Pernahkah kalian merasa sang iblis
duduk tepat di sebelahmu? Rasa panas dan ratapan menghantui di setiap detik kau
bernafas. Maut seakan sedang berburu, menunggu mangsa selanjutnya yang melalui
jalurnya. Aroma tidak sedap, lebih parah daripada sekumpulan mayat yang
membusuk akan selalu menghiasi hari-harimu. Semua itu akan semakin mengenaskan
ketika engkau mengetahui iblis itu adalah kawan karibmu sendiri. Rasa aman,
tenang, dan tentram telah menjadi harapan belaka dalam hari-harimu hidup.
Itulah mimpi buruk yang menyambutku
sejak ia masuk ke dalam penjara ini. Hingga hari ini mimpi buruk itu
menyambutku setiap hari, dan hanya aku yang disambut. Semua rekan-rekanku telah
tiada dalam instansi ini. Ada yang telah mengundurkan diri juga yang tidak
bernyawa. Bukan karena waktunya namun karena direngut oleh sang iblis sendiri.
Tidak sampai di situ, hampir seluruh narapidana yang ada dalam instansi ini
telah berpulang karnanya. Setiap dinding penjara penuh warna merah dari darah
yang ia tumpahkan, bagai cat baru di permukaan dinding.
Kalau boleh jujur aku sendiri tidak
mengerti bagaimana aku dapat bertahan melakukan tanggung jawabku dengan
orang-orang yang berjumlah begitu kecil. Laporan dan perhitungan statistik
keuangan hanya di tanggung sekitar lima hingga enam orang dan dari orang-orang
yang ada aku menghitung penjaga dapur juga. Tetapi jika dipikirkan kembali,
dibandingkan dengan jumlah narapidana yang sekarang — ya sekarang, karena yang
lain telah tiada — kita mendapat beban pertanggung jawaba yang relatif lebih
ringan, walau sedikit berat untuk laporan karena jumlah kematian yang terjadi
karena dia. Tidak ada lagi yang dapat di lakukan oleh kami selain pasrah
terhadap situasi mengerikan ini.
Sabtu, 12 November pukul 19.05 jadwal shift
malamku. Pintu besar dengan tinggi sekitar dua setengah meter dari
permukaan tanah berbahan kayu Ulin menyambutku. Aroma amis darah pada dinding
menghantam hidungku bagai bola meriam yang melesat ke wajahku. Langkah demi
langkah aku melalui lorong ini dengan cahaya yang remang-remang, berusaha untuk
membiasakan dengan aroma busuk yang mengerikan ini. Dari posisiku berdiri aku
melihat menempel di dinding kiri lorong sebuah siluet tingginya sekitar 170-an.
Posisi dan bentuk siluet itu seakan-akan menungguku dari jarak lima meter aku
berdiri untuk, mengharapkan diriku mendatanginya. Jantungku berdebar cepat
seiring aku melangkah, semakin dekat semakin kencang. Perlahan juga siluet itu
semakin besar, seperti ia juga ingin mendatangiku hingga kami berdua saling
berhadapan.
"Halo kawan baikku." Dengan
nada yang begitu tenang seperti ayah kepada anaknya.
Tulang punggung ku menjadi es batu
ketika Arthur meletakan telapak tangannya di atas pundakku. Pandangannya begitu
tajam kepadaku, namun terlihat begitu tulus. Perihal ini membuat aku merasa
begitu bingung, karena setiap kali aku menjaga aku melihat pandangannya tidak
pernah ada tanda-tanda belas kasihan. Begitu kelam, sangat tersakiti, begitu
penuh rasa benci terhadap orang-orang di sekitarnya. Tetapi situasi ini,
sungguh aku tidak bisa menjelaskan.
"Bagaimana keluargamu Zein?"
"Eh, b, b, baik saja kok"
"Engkau kenapa? Seperti melihat
setan saja, haha."
Karena memang aku sedang berhadapan
dengannya.
"Yasudahlah tidak apa. Dengan
izinmu maukah kau mengunjungi selku? Aku ada hal yang harus kuceritakan
padamu."
Mau tidak mau aku pasti harus ke sana.
Tidak ada kesempatan untuk menghindari undangan dia. Maka aku hanya bisa
berkata, "Ok."
Setelah pertemuan itu aku
melanjutkan perjalananku ke sayap kiri bangunan. Listrik bangunan LAPAS ini
sangat payah, di setiap lorong-lorong hingga ruangan pasti saja ada listrik
yang drop, lampu pada lorong yang ku lalui pun hanya dapat berkedip.
Warna kelam terlihat bahkan dapat dirasakan sangat kental pada bangunan ini.
Aroma dari mayat yang telah kami buang dari bangunan ini masih tertinggal,
begitu pekat. Bahkan hingga aku telah memasuki ruang pengawasan yang cukup
kedap dari situasi di luar aroma busuk tersebut masih mampu mengikuti.
Setidaknya aroma kopi hangat yang telah menungguku di atas meja pengawasku
mampu menenangkan rasa pusing dari suasana yang begitu busuk ini.
Sekitar pukul 20.15 aku meninggalkan
ruanganku untuk berkeliling, mengawasi sudut demi sudut setiap sayap. Begitu
sulit bagi kami untuk mengitari bangunan ini dengan jumlah yang sangat sedikit
ini. Namun untuk kemungkinan bagi kami untuk celaka juga sedikit. Narapidana
yang tersisa sangatlah takut untuk bertingkah terhadap kami. Mereka semua
merupakan saksi hidup dari semua yang telah mati di bangunan ini, menyaksikan
dengan mata kepala mereka sendiri apa yang Arthur lakukan kepada kawan-kawan
seperkara juga kepada sipir LAPAS ini. Trauma mengerikan hingga hampir semua
yang tersisa untuk hidup katatonik ketika mendengar nama Arthur. Kakiku
membawaku ke lokasi sel. Senterku menyoroti ruangan demi ruangan. Wajah demi
wajah dan semuanya mengerikan, penuh rasa takut yang begitu besar. Satu napi
hanya bisa terduduk di pojok selnya mengayunkan badannya ke depan dan belakang.
Pandangan pada matanya, penuh rasa amarah dan takut, bibirnya terlihat
menggumamkan kata-kata. Aku berani bersumpah bahwa ia mengatakan "Aku
harus bertobat, iblis mengirim pemburunya untuk mengambilku." Bisa
kumaklumi jika kukaitkan dengan apa yang dilakukan Arthur.
Berlanjut terus hingga aku berada di
depan sel Arthur. Ia terlihat sedang duduk di atas kasur gantungnya. Badannya
yang sedikit jangkung, berisi dan bongkok, terlihat sangat mengintimidasi. Di
tangannya ia menggengam sebuah buku yang sepertinya berbungkuskan kardus yang
telah rapuh, tebalnya seukuran kamus bahasa. Tiba-tiba saja perlahan ia menoleh
kepadaku.
"Ah, kau sudah di sini," dia
mengatakannya bersamaan ketika ia berdiri dari kasurnya, perlahan mendekatiku
"ini yang ingin kutunjukan padamu Zein kawanku."
"Apa itu?"
"Ini harianku kawan. Setiap hari
engkau melihatku dengan pandangan bahwa aku adalah orang yang mengerikan, aku
memperhatikan itu. Namun pastilah engkau penasaran mengapa aku bisa seperti
ini."
"Engga kok." Ucapku dengan
begitu gemetar.
"Bos, kau bergetar dengan skala
dua richter tentulah saja kau pasti penasaran. Pada genggamanku ini merupakan
cerita mengapa aku bisa berakhir seperti ini."
Aku mengambil buku itu dari
genggamannya. Halaman demi halaman aku lalui. Ia menceritakan di sebelahku dari
balik jeruji besi setiap kali aku membuka halaman.
"Kau tahu ketika aku lulus dari
studiku di kriminologi aku memiliki hidup yang cukup mapan. Bekerja di Kompas TV
sebagai reporter, makan tiga kali sehari, sebuah rumah kecil di pojokan Bandung
Barat, dan sebuah mobil van Suzuki APV. Tidak banyak namun setidaknya cukup
untuk melalui hari-hari bukan?"
"Heh, ya setuju denganmu
bung."
"Ya, ya. Cukup menyenangkan ketika
semua itu bertahan. Sangat disayangkan ketika semua itu lenyap karena sebuah
proyek lapangan."
"Maksudmu?"
"Kau tidak tahu? Tenteng proyek
pembuatan lapangan latihan yang dilakukan di Bandung Barat?"
Aku hanya menggelengkan kepala.
"Baiklah karena kau kawan lamaku
akan kuceritakan padamu. Akan kuceritakan apa yang terjadi di sana dan
bagaimana kasus tersebut memposisikanku di sini. Menunggu jadwal
penggantunganku.
"Sabtu, 17 April. Aku telah
melupakan tahunnya karena sudah terlalu lama aku berada di balik jeruji ini.
Setidaknya aku masih mengingat kejadian itu bagaikan itu baru saja terjadi tadi
pagi. Baru saja aku pulang dari Jakarta setelah minggu-minggu yang begitu
melelahkan dari pekerjaanku, dengan harapan ketika aku sampai ke rumahku aku
dapat beristirahat dengan tenang. Tiba-tiba tepat 25 meter di depan kaca
mobilku telah siap dua buah tank panzer bersama selusin unit kontraktor dan
alat beratnya. Tentu saja — kalau kau mengenalku dengan baik — dengan
begitu santai aku melalui mereka, sambil berlaga bodoh aku bertanya kepada
polisi yang memegang toa melalui jendela mobilku. Aku memperhatikan nametag yang
ia kenakan, tertulis nama perwira 'Arief', di pundaknya ada dua label yang
menandakan ia seorang Iptu. Perawakannya seperti seorang pemain basket, tinggi
ramping dengan lengan yang sedikit lebih panjang dari yang seharusnya dan
jari-jari yang cukup luas untuk menggenggam bola basket. Wajah dia agak terang
berhiaskan jenggot yang menyatu dengan kumisnya. Aku mendapati sedikit
kesulitan untuk menentukan apakah dia orang manado atau sunda, tetapi tidak
masalah lah."
"Tunggu sebentar. Kau tadi
menyebutkan Iptu Arief?"
"Iya. Ada apa?"
"Bukankah ia meninggal karena
kecelakaan? Mobilnya selip kemudian terjebur di sungai, dalam koran disebutkan
bahwa leher dia patah ketika berkendara."
"Apakah kau memperhatikan
siapakah redaktur dan editor dalam artikel itu?"
"Kalau ku ingat kembali tidak.
Mengapa?"
"Aku yang menuliskannya
bung."
"Apa? Jadi?"
"Aku akan menjelaskan semuanya
padamu kawanku ok. Pasti kau akan mengerti ketika nyawamu terancam oleh orang
ini. Jadi, kembali lagi ketika aku pulang polisi dihadapanku menatap sinis
mataku. Nada amarah tertahan dan wajah yang merah padam menyemburku bagai
selang taman di pagi hari.
"'Tanah ini merupakan tanah milik
negara. Dalam waktu singkat ini tanah ini harus segera dikosongkan untuk
kepentingan perlindungan negara.'
"Tentu saja aku tidak mudah
menerima tanpa adanya bukti. 'Tunjukan padaku surat-suratnya biar kita bahas
dengan ketua RT di sini.'
"Tidak menerima apa perkataanku
ia menodongkan toanya kehadapanku dan berteriak tepat di depan wajahku.
'Pindah!'
"'Pak kalau kau seorang polisi
dan engkau mengerti apa tugasmu. Buktikan padaku surat-surat proyek itu untuk
di bahas lebih lanjut. Jika tidak aku mungkin saja akan menelfon atasanmu,
bahkan presiden pun bisa saya hubungi. Dan jika anda tetap tidak percaya akan
ku angkat HPku sekarang dan mebghubunginya.'
"Takut mengambil taruhan tersebut
ia membanting toa yang ada di tangannya dan kemudian ia mengangkat tangan
kirinya. Mengisyaratkan kepada para anggota dan kontraktornya untuk mundur.
Situasi mulai damai, aku melanjutkan perjalananku hingga ke rumahku. Sampah
daun yang perlahan mengering di lajur parkiran rumahku menyambut aku pulang.
Saking lelahnya aku bergegas menuju pintu, membukanya, sesampainya di dalam
kukunci kembali dan kemudian aku merebahkan diri di atas sofa.
"Malam tiba, aku masih tertidur
namun, kesadaranku mulai pulih secara bertahap. Kemudian aku mendengar ada
suara jejakan di halaman belakangku. Mataku terbuka dengan jantungku yang
berdebar kencang karena kaget. Aku langsung tiarap ke depan sofa, merayap ke
pintu kaca dapur. Melalui pintu kaca setinggi dua meter itu aku melihat ada dua
siluet mendarat di halaman belakangku, meringkuk menyelinap. Walau sedikit
buyar, sangat yakin aku melihat salah satu siluet itu menggenggam sebuah
senjata api. Aku kurang yakin untuk jenisnya, hanya menerka-nerka sepertinya
sebuah revolver. Sunggh sangat beruntung jika yang ia pegang adalah revolver,
aku mungkin dapat menghitung selongsongnya. Untuk mencari aman aku
menyembunyikan diriku di dalam laci perkakas dapur, hanya memiliki tiga alat
masak cukup menguntungkan bagi seorang jomblo.
"Cukup membosankan di dalam. Aku
menunggu hingga ada suara pintu yang bergeser namun belum ada bahkan, aku
hampir tertidur di dalam ruangan sempit ini. Namun, tiba-tiba terdengar suara
seseorang terjeduk. Aku kurang mengerti apa yang mengganjal dia sampai aku
mendengar suara yang familiar. Kursi dapurku terjatuh. Hentakannya membuatku
sadar seketika. Suara langkahnya terdengar begitu jelas. Aku menghitung setiap
langkah hingga aku tahu dia benar telah melaluiku.
"Suara hentakan telapak tangan
diatas meja wastafel terdengar jelas. Aku mengambil panci yang ada di dekat
pinggangku lalu keluar dari laci. Dalam sekajap aku menghantam dia di kening.
Saat ia jatuh salah satu tangan ku letakan di bawah lehernya dan satu menahan
dia di kening. Aku menarik dengan paksa hingga ia tak bernyawa. Untuk
sementara, mayat Arief ditinggal di dapur. Aku lanjut mencari orang yang kedua,
merangkak di dalam bayang-bayang furnitur rumah."
Mendengar bagian pertama dari
cerita ini mataku langsung terbelalak. Sungguh sulit untuk mempercayai yang
diceritakannya. Sudah bertahun-tahun aku mengenal dia tetapi, tidak pernah aku
mengenal dia sebagai orang ini. Orang yang begitu kejam, melebihi iblis itu
sendiri. Dia tersenyum ketika melihatku kaget. Pandangannya seakan dia
benar-benar melihatmu secara transparan. Kemudian dia menarik kembali wajahnya
dan melajutkan ceritanya padaku.
"Ternyata aku menemukan dia di
ruang tamu, sedang membongkar laci televisiku. Aku sedikit sulit menggambarkan
bagaimana orangnya karena iya sedang membungkuk. Kesempatan berada tepat di
depan mata. Di dekat televisi terdapat sebuah guci yang aku isi dengan payung
dan tongkatku. Aku mengambil tongkat. Perlahan aku mendekati dia di tengah
kesibukannya. Lalu tongkat itu telah menembusnya. Setelah semua menjadi sunyi
aku kembali duduk di sofaku. Merenungkan apa yang telah aku lakukan.
"Momen itu terinterupsi ketika
sebuah nada panggilan ponsel datang. Sangat yakin itu bukan milikku. Maka aku
mencari di tubuh kedua mayat yang tergeletak. Saat aku menggeledak mayat Arief
aku mendapati di saku dalam — aku benar bermaksud di dalam — celana Arief ada
sebuah ponsel. Sepertinya ponsel itu merupakan rakitan. Komponen yang digunakan
merupakan komponen untuk tipe ponsel rakitan. Bentuknya yang tipis dan
berbungkus materi yang kurang jelas dengan kabel-kabel menjalar keluar masuk.
"Panggilan itu terbuka. Muncul
suara yang cukup familier dari balik speaker. Jika aku benar, suara itu adalah
suara dari bupati kami. Irwin. Manusia yang paling rakus yang kutahu. Banyak
sengketa tanah yang melibatkan dirinya. Dan yang lebih kurang ajar adalah,
semua uang yang disubsidikan negara masuk ke kantongnya. Tidak pernah ada yang
mengkaji berita tentang dia karena hampir semua reporter di bawah genggamannya.
Beruntung baginya aku hanya sibuk di Jakarta. Sekarang semua telah usai.
"Kalimat pertama yang keluar dari
mulutnya yang ditanyakan padaku.
"'Bagaimana? Apakah keparat itu
telah dibereskan?'
"Aku hanya membalas dengan menggumam.
Keberadaan diriku tidak boleh diketahui olehnya.
"'Baiklah. Tabunganmu akan segera
kutransfer. Nanti akan ku kirimkan email, apa tugas selanjutnya.'
"Sekejap panggilan itu ditutup.
Aku langsung membuka kolom email. Data pada mailboxnya tertera dua email. Satu
notifikasi baru dan satu adalah pesan yang lama. Pesan yang lama dibuka, dan
aku jamin kau tidak akan percaya Zein apa yang kutemukan.
"Email tersebut adalah sebuah
surat persetujuan antara pebisnis terkenal China Zuang Li dan Irwin. Dia
menggunakan email gelap untuk menghindari pajak pembangunan. Di bawahnya
tertera lampiran nama yang akan terlibat. Ada lima nama tetapi, menurutku hanya
tiga yang cukup signifikan. Satu adalah mendiang Arief, kedua Irwin, dan tiga
adalah Hakim Chandra.
"Jujur aku tidak pernah mengenal
Hakim Chandra. Tetapi, banyak berita yang menggambarkan bagaimana kumpulan para
polisi — terutama para anggota korup yang kukenal — menyukainya. Sekarang aku
telah mengenal dia, karena dia bukan yang menentukan hukuman matiku?"
Aku hanya membalas dengan anggukan.
"Ya. Cerita berlanjut.
Menegetahui itu aku mempersiapkan target. Tujuan utama dari target itu, aku
ingin membuktikan kepada mereka yang korup bahwa mereka tak selamanya aman. Dua
kepala mereka yang akan menjadi contoh yang akan dan pasti membekas selamanya.
Nomor satu adalah Irwin. Aku mencari setiap berita yang mengubgkit tentang dia
pada harian-harian yang membusuk di dekat guci.
"Akhirnya aku menemukan satu. Ia
sedang mempersiapkan sebuah pidato. Dalam tiga hari dia akan menggelarnya di
lapangan bola lokal, sekitar 25 kilometer dari sini. Harinya telah ditentukan,
dan disitulah ia harus mati.
"Sisi lain cerita, aku baru
mengingat kedua mayat yang berada di dalam rumahku. Mengenali seragam yang
dikenakan okeh Arief tentu ku deduksi bahwa, dia pasti membawa kendaraan. Aku
berdoa dia membawa mobil dinas. Aku keluar dari pintu belakang untuk
memastikan. Beruntung sekali, mobil yang dibawa benar mobil dinas. Maka aku membawa
kedua mendiang itu lalu kuposisikan sedemikian rupa sebelum kujatuhkan ke
sungai. Agar terlihat lebih realistis aku merobek ban belakang dengan pecahan
beling dari botol YouC1000. Esoknya kubuat masyarakat yakin akan kecelakaan
mereka dengan membuat kolom berita itu."
Aku tidak dapat merespon dalam situasi
ini. Mendengarnya, semua bagian tubuhku — sumpah semua — mati rasa bahkan,
jejak aroma amis dari darah pun tidak lagi tercium. Nafasku semakin berat.
Rasanya aku ingin marah kepada Arthur, tetapi terasa sia-sia juga. Tidak
mungkin aku mampu melawan dia, argumen maupun fisik. Sepertinya aku hanya
berakhir menjadi penonton saja dari cerita ini. Dia menyadari keteganganku
tetapi, dia tidak merespon terhadap reaksi itu. Certianya tetap dilanjutkan olehnya.
"Aku tahu kau merasa risih bukan
Zein? Biarlah, aku tetap melanjutkan cerita. Mungkin ini dapat membuatmu mati
rasa sedikit nanti ketika melihat penggantunganku.
"Mengetahui Irwin adalah dalang
kejadian ini aku mengincar dia. Seperti yang telah kugambarkan sebelumnya,
melalui berita aku menelusuri kemungkinan yang tepat untuk mengakhiri dia.
"Rantai demi rantai rencana
disusun sedemikian rupa. Dalam waktu dekat semua harus dipersiapkan.
"Hari H tiba. Lapangan begitu
penuh dengan masyarakat lokal. Polisi memasang pagar betis, membentuk area
bagai sepetak sawah berisi manusia. Dalam kerumunan itu aku mengenakan pakaian
yang cukup kasual namun dapat menyembunyikan senjata yang kupersiapkan
untuknya.
"Di sinilah kebodohan terjadi.
Aku tidak sabar untuk mengakhiri dia sehingga aku melepaskan tembakan lebih
awal yang kemudian meleset. Dan memperburuk keadaan bagiku ketika ternyata aku
lupa untuk memasang peredam sehingga polisi mengetahui keberadaanku. Dari balik
kerumunan muncul satu orang yang menerjangku.
"Perawakannya kecil namun,
lincah. Dari tenaga, sepertinya ia seorang bintara. Terselempang senjata M16
padanya. Itulah yang menjadi kesempatanku untuk melanjutkan misiku.
"Kami berdua bergulat di tanah.
Cukup memerlukan usaha besar untuk mengangkat kami kembali berdiri. Aku
berusaha menggapai M16 yang terselempang padanya dan berhasil. Secara paksa aku
menarik senjata api itu dan kumuntahkan seluruh peluru ke atas panggung.
Sekitar empat polisi yang terkena luka, kurang tahu untuk berat atau ringan.
Tetapi, bagi Irwin nasibnya tidak begitu menguntungkan. Laporan firensik
menyatakan tiga peluru berhasil merobek aorta dia, sejajar.
"Semua masyarakat melarikan diri
dari area. Aku setelah melepaskan tembakan itu langsung menyerahkan diri kepada
polisi. Diadili dan sekarang aku berada di sini, dengan awal hukuman hanya
delapan tahun. Dan kemudian diadili kembali menjadi hukuman mati karena, ya kau
tahu sendirilah. Semua yang telah kulakukan di sini."
Begitu sulit dipercaya, melihat dia
tertawa terbahak-bahak ketika dicertiakan olehnya semua pemandangan buruk di
dalam penjara ini. Terutama ketika ia membunuh semua orang itu. Dari yang
memiliki hukuman yang sama yaitu, mati bahkan sampai kelas teri yang hanya
dapat melakukan penipuan maupun pencurian. Padahal aku di sebelahnya terduduk
dengan tegang. Memaksakan diri untuk kembali tenang dengan memandangi jam
tangan.
Sudah terlalu lama aku berada dalam
sel ini. Aku kaget ketika melihat dua jam telah kulalui mendengarkan cerita dia.
Aku meminta izin kepadanya untuk kembali kepada kantor tugasku. Dia mengizinkan
namun, dia menahanku untuk memohon sesuatu padaku.
"Lusa aku ingin kau menghadiri
eksekusiku ya kawan. Sebagai permintaan terakhir."
Tentu aku meng-iya-kannya.
Melihatku mengangguk membuat dirinya
tersenyum lega. Seakan bebannya telah dilepaskan semua. Air mukanya
menggambarkan ketulusan dirinya menerima akhir hidupnya lusa nanti.
Kembalilah diriku kepada tugasku di
ruang pengawasan. Berjalan menelusuri lorong-lorong amis menuju kantor. Dalam
hatiku, aku hanya bisa merenungkan akhir hidup kawan baikku. Perihal itu terus
mengalir di dalam kepala sampai-sampai itu membawaku ke dalam tangisan kecewa.
Lemahnya aku dalan berteman. Kuakui aku tidak dapat berbuat banyak baginya.
Bahkan, aku jarang menemui dia. Tetapi, sebagai seorang kawan aku harusnya
dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dia.
Pertengahan aku menangis, sebuah
panggilan masuk melalui radioku. Aku berusaha menahan kesedihan agar tidak
terdengar oleh mereka. Akan memalukan jika sampai mereka tahu. Dengan
mempertegas diri panggilan itu kuterima. Laporan yang sungguh mengejutkan yang
disampaikan. Hakim akan mengunjungi Arthur sendirian esok hari pukul 16.00. Mau
bagaimana pun aku dan pekerja lain yang tersisa harus bisa mempersiapkan
bangunan ini sebelum sang hakim tiba.
Hanya tinggal satu hari sebelum
eksekusi. Dan sesuai laporan pukul 16.00 Hakim Chandra telah berasa di tempat.
Ia menunggu di depan pintu untuk dijemput olehku. Saat aku bertemu dia, beliau
memintaku untuk langsung menuju ke sel Arthur. Sesampainya di sana ia memintaku
untuk pergi. Mengawasi pembicaraan mereka berdua dari ruang CCTV.
Sampainya di ruangan aku terkejut. Salah
saru laya yang tepat menghadap lorong sel Arthur hanya menunjukan layar hitam.
Padahal indikator menyatakan kamera dan laya televisinya aktif. Aku langsung
bergegas menuju sel Arthur aku khawatir nanti akan terjadi sesuatu. Tiba-tiba
sang Hakim yang hampir papasan denganku menahanku.
"Mengapa kau berlari-lari nak?
Tidak perlu khawatir ia sudah tidur kok. Persiapkan saja untuk hari esok
ya."
Aku hanya mengangguk kepada
peritahnya. Kemudian aku kembali ke kantor. Namun, ada satu yang sangat
menggangguku. Semua ini berlangsung terlalu cepat. Dan yang kemudian sangat
mengelitik perasaanku adalah pembawaan Hakim Chandra ketika berbicara padaku.
Pikiran ini menahanku terjada hingga hari eksekusi tiba.
Pagi menyingsing bangunan dari sayap
timur. Walau matahati hanya tampil setengah tetapi, itu tidak menahan rencana
eksekusi. Para petugas yang diminta untuk mengurus Arthur telah menjemputnya.
Aku masih menetap untuk membereskan bekas selnya dia. Telah kurencanakan untuk
menyusul saat Arthur akan di gantung di pelataran eksekusi.
Semua barang-barang yang ia tinggalkan
keubersihakan. Sambil membersihkan, melalui radio aku memperhatikan
perkembangan-perkembangan sebelum eksekusi mulai. Dia telah sampai pengadilan
ketika aku sedang membuka sarung bantal. Kemudian, aku menemukan sesuatu yang
ganjal pada bantalnya. Ada sebuah sobekan yang muat untuk dimasukan benda
seukuran kepalan tangan. Rasa penasaranku mengundang untuk membongkar isi
bantal itu dan aku sungguh tidak percaya apa yang kutemukan. Di dalam ada
sebuah suntikan, segulung benang jahit, dan sebuah silet yang telah berlumur
darah. Aku semakin panik ketika aku sadar bahwa darah tersebut masih segar.
Aroma darah itu menyadarkanku untuk segera bergegas sebelum eksekusi berjalan.
Tidak memperhatikan untuk mengunci
bangunan aku langsung bergegas ke lokasi eksekusi. Radio yang tercantol di
kopel-rimku mulai mengoceh. Diberitahukan bahwa, Arthur telah berada di atas
altar. Talinya telah dilingkarkan pada lehernya. Aku berteriak di radio,
memohon untuk menunda eksekusi. Namun, ada yang mengganggu sinyalku sehingga
pesanku tidak tersampaikan. Tidak ada pilihan lain, aku harus segera ke sana.
Gir mobil lansung pindah ke empat, semua aturan lalu lintas ku abaikan,
ambulans saja kalah oleh kecepatanku. Tetapi, akhirnya berakhir sia-sia.
Eksekusi telah dijalankan dan usai. Amarah tidak bisa kutahan. Sampai-sampai
spion yang tergantung di langit-lamgit mobil dinas kupatahkan. Namun, ini tidak
menghentikanku. Aku tetap berangkat untuk memastikan apa yang telah kucurigai.
Sesampaiku di sana aku meminta untuk
tim pengangkut untuk menahan pengiriman ke kamar mayat. Aku ingin memastikan
apa yang kucurugai. Aku pun tidak ingin mempercayainya, tudak mungkin Arthur
senekat itu. Jari-jariku meraba kepala belakang mayat itu. Saat jariku
menyentuh di bawah rambut di dekat lehernya, aku menjadi tegang. Semua organ
menjadi beku. Aku langsung mendekatkan kepalaku ke belakang kepalanya. Ternyata
benar. Ada jahitan yang membentang dari dari telinga ke telinga hingga ke bawah
leher. Ini hanya wajah, seluruh tubuh, semuanya adalah milik Hakim Chandra. Aku
langsung berdiri tegak mencari siapapun yang memiliki wajah sang hakim.
Pinggangku bergetar karena ponselku.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku langsung membukanya, aku
sangat yakin ini dari dia. Di dalamnya tertulis sebagai berikut.
"Terima kasih kawan engkau mau
hadir. Mohon maaf telah mengecewakanmu, ini hanya sesuat yang harus ku lakukan.
Aku harap kita akan bertemu di lain waktu, sebagai teman ke teman."
Dan pesan itulah yang ia tinggalkan
padaku. Aku tidak tahu apakah ini akhir atau permulaan. Yang kutahu aku hanya
bagian dari sesuatu yang dia rencanakan.
Oleh: Bara Daniel Thording Sitohang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar