Rabu, 29 Juli 2020

Notifikasi

Mohon maaf kawan-kawan yang biasa mampir buat cek blog ini. Proyek web novel-ku, aku tarik sementara. Aku membaca ulang tulisan-tulisan lamaku. Jujur aku risih membaca draft-nya. Naskahnya terasa sangat terpaksa. Situasiku agak sulit saat itu jadi, agak buru-buru.

Sekarang waktuku mulai luwes. Aku punya banyak waktu untuk mem-PW-kan diri saat menulis.

Mohon ditunggu bos!

Salam,
Thording

Senin, 13 Juli 2020

Audio Log 5 - Kegiatan Sosial


Aku mempertanyakan semua parade yang katanya untuk kebaikan tetapi, belum berbuat kebaikan.

Support Podcastku lewat link ini bro!!!:
https://tokopedia.by/barasitohang

Audio Log 4 - Egois


Aku cerita tentang keegoisanku.

Support Podcastku lewat link ini bro!!!:
https://tokopedia.by/barasitohang

Audio Log 3 - Curhat



Aku curhat tentang permintaan pacarku untuk menulis buku.
Support Podcastku lewat link ini bro!!!:
https://tokopedia.by/barasitohang

Audio Log 2 - Aku Tidak Suka di Depan Kamera



Judulnya udah menceritakan semua.
Support Podcastku lewat link ini bro!!!:
https://tokopedia.by/barasitohang

Audio Log 1 - Internet Crash



Aku mengamuk karena internetku down.
Support Podcastku dengan belanja di link di bawah Lihat profil ini, deh! Ada produk pilihan buatmu, lho:
https://tokopedia.by/barasitohang

Podcast Disclaimer

Aku mulai semua proyek pribadiku dari awal. Pendekatan yang aku buat memang salah gara-gara aku berharap kalau proyek podcast sama cerita yang aku buat bakal populer secara instan, padahal harusnya aku paham kalau semua harus mulai pelan-pelan. Sekarang aku tidak memakai podcast Rangkuman Kampus lagi. Aku membuat podcast baru "Audio Log Bara". Semua ide dan pendapat pribadi ada dalam podcast itu. Enjoy.

Empat Ruang Menjadi Satu

Disclaimer:
Maaf banget untuk yang datang ke blogku untuk membaca cerpen, aku sempat vakum bentar karena banyak kegiatan kampus. Waktu untuk literasi terpakai semua untuk mengetik review. Ini cerita pendek yang ku buat semenjak semester 2. Komen atau like OK! 

Udara yang begitu berat untuk dihirup menari di dalam ruangan. Cahaya neon yang lemah menjadi latar parade lampu LED dari proyek-proyek yang sedang ku bangun. Satu-satunya suara yang menggetarkan ruangan ini hanyalah raungan dinamo kipas yang ada di atas meja yang terletak di sudut kanan garasi.  Sangat sepi, sangat sunyi, sangat damai. Sebuah surga bagi manusia-manusia teknik.

Suasana ruangan begitu dingin ketika aku sedah bekeja di bengkel pribadiku. Lampu neon menemaniku selama aku sedang bekerja. Aroma tungsten dan timah mengisi ruanganku bekerja seiring satu titik timah menetes dari badannya menghubungkan satu kabel kepada komponen lainnya untuk membangun motherboard dari proyek pengembangan tenaga yang sedang kulakukan bagi perumahanku di Sangatta, Kalimantan Timur.

Sejak insiden yang terjadi di Bermuda kami hampir terancam akan dikeluarkan karena permasalahan nilai. Apa boleh buat, itulah risiko dari penelitian. Aku menghubungi tiga rekan yang mengikutku dan meminta mereka untuk menutup diri dari menghubungi satu sama lain. Meminta mereka untuk tetap fokus membangun nilai mereka sampai kita dapat melalui tingkat sarjana hingga tuntas. Dalam empat tahun dari sekarang kita baru dapat berkomunikasi lagi, pada waktu kita semua telah bekerja.

Sekarang, setelah lima tahun berlalu kami telah berbuat banyak bagi hidup masing-masing. David menguasai industri elektronik dan telekomunikasi dengan kantor pusat yang ia letakan di Kendari. Aku kurang mengetahui untuk keberadaan Sandi sekarang, selama lima tahun ini dia sulit untuk dihubungi bahkan, SMS yang kami tinggalkan bagi dia belum di balas olehnya. Untuk Ahmad, ia memilih untuk bekerja di kantor assembly milik Astra Motors. Cukup mengecewakan namun, jika dia bangga tidak apa-apalah. Setidaknya kami bisa hidup dengan tentram.

Tetapi itu tidak bertahan lama. Sejak kami menjalani kehidupan kami banyak orang yang termotivasi untuk membangun secara independen. Menurutku untuk permasalahan ini justru lebih baik bagi masyarakat. Membangun ikatan dan kesempatan bagi orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan. Namun, untuk politik ini merupakan kekacauan yang cukup keras menampar negara. Perusahaan-perusahaan minyak, elektronik dan teknologi dari Jepang hingga ke Eropa Barat memilih untuk mencabut ikatan kerja yang akhirnya membawa kami kepada krisis tenaga dan barang konsumsi publik. Hanya satu negara yang tersisa — walau kita masih menjadi bagian dari ASEAN — yaitu Russia. Dari semua bagian Eropa, hanya negara itu yang tersisa. Mereka mendukung dengan berbagai kemampuan yang mereka punya untuk mengusahakan negara ini tetap berdiri.

Bagi beberapa bagian dari provinsi, bantuan mereka merupakan dukungan yang cukup signifikan, terutama di bidang tenaga. Generator air laut, ladang panel surya, bahkan, ada yang menggunakan nuklir sebagai sumber tenaga listrik. Namun, sangat disayangkan bagi Papua. Keberadaan Freeport — yang tetap keras kepala dan serakah, mempertahankan kontrak mereka — menghalangi persebaran bantuan tenaga ini. Menyebabkan sulitnya integrasi negara dengan penyebaran tenaga.

Itulah yang memulai pertemuan kami kembali. Tepat pada pukul 05.00 pintu rumahku diketuk. Dalam keadaan itu, aku masih tertidur lelap. Sampai ketika mereka memilih untuk mendobrak pintuku. Mataku langsung terbuka lebar. Beruntung aku tertidur dengan seragam bengkelku, jumpsuit dengan mantel pengaman. Aku menuruni tangga dan menemukan empat orang telah menungguku di sofa. Mereka hanya memperhatikanku, tanpa berkata sedikit pun. Ternyata, ada orang kelima yang bersembunyi di sebelah tangga menyambutku dengan sapu tangan berlumur chloroform. Pandanganku perlahan menjadi buyar hingga akhirnya gelap gulita.

Sebuah cahaya terang mengejutkanku. Dengan bersikeras aku berusaha untuk membuka mata. Tentu saja setiap orang akan panik jika ia mengetahui dirinya telah terbangun, bukan di tempat tinggalnya sendiri. Inilah yang terjadi padaku saat membuka mata. Tanpa memperhatikan, aku menggeliat untuk meminta di lepaskan dari kursi ini. Sampai seorang letnan menghampiriku, menuntutku agar tenang terlebih dahulu agar dapat mempermudah penjelasan. Maka aku diam menahan emosi. Saat kuperhatikan, aku menyadari dua rekanku dari perjalanan kami di Bermuda berada dalam ruangan yang sama, terborgol di kursi di seberang meja. Aku mengarahkan pandanganku ke tengah meja, dan gambar yang berada di tengah meja itulah yang memberitahuku di mana aku dan kedua temanku berada. Kami berada di ruang rapat BIN. Namun, ada satu yang menggangguku hal yang sangat menggangguku. Jika aku dan tiga rekanku bisa berada di sini, mengapa Sandi tidak ada? Apakah mereka melupakan dia atau tidak mengenalnya? Dan kemudian pertanyaan itu terjawab.

Dari kejauhan —memandang dari lokasi aku sedang duduk — pintu ruangan terbuka. Sungguh ini merupakan kejutan bagiku dan teman-temanku. Sandi memasuki ruangan dengan seorang ajudan di sebelahnya. Di belakang dia ada tiga orang pengawal milliter, satu dari Russia dan dua orang Indonesia. Pembawaan dia bagaikan seseorang yang penting di dalam instansi, dengan berhiaskan mantel laboratorium. Saat ia sampai di ruangan ia tidak langsung menduduki kursi yang telah disediakan, justru menyambut kami.

"Hey, apa kabar kawan-kawan lamaku?"

Aku ingin menyambut balik dia namun, aku tidak bisa. Emosiku langsung meluap karena ia menghubungi kita sama sekali.

"Ke mana saja kau! Lima tahun, lima tahun! Dan tidak ada satu pun pesan yang kau balas kembali bung!"

"Hey,  hey tenanglah kawan. Aku dapat menjelaskan semua pada kalian."

"Kalau begitu" sahut David, "jelaskan pada kami. Setidaknya itu hutangmu pada kawan-kawanmu!" 

"Tentu. Jadi seperti ini, kalian semua masih mengingat bukan insiden mengerikan yang berada di bermuda. Seperti yang kau telah jelaskan padaku, Enock, sebuah 'portal waktu' terbuka menghisap kita satu per satu. Aku juga mengalami itu namun, portal tersebut tidak mengantarku pulang melainkan mengunciku di celah waktu — mohon maaf bagi yang tidak mengerti cukup memperhatikan saja curhat kami. Aku tersangkut di sana cukup lama hingga tiba-tiba sebuah celah muncul. Ada robekan kecil di ruang hampa itu, aku kurang tahu penyebabnya tetapi, dalam situasi seperti itu tentu kau tidak akan memperhatikan hal teknis seperti itu. Maka aku menggunakan celah itu untuk menyelamatkan diriku. Akhirnya aku mendapati diriku dalam ruang ini."

Setelah aku mendengar itu aku sedikit lega. Aku dapat menganggap wajar mengapa dia tidak menjelaskan. Namun, ternyata cerita dia tidak berhenti di situ. Justru hal ini cukup menegejutkan kami semua.

"Namun, inilah yang akan membuat kalian kebingungan. Aku mendarat di sini pada tahun 2001. Tahun yang sama ketika Bakin mengalami restrukturasi menjadi BIN. Dan seiring waktu aku mulai menyadari. Keberadaan ku di dalam celah waktu mempengaruhiku juga. Waktuku menjadi irrelevan di dalam dunia yang membuatku terkunci dalam keadaan seperti ini. Aku tidak dapat lapar, lelah, maupun istirahat.

"Selama tahun-tahun itu aku berada di sini. Menjadi bahan juga pemandu penelitian si bidang pengembangan. Diantara kegiatan-kegiatan itu, aku menceritakan kepada mereka tentang petualangan kita. Mereka sedikit tertarik tentang apa yang kita pahami dan mengasumsikan bahwa kalian bertiga, ditambah aku dan beberapa orang lain mampu untuk menghadapi krisis sekarang."

"Baiklah" Ahmad menyahut, "apakah yang kalian percayakan pada kami? Juga bagaimana kami membantu kalian dalam rencana kalian?"

"Lebih baik aku menunjukan langsung saja pada kalian."

Borgol kami dilepaskan oleh keamanan yang selanjutnya mengarahkan kami menuju ruang penelitian. Ruangan tersebut merupakan ruangan yang cukup luas. Tidak tampak terlalu mewah tetapi, setidaknya layak untuk bekerja dengan keadaan prima. Seutuhnya, tempat itu terbagi dua sisi. Kanan digunakan sebagai hangar dan kiri sebagai bengkel pembangunan, seperti mesin, generator, juga beberapa hal lainnya yang dianggap penting bagi negara. Kami diarahkan kepada satu titik ruangan yang di sana ada benda yang cukup besar. Terbagi dalam tiga keping dengan total setengah lebih panjang dari menara reciver telekomunikasi. Dua orang perwira dari Russia menarik tirai yang menutupi benda tersebut. Dan tampaklah sebuah benda besar — tampak seperti miniatur dari gedung Empire State — berlapis dengan perak. Kepingan ketiga dari struktur tersebut menjulur sekumpulan kabel yang sepertinya merupakan serat optik.

"Inilah," dengan percaya diri Sandi menyahut, "karya yang telah dikembangkan olehku selama aku menghilang. Mungkin masih kasar namun, aku yakin. Bantuan dari kalian dapat mewujudkan rancangan ini."

"Dan apakah rancangan itu?" sahut David.

"Sebuah transmiter energi kawan. Alat ini menyalurkan listrik melalui udara dengan konsep radiasi. Listrik akan dikirimkan dengan menginduksi unsur hidrogen yang kemudian ditangkap oleh salah satu reciver ini."

Kuakui tawaran ini cukup gila dan juga menarik. Walau aku sesungguhnya ingin menolaknya. Tetapi, mau atau tidak mau tentu aku wajib untuk menerimanya. Keberadaan aku dan dua kawanku — aku tidak menghitung Sandi karena alasan yang cukup gamblang — di dalam bangunan BIN sudah menyatakan bahwa, kami telah sah terlibat dalam proyek ini. Jika kami menolak pun, jaminan kami selamat meninggalkan bangunan ini hilang. Sehingga kami tentu tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakannya.

"Sekiranya" tanya Ahmad, "estimasi rancangan ini dapat diwujudkan dalam rentang waktu berapa? Menghitung dari jumlah sumber daya sekarang."

Pertanyaan tersebut dibalas langsung oleh perwira dari TNI. Ia memberikan kami data-data logistik dan statistika proyek ini. Tertera jumlah sumber daya — dalam rupa grafik tentunya — yang cukup signifikan untuk menyelesaikan tiga kota dalam lima tahun, tiga setengah tahun jika efektif. Keuangan juga tertera di dalam. Cukup mengejutkan untuk mengetahui proyek ini menggunakan budget yang cukup kecil untuk skala antar provinsi. Namun, dalam kondisi tertentu, mereka telah memilih tiga kota terdekat di dalam satu provinsi sebagai lokasi uji coba dari proyek ini. Kalimantan Tengah, Sampit, Gunung Mas, dan Murung Raya yang dipilih sebagai lahan uji coba. 

"Sebelum itu," Sandi menyelip "kami memiliki permasalahan. Sistem transmiter yang kami buat masih belum sempurna. Masih terdapat permasalahan dalam rangkaian sistem distorsinya. Kami sedikit sulit untuk menyesuaikan medan yang akan kami gunakan untuk mengionisasi hidrogen dalam jumlah yang cukup sedikit, juga mengatur tekanan udara yang di lalui menjadi sempit. Itu semua untuk menghindari adanya kemungkinan radiasi berkepanjangan."

Ku akui, tawaran ini semakin menantangku. Sebuah proyek, yang mungkin, baru dikembangkan oleh kedua negara yang terlibat — Russia dan Indonesia — dalam bidang persebaran tenaga. Dari sudut pandangku, proyek ini dapat menjadi sejarah baru dalam dunia sains. Aku dapat membayangkan negara-negara Eropa Barat menarik lidah mereka ke dalam tenggorokan ketika mendengar berita ini. Maka aku berunding dengan kawan-kawanku. Hasil yang kami dapatkan adalah persetujuan.

Kami segera memulai proyek ini.  Namun, aku merasa ada satu informasi yang kurang. Sumber tenaganya dari mana? Menyadari itu aku langsung berbalik dan menahan Sandi di lengan kanannya, sebelum dia meninggalkan ruangan. Menanyakan sumber tenaga yang akan digunakan untuk mengalirkan listrik ke daerah-daerah yang ditentukan. Dia menjawab dengan begitu simpel padaku, sumber tenaga akan disambungkan melalui reaktor nuklir dari salah satu mothership milik Russia. Cukup membingungkan tetapi, bisa dipahami sedikit. Lalu aku berlanjut kepada proyek yang akan kami jalankan. Sandi mengawasi dari ruang supervisor. Terus berlanjut sebagai rutinitas lima tahun lamanya.

Memang cukup sulit menjalankan proyek ini selama lima tahun. Menyembunyikan fakta adanya proyek kerja sama negara dengan negara lain dalam perkembangan teknologi. Berkali-kali aku harus membatalkan rapat dalam bisnis bengkelku. Jarang mengurus rumahku sendiri. Hampir setiap hari aku terpaksa memakan masakan dari luar untuk menghemat piring. Sangat boros pola makan seperti ini. Tetapi, apa boleh buat? Aku tidak ada daya untuk menolak BIN.

Transmitter telah siap. Sekarang para pihak KGB sedang mengangkut ketiga reciver kepada tiga daerah yang telah ditentukan. Hanya tinggal menyambungkan kepada reaktor yang berada dalam kapal induk. Kami berempat diangkut mnggunakan truk mercedes tua milik TNI. Aku memperhatikan sekelilingku. Selama proyek ini, aku selalu bertanya-tanya di manakah lokasiku. Dan secara tidak langsung pertanyaan itu terjawab. Riak air dan peluit kapal menggaungkan simfoni yang sangat khas di telingaku. Hanya satu tempat yang memiliki riak setenang ini dan raungan yang seperti itu, juga tempat itu tidak begitu jauh dari rumahku. ‘Pelabuhan Marine’. Ternyata aku tidak meninggalkan kota ku selama empat tahun. Aku masih berada di kotaku selama ini tanpa menyadarinya.

Tangan kananku kujulurkan kepada Sandi, lalu mencolek dia.

“San, San? Kita masih di Sangatta ya?”

Dibalas olehnya dengan kejutan yang tidak menyenangkan bagiku. Dia menghantam mulutku dan menarik seluruh kepalaku ke sebelah pundak dia. Di sebelah telingku dibisikannya. 

“Dengar kawan, aku tahu kau mengenal daerah ini dengan baik. Tetapi, aku tidak mau kawan-kawan kita dalam bahaya mengerti!”

Kudapati suatu yang tidak nyaman mengenai bisikan itu seakan-akan ada nada keterpaksaan ang disembunyikan oleh Sandi. Mungkin, dia sangat baik untuk menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi, pesan itu memaparkan semuanya secara gamblang walau hanya sejenak.

Tidak lama kami tiba di pelabuhan. David, dengan sikap frontalnya langsung menuruni truk dan mencari ‘sumber tenaga nuklir’ yang dibahas sebelumnya. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menyindir kompetensi dari para agen-agen Rusia dan kedisiplinannya. Kemudian terdengar gemuruh dan riak yang seiring menari di gendang telinga. 1,5 kilometer dari pesisir, terlihat air membelah menjadi dua dan ditengahnya beranjak sebuah menara besi yang berbentuk sirip setinggi lima meter naik ke permukaan laut.

Kami berempat tercengang melihatnya. David, karena malu menelan lidahnya dalam-dalam. Pasukan Rusia mengntarkan kami ke pelabuhan. Kami telah ditunggu oleh anggota militer Indonesia dan Rusia yang sedang duduk di atas perahu karet berwarna abu-abu. Satu persatu kami diturunkan keatas perahu. Sandi labih dulu turun, lalu kami bertiga menyusul. Saat semua sudah siap, kami berlayar mendekati kapal selam Rusia itu.

Ada lima personil tentara Rusia telah menunggu untuk mengantarkan kami ke dalam perut kapal selam. Semuanya berhiaskan warna merah dan hijau. Sungguh pengap bahkan, aku sempat meragukan kapal ini adalah kapal selam terbaik di dunia. Tetapi, bukan itu yang harus kami fokuskan. Ukuran dimensi dari kapal inilah yang sangat vital bagi proyek ini. Kami berempat berjalan dari atas menara kapal menuju ruang mesin. Sepanjang jalan ini terasa sangat pengap. Berbagai pipa oksigen yang menunjukan indikasi tekanannya ditahan demi menjamin kelangsungan hidup awak kapal. Kami akhirnya tiba di ruang mesin.

Didapati ruangan itu benar-benar luas juga begitu panas. Begitu banyak tikar wool digulung rapih dan diletakan di kanan ruangan. Sandi menanyakan ini kepada salah satu awak kapal selam ini. Dia mengangguk mengerti. Sesudah itu Sandi menjelaskan kepada kami.

“Mereka bilang, bagian yang dahulunya digunakan sebagai ruang tidur awak mesin mereka bongkar. Pemerintahan Rusia sangat ingin mendukung proyek ini. Jadi dari perintah langsung olehnya, kami harus menyediakan ruang bagi kalian.”

“Terus,” sahut Ahmad “panas ini dari mana?” Sandi menanyakan kembali.
 
“Dia bilang, sistem sirkulasi ruang ini juga harus dibongkar untuk mempermudah akses ke ruang mesinnya.”
 
“Jadi bagaimana dengan radiasinya? Apa kalian bodoh? Kita bisa mati di sini jika radiasi itu menembus besi-besi ini!” teriak David.
 
Satu awak kapal Rusia yang bersenjata menahan menghadang David dengan satu tangan kemudian menggumamkan bahasa Rusia. Sandi membantu membuat David paham. Dijelaskan bahwa pipa-pipa untuk sirkulasi tersebut memang dibongkar namun, dialihkan keluar kapal. Menjamin radiasinya tetap terisolasi.
 
Masih merasa tidak tenang maka Sandi mengantar David keluar dari kapal selam. Ditemani untuk menghirup udara segar lautan agar dia tenang. Sementara aku dan Ahmad menetap dan menahan rasa pengap, melanjutkan kegiatan. Awak kapal yang berada di belakangku meminjamkan meterannya padaku. Kami berdua mulai bekerja.
 
Dua jam belum berlalu tetapi, itu tidak menghalangi mereka. Semua material dan kepingan-kepingan yang akan disusun sebagai transmiter ion plutonium untuk mendistorsi molekul udara agar dapat mengirimkan listrik. Di ujung kru pengiriman supply, David dan Sandi menyusul dari belakang. Sepertinya dia telah siap untuk melaksanakan proyek ini. Dengan semangat David menyambar alat-alat untuk membangun. Bergerak dengan gesit dan teliti merangkai komponen demi komponen. Kami pun mengikuti.
 
Jam demi jam berlalu dan kami tidak bisa merasakannya. Kami terus saja melanjutkan pekerjaan dengan giat. Panas yang kami rasakan akhirnya terlupakan. Termakan rasa bangga akan kesempatan untuk membuat suatu mahakarya dalam sejarah sains Indonesia. Tiba-tiba terdengan suara dentingan ketika kami bekerja. Semuanya berhenti seketika. Dari atas datang TNI melaporkan ada seekor buaya yang tidak sengaja menabrak kapal ini. Semua menampakan raut wajah yang kebingungan. Bertanya-tanya, mengapa bisa ada seekor buaya di lautan.  Ahmad menoleh manghadapku, dan perlahan disusul oleh personil yang berdada di dekatnya. Aku memberi penjelasan singkat kepada mereka, mengenai kondisi alam daerahku, dan akhirnya kami kembali melanjutkan pekerjaan.
 
Mahakarya telah lahir dari dalam rahim ibu sains. Proyek kami menjadi instrumen simfoni tenaga yang akan menjadi penolong bangsaku dan negara tetangga. Tahap terakhir hanya menuangkan komposisi harmonis dari arus listrik yang melayang di udara. Kehormatan diberikan kepada David, sebagai orang yang meragukan keberhasilan proyek ini, agar merasa sedikit malu untuk memperkirakan kemungkinan itu. Satu buah tekanan lembut pada tombol merah yang ada pada kendali jarak jauh transmiter. Simfoni mulai.
 
Awalnya muncul sebuah dengungan yang menggaung di dalam ruangan. Kemudian, penurunan temperatur ruangan menyusul. Hanya dalam hitungan detik setiap personil yang ada di dalam kapal selam mendapat laporan keberhasilan reciever menyalurkan listrik ke daerah-daerah uji coba. Kami semua bangga mendengar kabar itu. Akhirnya kami bukan bangsa terbelakang yang bisa dibodohi oleh korporasi minyak di luar sana. Kami menetukan untuk mengatur sebuah jadawal pengawasan selama enam bulan untuk memastikan kestabilan alat yang kami berempat telah ciptakan.
 
Dua bulan berlalu dan proyek ini berjalan begitu lancar. Desa-desa yang kami jadikan sebagai tempat uji coba mendapati tenaga tanpa henti. Pengairan, penerangan dalam rumah, dan alat-alat produksi yang memerlukan listrik semua telah aktif. Seakan-akan daerah uji coba kami berada di ambang moderenisasi itu sendiri. Tidak lagi memerlukan bantuan dari kota-kota besar yang telah memiliki kemajuan. Bahkan, mereka memproduksi alat produksi mereka sendiri walau, masih dengan bahan-bahan terbatas. Setidaknya ada bukti kebaikan dari alat ini, terutama dalam aspek produksi. Tetapi, kebesaran ini tidak bertahan lama. Di samping semua kebaikan yang dibawakan alat ini ada efek fatal yang terjadi pada alat itu sendiri. Aku mendapati keadaan itu ketika telah giliranku dan Sandi untuk mengadakan maintenance terhadap transmiter yang telah kami buat. Tanpa kami duga temperatur dalam ruang nuklir kembali meningkat. Lebih berbahaya dari sebelumnya. Semua awak telah mengevakuasi diri ke permukaan laut, ditopang kapal karet. Hanya aku, Sandi, dan beberapa insinyur kapal selam dilapisi pakaian anti-radiasi. Kami menyadari bahwa, ketika alat itu telah diaktifkan tidak ada cara lain untuk mematikannya. Dua hal yang mungkin dilakukan hanya mempertahankan atau menghancurkan alat itu. Dan kami sebagai sang pencipta pasti akan mempertahankan keberadaan alat ini.

Kami membongkar transmiter itu dengan teliti. Dan perkomponen kami tidak menemukan apa-apa sama sekali. Tidak ada yang meleleh, gosong, ataupun overheat. Semua tampak normal, sampai kami mengeluarkan pendeteksi panas. Kami menangkap cahaya yang tidak wajar menyembur dari pengirim sinyal itu sendiri. Terlihat sebuah distorsi pada sinyal yang di kirimkan namun, yang aneh adalah bentuknya bukan sebuah gelombang. Lebih terlihat seperti ion-ion yang mengampelas udara – atau terlihat seperti itu. Aku tidak menyadarinya tetapi, Sandi melihatnya sejelas semburan cahaya matahari pagi. Ada kilatan kecil merobek di dinding kiri kapal selam.         
 
“Keluar sekarang!” teriak Sandi"
 
Mereka terlambat, aku dan beberapa awak yang mengawasi terlempar ke kabin tengah kapal. Aku mengangkat badan sambil merintih, mendapati Sandi di hadapanku menatap dengan penuh ketakutan kepada ruang mesin. Aku menoleh untuk mencari tahu apa yang telah ku lewati. Dan itu menjadi sebuah penyesalan yang mendalam. Empat lubang hitam meledak dalam ruang mesin. Cincin lubang itu didiasi oleh petir dan warna kecoklatan dari tubuh tentara yang terurai. Begitu mencekam pemandangannya. Wajah-wajah mereka yang mengecil dengan raut ketakutan memandang nasib tragis yang tidak diharapkan.
 
“Enock!” teriak Sandi padaku. “Kau langsung ke ruang kendali. Bilang pada kapten untuk menenggelamkan kapal ini!”
 
“Mau bilang bagaimana San? Aku tidak tahu bahasa Rusia.”
 
“Dia 
bisa bahasa Indonesia, ngomong saja sudah! Kalau kita lama-lama kita bakal mati tertelan empat lubang hitam terkutuk ini, mengerti! Cepat! Cepat! Cepat!”
 
Aku berlari melompati perkakas-perkakas tentara yang tergeletak di atas permukaan lantai teratas kapal ini. Langkah kakiku melompat lebih tinggi daripada rusa atau pelari halang rintang. Saat kakiku mendarat pada papan yang ada di dekat pintu ruang kendali, aku terpeleset dan melesat kepada pintu besi dengan begitu anggun, menari
-nari di dalam neraka. Sebelum aku bisa bercumbu dengan lantai besi kapal selam, tangan dari nahkoda kapal ini menarik ku berdiri. Aku membalas terimakash dengan meneriakan “DIVE!” ke dalam telinga nahkoda. Dia memahami teriakanku dan menyampaikannya kepada operator yang berada di belakang dia dengan menggunakan bahasa Rusia. Semua alarm berdering menandakan adanya peningkatan tekanan.
 
“Enock!” berteriak Sandi dari kejauhan. Aku langsung berlari menuju suara dia.
Sebelum aku bisa mendekat dua tentara menahan badanku dan menyeretku ke belakang menuju dek tengah. Salah satu anggota TNI memegang seling yang terikat pada converter dari generator nuklir kapal selam tersebut. Aku diseret keluar dari kapal dengan menggunakan peralatan scuba. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi dan Sandi harus dikorbankan lagi. Semoga tidak sia-sia.
 
Semua personil telah keluar dari kapal kecuali satu. Aku menatap ke bawah, memandang kapal selam yang mengekerut dan implode bersama-sama dengan temanku, Sandi. Aku hanya bisa menahan nangis. Aku menatap ke atas pada permukaan laut dengan berharap ada sebuah mukhjizat dari Tuhan agar temanku bisa kembali. Lalu, air yang cerah itu menjadi riak, tangan-tangan personil darat mengangkat kami ke atas. Aku terkejut ketika, Sandi menarikku dari atas tanah.  
 
“Tahu kah kau kalau aku bisa warp?”
 
Dengan rasa sedih yang tinggi dan kejengkelan sejati aku menampar si bangsat itu. Dia telah mengeksploitasi perasaanku namun, aku tidak apa-apa karena kami berdua berakhir saling berpelukan. Setelah kami berdua saling berbaikan ada hubungan dari daerah-daerah uji. Laporan mereka sungguh mengejutkan. Semua transmiter aktif. Efek samping yang terjadi adalah perumahan-perumahan yang masih menggunakan lampu pijar tidak kuat untuk menampung arus yang berlalu – dengan kata lain, meledak. Namun, proyek itu tidak sia-sia. Ada harapan untuk bangsa kita.

Oleh: Bara D. Thording Sitohang

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...