alat itu sendiri. Aku mendapati
keadaan itu ketika telah giliranku dan Sandi untuk mengadakan maintenance terhadap transmiter yang
telah kami buat. Tanpa kami duga temperatur dalam ruang nuklir kembali
meningkat. Lebih berbahaya dari sebelumnya. Semua awak telah mengevakuasi diri
ke permukaan laut, ditopang kapal karet. Hanya aku, Sandi, dan beberapa
insinyur kapal selam dilapisi pakaian anti-radiasi. Kami menyadari bahwa,
ketika alat itu telah diaktifkan tidak ada cara lain untuk mematikannya. Dua
hal yang mungkin dilakukan hanya mempertahankan atau menghancurkan alat itu.
Dan kami sebagai sang pencipta pasti akan mempertahankan keberadaan alat ini.
Kami membongkar transmiter itu
dengan teliti. Dan perkomponen kami tidak menemukan apa-apa sama sekali. Tidak
ada yang meleleh, gosong, ataupun overheat. Semua
tampak normal, sampai kami mengeluarkan pendeteksi panas. Kami menangkap cahaya
yang tidak wajar menyembur dari pengirim sinyal itu sendiri. Terlihat sebuah
distorsi pada sinyal yang di kirimkan namun, yang aneh adalah bentuknya bukan
sebuah gelombang. Lebih terlihat seperti ion-ion yang mengampelas udara – atau
terlihat seperti itu. Aku tidak menyadarinya tetapi, Sandi melihatnya sejelas
semburan cahaya matahari pagi. Ada kilatan kecil merobek di dinding kiri kapal
selam.
“Keluar sekarang!” teriak Sandi"
Mereka terlambat, aku dan beberapa awak yang mengawasi terlempar ke kabin
tengah kapal. Aku mengangkat badan sambil merintih, mendapati Sandi di
hadapanku menatap dengan penuh ketakutan kepada ruang mesin. Aku menoleh untuk
mencari tahu apa yang telah ku lewati. Dan itu menjadi sebuah penyesalan yang
mendalam. Empat lubang hitam meledak dalam ruang mesin. Cincin lubang itu
didiasi oleh petir dan warna kecoklatan dari tubuh tentara yang terurai. Begitu
mencekam pemandangannya. Wajah-wajah mereka yang mengecil dengan raut ketakutan
memandang nasib tragis yang tidak diharapkan.
“Enock!” teriak Sandi padaku. “Kau langsung ke ruang kendali. Bilang pada
kapten untuk menenggelamkan kapal ini!”
“Mau bilang bagaimana San? Aku tidak tahu bahasa Rusia.”
“Dia bisa bahasa
Indonesia, ngomong saja sudah! Kalau kita lama-lama kita bakal mati tertelan
empat lubang hitam terkutuk ini, mengerti! Cepat! Cepat! Cepat!”
Aku berlari melompati perkakas-perkakas tentara yang tergeletak di atas permukaan
lantai teratas kapal ini. Langkah kakiku melompat lebih tinggi daripada rusa
atau pelari halang rintang. Saat kakiku mendarat pada papan yang ada di dekat
pintu ruang kendali, aku terpeleset dan melesat kepada pintu besi dengan begitu
anggun, menari-nari di
dalam neraka. Sebelum
aku bisa bercumbu dengan lantai besi kapal selam, tangan dari nahkoda kapal ini
menarik ku berdiri. Aku membalas terimakash dengan meneriakan “DIVE!” ke dalam
telinga nahkoda. Dia memahami teriakanku dan menyampaikannya kepada operator
yang berada di belakang dia dengan menggunakan bahasa Rusia. Semua alarm
berdering menandakan adanya peningkatan tekanan.
“Enock!” berteriak Sandi dari kejauhan. Aku langsung berlari menuju suara dia.
Sebelum aku bisa mendekat dua tentara menahan
badanku dan menyeretku ke belakang menuju dek tengah. Salah satu anggota TNI
memegang seling yang terikat pada converter dari
generator nuklir kapal selam tersebut. Aku diseret keluar dari kapal dengan
menggunakan peralatan scuba. Aku
sudah tahu apa yang akan terjadi dan Sandi harus dikorbankan lagi. Semoga tidak
sia-sia.
Semua personil telah keluar dari kapal kecuali satu. Aku menatap ke bawah,
memandang kapal selam yang mengekerut dan implode bersama-sama
dengan temanku, Sandi. Aku hanya bisa menahan nangis. Aku menatap ke atas pada
permukaan laut dengan berharap ada sebuah mukhjizat dari Tuhan agar temanku
bisa kembali. Lalu, air yang cerah itu menjadi riak, tangan-tangan personil
darat mengangkat kami ke atas. Aku terkejut ketika, Sandi menarikku dari atas
tanah.
“Tahu kah kau kalau aku bisa warp?”
Dengan rasa sedih yang tinggi dan kejengkelan sejati aku menampar si bangsat
itu. Dia telah mengeksploitasi perasaanku namun, aku tidak apa-apa karena kami
berdua berakhir saling berpelukan. Setelah kami berdua saling berbaikan ada
hubungan dari daerah-daerah uji. Laporan mereka sungguh mengejutkan. Semua
transmiter aktif. Efek samping yang terjadi adalah perumahan-perumahan yang
masih menggunakan lampu pijar tidak kuat untuk menampung arus yang berlalu –
dengan kata lain, meledak. Namun, proyek itu tidak sia-sia. Ada harapan untuk
bangsa kita.
Oleh: Bara D. Thording Sitohang