Selasa, 18 Oktober 2016

Harian Seorang Pembunuh

Pernahkah kalian merasa sang iblis duduk tepat di sebelahmu? Rasa panas dan ratapan menghantui di setiap detik kau bernafas. Maut seakan sedang berburu, menunggu mangsa selanjutnya yang melalui jalurnya. Aroma tidak sedap, lebih parah daripada sekumpulan mayat yang membusuk akan selalu menghiasi hari-harimu. Semua itu akan semakin mengenaskan ketika engkau mengetahui iblis itu adalah kawan karibmu sendiri. Rasa aman, tenang, dan tentram telah menjadi harapan belaka dalam hari-harimu hidup.

Itulah mimpi buruk yang menyambutku sejak ia masuk ke dalam penjara ini. Hingga hari ini mimpi buruk itu menyambutku setiap hari, dan hanya aku yang disambut. Semua rekan-rekanku telah tiada dalam instansi ini. Ada yang telah mengundurkan diri juga yang tidak bernyawa. Bukan karena waktunya namun karena direngut oleh sang iblis sendiri. Tidak sampai di situ, hampir seluruh narapidana yang ada dalam instansi ini telah berpulang karnanya. Setiap dinding penjara penuh warna merah dari darah yang ia tumpahkan, bagai cat baru di permukaan dinding.

Kalau boleh jujur aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku dapat bertahan melakukan tanggung jawabku dengan orang-orang yang berjumlah begitu kecil. Laporan dan perhitungan statistik keuangan hanya di tanggung sekitar lima hingga enam orang dan dari orang-orang yang ada aku menghitung penjaga dapur juga. Tetapi jika dipikirkan kembali, dibandingkan dengan jumlah narapidana yang sekarang — ya sekarang, karena yang lain telah tiada — kita mendapat beban pertanggung jawaba yang relatif lebih ringan, walau sedikit berat untuk laporan karena jumlah kematian yang terjadi karena dia. Tidak ada lagi yang dapat di lakukan oleh kami selain pasrah terhadap situasi mengerikan ini.

Sabtu, 12 November pukul 19.05 jadwal shift malamku. Pintu besar dengan tinggi sekitar dua setengah meter dari permukaan tanah berbahan kayu Ulin menyambutku. Aroma amis darah pada dinding menghantam hidungku bagai bola meriam yang melesat ke wajahku. Langkah demi langkah aku melalui lorong ini dengan cahaya yang remang-remang, berusaha untuk membiasakan dengan aroma busuk yang mengerikan ini. Dari posisiku berdiri aku melihat menempel di dinding kiri lorong sebuah siluet tingginya sekitar 170-an. Posisi dan bentuk siluet itu seakan-akan menungguku dari jarak lima meter aku berdiri untuk, mengharapkan diriku mendatanginya. Jantungku berdebar cepat seiring aku melangkah, semakin dekat semakin kencang. Perlahan juga siluet itu semakin besar, seperti ia juga ingin mendatangiku hingga kami berdua saling berhadapan.

"Halo kawan baikku." Dengan nada yang begitu tenang seperti ayah kepada anaknya.

Tulang punggung ku menjadi es batu ketika Arthur meletakan telapak tangannya di atas pundakku. Pandangannya begitu tajam kepadaku, namun terlihat begitu tulus. Perihal ini membuat aku merasa begitu bingung, karena setiap kali aku menjaga aku melihat pandangannya tidak pernah ada tanda-tanda belas kasihan. Begitu kelam, sangat tersakiti, begitu penuh rasa benci terhadap orang-orang di sekitarnya. Tetapi situasi ini, sungguh aku tidak bisa menjelaskan.

"Bagaimana keluargamu Zein?"

"Eh, b, b, baik saja kok"

"Engkau kenapa? Seperti melihat setan saja, haha."

Karena memang aku sedang berhadapan dengannya.

"Yasudahlah tidak apa. Dengan izinmu maukah kau mengunjungi selku? Aku ada hal yang harus kuceritakan padamu."
  
Mau tidak mau aku pasti harus ke sana. Tidak ada kesempatan untuk menghindari undangan dia. Maka aku hanya bisa berkata, "Ok."

 Setelah pertemuan itu aku melanjutkan perjalananku ke sayap kiri bangunan. Listrik bangunan LAPAS ini sangat payah, di setiap lorong-lorong hingga ruangan pasti saja ada listrik yang drop, lampu pada lorong yang ku lalui pun hanya dapat berkedip. Warna kelam terlihat bahkan dapat dirasakan sangat kental pada bangunan ini. Aroma dari mayat yang telah kami buang dari bangunan ini masih tertinggal, begitu pekat. Bahkan hingga aku telah memasuki ruang pengawasan yang cukup kedap dari situasi di luar aroma busuk tersebut masih mampu mengikuti. Setidaknya aroma kopi hangat yang telah menungguku di atas meja pengawasku mampu menenangkan rasa pusing dari suasana yang begitu busuk ini.

Sekitar pukul 20.15 aku meninggalkan ruanganku untuk berkeliling, mengawasi sudut demi sudut setiap sayap. Begitu sulit bagi kami untuk mengitari bangunan ini dengan jumlah yang sangat sedikit ini. Namun untuk kemungkinan bagi kami untuk celaka juga sedikit. Narapidana yang tersisa sangatlah takut untuk bertingkah terhadap kami. Mereka semua merupakan saksi hidup dari semua yang telah mati di bangunan ini, menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang Arthur lakukan kepada kawan-kawan seperkara juga kepada sipir LAPAS ini. Trauma mengerikan hingga hampir semua yang tersisa untuk hidup katatonik ketika mendengar nama Arthur. Kakiku membawaku ke lokasi sel. Senterku menyoroti ruangan demi ruangan. Wajah demi wajah dan semuanya mengerikan, penuh rasa takut yang begitu besar. Satu napi hanya bisa terduduk di pojok selnya mengayunkan badannya ke depan dan belakang. Pandangan pada matanya, penuh rasa amarah dan takut, bibirnya terlihat menggumamkan kata-kata. Aku berani bersumpah bahwa ia mengatakan "Aku harus bertobat, iblis mengirim pemburunya untuk mengambilku." Bisa kumaklumi jika kukaitkan dengan apa yang dilakukan Arthur.

Berlanjut terus hingga aku berada di depan sel Arthur. Ia terlihat sedang duduk di atas kasur gantungnya. Badannya yang sedikit jangkung, berisi dan bongkok, terlihat sangat mengintimidasi. Di tangannya ia menggengam sebuah buku yang sepertinya berbungkuskan kardus yang telah rapuh, tebalnya seukuran kamus bahasa. Tiba-tiba saja perlahan ia menoleh kepadaku.

"Ah, kau sudah di sini," dia mengatakannya bersamaan ketika ia berdiri dari kasurnya, perlahan mendekatiku "ini yang ingin kutunjukan padamu Zein kawanku."

"Apa itu?"

"Ini harianku kawan. Setiap hari engkau melihatku dengan pandangan bahwa aku adalah orang yang mengerikan, aku memperhatikan itu. Namun pastilah engkau penasaran mengapa aku bisa seperti ini."

"Engga kok." Ucapku dengan begitu gemetar.

"Bos, kau bergetar dengan skala dua richter tentulah saja kau pasti penasaran. Pada genggamanku ini merupakan cerita mengapa aku bisa berakhir seperti ini."

Aku mengambil buku itu dari genggamannya. Halaman demi halaman aku lalui. Ia menceritakan di sebelahku dari balik jeruji besi setiap kali aku membuka halaman.

"Kau tahu ketika aku lulus dari studiku di kriminologi aku memiliki hidup yang cukup mapan. Bekerja di Kompas TV sebagai reporter, makan tiga kali sehari, sebuah rumah kecil di pojokan Bandung Barat, dan sebuah mobil van Suzuki APV. Tidak banyak namun setidaknya cukup untuk melalui hari-hari bukan?"

"Heh, ya setuju denganmu bung."

"Ya, ya. Cukup menyenangkan ketika semua itu bertahan. Sangat disayangkan ketika semua itu lenyap karena sebuah proyek lapangan."

"Maksudmu?"

"Kau tidak tahu? Tenteng proyek pembuatan lapangan latihan yang dilakukan di Bandung Barat?"
  Aku hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah karena kau kawan lamaku akan kuceritakan padamu. Akan kuceritakan apa yang terjadi di sana dan bagaimana kasus tersebut memposisikanku di sini. Menunggu jadwal penggantunganku.

"Sabtu, 17 April. Aku telah melupakan tahunnya karena sudah terlalu lama aku berada di balik jeruji ini. Setidaknya aku masih mengingat kejadian itu bagaikan itu baru saja terjadi tadi pagi. Baru saja aku pulang dari Jakarta setelah minggu-minggu yang begitu melelahkan dari pekerjaanku, dengan harapan ketika aku sampai ke rumahku aku dapat beristirahat dengan tenang. Tiba-tiba tepat 25 meter di depan kaca mobilku telah siap dua buah tank panzer bersama selusin unit kontraktor dan alat beratnya. Tentu saja —  kalau kau mengenalku dengan baik — dengan begitu santai aku melalui mereka, sambil berlaga bodoh aku bertanya kepada polisi yang memegang toa melalui jendela mobilku. Aku memperhatikan nametag yang ia kenakan, tertulis nama perwira 'Arief', di pundaknya ada dua label yang menandakan ia seorang Iptu. Perawakannya seperti seorang pemain basket, tinggi ramping dengan lengan yang sedikit lebih panjang dari yang seharusnya dan jari-jari yang cukup luas untuk menggenggam bola basket. Wajah dia agak terang berhiaskan jenggot yang menyatu dengan kumisnya. Aku mendapati sedikit kesulitan untuk menentukan apakah dia orang manado atau sunda, tetapi tidak masalah lah."

"Tunggu sebentar. Kau tadi menyebutkan Iptu Arief?"

"Iya. Ada apa?"

"Bukankah ia meninggal karena kecelakaan? Mobilnya selip kemudian terjebur di sungai, dalam koran disebutkan bahwa leher dia patah ketika berkendara."

"Apakah kau memperhatikan siapakah redaktur dan editor dalam artikel itu?"

"Kalau ku ingat kembali tidak. Mengapa?"

"Aku yang menuliskannya bung."

"Apa? Jadi?"

"Aku akan menjelaskan semuanya padamu kawanku ok. Pasti kau akan mengerti ketika nyawamu terancam oleh orang ini. Jadi, kembali lagi ketika aku pulang polisi dihadapanku menatap sinis mataku. Nada amarah tertahan dan wajah yang merah padam menyemburku bagai selang taman di pagi hari.

"'Tanah ini merupakan tanah milik negara. Dalam waktu singkat ini tanah ini harus segera dikosongkan untuk kepentingan perlindungan negara.'

"Tentu saja aku tidak mudah menerima tanpa adanya bukti. 'Tunjukan padaku surat-suratnya biar kita bahas dengan ketua RT di sini.'

"Tidak menerima apa perkataanku ia menodongkan toanya kehadapanku dan berteriak tepat di depan wajahku. 'Pindah!'

"'Pak kalau kau seorang polisi dan engkau mengerti apa tugasmu. Buktikan padaku surat-surat proyek itu untuk di bahas lebih lanjut. Jika tidak aku mungkin saja akan menelfon atasanmu, bahkan presiden pun bisa saya hubungi. Dan jika anda tetap tidak percaya akan ku angkat HPku sekarang dan mebghubunginya.'

"Takut mengambil taruhan tersebut ia membanting toa yang ada di tangannya dan kemudian ia mengangkat tangan kirinya. Mengisyaratkan kepada para anggota dan kontraktornya untuk mundur. Situasi mulai damai, aku melanjutkan perjalananku hingga ke rumahku. Sampah daun yang perlahan mengering di lajur parkiran rumahku menyambut aku pulang. Saking lelahnya aku bergegas menuju pintu, membukanya, sesampainya di dalam kukunci kembali dan kemudian aku merebahkan diri di atas sofa.

"Malam tiba, aku masih tertidur namun, kesadaranku mulai pulih secara bertahap. Kemudian aku mendengar ada suara jejakan di halaman belakangku. Mataku terbuka dengan jantungku yang berdebar kencang karena kaget. Aku langsung tiarap ke depan sofa, merayap ke pintu kaca dapur. Melalui pintu kaca setinggi dua meter itu aku melihat ada dua siluet mendarat di halaman belakangku, meringkuk menyelinap. Walau sedikit buyar, sangat yakin aku melihat salah satu siluet itu menggenggam sebuah senjata api. Aku kurang yakin untuk jenisnya, hanya menerka-nerka sepertinya sebuah revolver. Sunggh sangat beruntung jika yang ia pegang adalah revolver, aku mungkin dapat menghitung selongsongnya. Untuk mencari aman aku menyembunyikan diriku di dalam laci perkakas dapur, hanya memiliki tiga alat masak cukup menguntungkan bagi seorang jomblo.

"Cukup membosankan di dalam. Aku menunggu hingga ada suara pintu yang bergeser namun belum ada bahkan, aku hampir tertidur di dalam ruangan sempit ini. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang terjeduk. Aku kurang mengerti apa yang mengganjal dia sampai aku mendengar suara yang familiar. Kursi dapurku terjatuh. Hentakannya membuatku sadar seketika. Suara langkahnya terdengar begitu jelas. Aku menghitung setiap langkah hingga aku tahu dia benar telah melaluiku.

"Suara hentakan telapak tangan diatas meja wastafel terdengar jelas. Aku mengambil panci yang ada di dekat pinggangku lalu keluar dari laci. Dalam sekajap aku menghantam dia di kening. Saat ia jatuh salah satu tangan ku letakan di bawah lehernya dan satu menahan dia di kening. Aku menarik dengan paksa hingga ia tak bernyawa. Untuk sementara, mayat Arief ditinggal di dapur. Aku lanjut mencari orang yang kedua, merangkak di dalam bayang-bayang furnitur rumah."

 Mendengar bagian pertama dari cerita ini mataku langsung terbelalak. Sungguh sulit untuk mempercayai yang diceritakannya. Sudah bertahun-tahun aku mengenal dia tetapi, tidak pernah aku mengenal dia sebagai orang ini. Orang yang begitu kejam, melebihi iblis itu sendiri. Dia tersenyum ketika melihatku kaget. Pandangannya seakan dia benar-benar melihatmu secara transparan. Kemudian dia menarik kembali wajahnya dan melajutkan ceritanya padaku.

"Ternyata aku menemukan dia di ruang tamu, sedang membongkar laci televisiku. Aku sedikit sulit menggambarkan bagaimana orangnya karena iya sedang membungkuk. Kesempatan berada tepat di depan mata. Di dekat televisi terdapat sebuah guci yang aku isi dengan payung dan tongkatku. Aku mengambil tongkat. Perlahan aku mendekati dia di tengah kesibukannya. Lalu tongkat itu telah menembusnya. Setelah semua menjadi sunyi aku kembali duduk di sofaku. Merenungkan apa yang telah aku lakukan.

"Momen itu terinterupsi ketika sebuah nada panggilan ponsel datang. Sangat yakin itu bukan milikku. Maka aku mencari di tubuh kedua mayat yang tergeletak. Saat aku menggeledak mayat Arief aku mendapati di saku dalam — aku benar bermaksud di dalam — celana Arief ada sebuah ponsel. Sepertinya ponsel itu merupakan rakitan. Komponen yang digunakan merupakan komponen untuk tipe ponsel rakitan. Bentuknya yang tipis dan berbungkus materi yang kurang jelas dengan kabel-kabel menjalar keluar masuk.

"Panggilan itu terbuka. Muncul suara yang cukup familier dari balik speaker. Jika aku benar, suara itu adalah suara dari bupati kami. Irwin. Manusia yang paling rakus yang kutahu. Banyak sengketa tanah yang melibatkan dirinya. Dan yang lebih kurang ajar adalah, semua uang yang disubsidikan negara masuk ke kantongnya. Tidak pernah ada yang mengkaji berita tentang dia karena hampir semua reporter di bawah genggamannya. Beruntung baginya aku hanya sibuk di Jakarta. Sekarang semua telah usai.
 
"Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya yang ditanyakan padaku.
 
"'Bagaimana? Apakah keparat itu telah dibereskan?'
 
"Aku hanya membalas dengan menggumam. Keberadaan diriku tidak boleh diketahui olehnya.
 
"'Baiklah. Tabunganmu akan segera kutransfer. Nanti akan ku kirimkan email, apa tugas selanjutnya.'
 
"Sekejap panggilan itu ditutup. Aku langsung membuka kolom email. Data pada mailboxnya tertera dua email. Satu notifikasi baru dan satu adalah pesan yang lama. Pesan yang lama dibuka, dan aku jamin kau tidak akan percaya Zein apa yang kutemukan.
 
"Email tersebut adalah sebuah surat persetujuan antara pebisnis terkenal China Zuang Li dan Irwin. Dia menggunakan email gelap untuk menghindari pajak pembangunan. Di bawahnya tertera lampiran nama yang akan terlibat. Ada lima nama tetapi, menurutku hanya tiga yang cukup signifikan. Satu adalah mendiang Arief, kedua Irwin, dan tiga adalah Hakim Chandra.
 
"Jujur aku tidak pernah mengenal Hakim Chandra. Tetapi, banyak berita yang menggambarkan bagaimana kumpulan para polisi — terutama para anggota korup yang kukenal — menyukainya. Sekarang aku telah mengenal dia, karena dia bukan yang menentukan hukuman matiku?"
 
Aku hanya membalas dengan anggukan.
 
"Ya. Cerita berlanjut. Menegetahui itu aku mempersiapkan target. Tujuan utama dari target itu, aku ingin membuktikan kepada mereka yang korup bahwa mereka tak selamanya aman. Dua kepala mereka yang akan menjadi contoh yang akan dan pasti membekas selamanya. Nomor satu adalah Irwin. Aku mencari setiap berita yang mengubgkit tentang dia pada harian-harian yang membusuk di dekat guci.
 
"Akhirnya aku menemukan satu. Ia sedang mempersiapkan sebuah pidato. Dalam tiga hari dia akan menggelarnya di lapangan bola lokal, sekitar 25 kilometer dari sini. Harinya telah ditentukan, dan disitulah ia harus mati.
 
"Sisi lain cerita, aku baru mengingat kedua mayat yang berada di dalam rumahku. Mengenali seragam yang dikenakan okeh Arief tentu ku deduksi bahwa, dia pasti membawa kendaraan. Aku berdoa dia membawa mobil dinas. Aku keluar dari pintu belakang untuk memastikan. Beruntung sekali, mobil yang dibawa benar mobil dinas. Maka aku membawa kedua mendiang itu lalu kuposisikan sedemikian rupa sebelum kujatuhkan ke sungai. Agar terlihat lebih realistis aku merobek ban belakang dengan pecahan beling dari botol YouC1000. Esoknya kubuat masyarakat yakin akan kecelakaan mereka dengan membuat kolom berita itu."
 
Aku tidak dapat merespon dalam situasi ini. Mendengarnya, semua bagian tubuhku — sumpah semua — mati rasa bahkan, jejak aroma amis dari darah pun tidak lagi tercium. Nafasku semakin berat. Rasanya aku ingin marah kepada Arthur, tetapi terasa sia-sia juga. Tidak mungkin aku mampu melawan dia, argumen maupun fisik. Sepertinya aku hanya berakhir menjadi penonton saja dari cerita ini. Dia menyadari keteganganku tetapi, dia tidak merespon terhadap reaksi itu. Certianya tetap dilanjutkan olehnya.
 
"Aku tahu kau merasa risih bukan Zein? Biarlah, aku tetap melanjutkan cerita. Mungkin ini dapat membuatmu mati rasa sedikit nanti ketika melihat penggantunganku.
 
"Mengetahui Irwin adalah dalang kejadian ini aku mengincar dia. Seperti yang telah kugambarkan sebelumnya, melalui berita aku menelusuri kemungkinan yang tepat untuk mengakhiri dia.
 
"Rantai demi rantai rencana disusun sedemikian rupa. Dalam waktu dekat semua harus dipersiapkan.
 
"Hari H tiba. Lapangan begitu penuh dengan masyarakat lokal. Polisi memasang pagar betis, membentuk area bagai sepetak sawah berisi manusia. Dalam kerumunan itu aku mengenakan pakaian yang cukup kasual namun dapat menyembunyikan senjata yang kupersiapkan untuknya.
 
"Di sinilah kebodohan terjadi. Aku tidak sabar untuk mengakhiri dia sehingga aku melepaskan tembakan lebih awal yang kemudian meleset. Dan memperburuk keadaan bagiku ketika ternyata aku lupa untuk memasang peredam sehingga polisi mengetahui keberadaanku. Dari balik kerumunan muncul satu orang yang menerjangku.
 
"Perawakannya kecil namun, lincah. Dari tenaga, sepertinya ia seorang bintara. Terselempang senjata M16 padanya. Itulah yang menjadi kesempatanku untuk melanjutkan misiku.

"Kami berdua bergulat di tanah. Cukup memerlukan usaha besar untuk mengangkat kami kembali berdiri. Aku berusaha menggapai M16 yang terselempang padanya dan berhasil. Secara paksa aku menarik senjata api itu dan kumuntahkan seluruh peluru ke atas panggung. Sekitar empat polisi yang terkena luka, kurang tahu untuk berat atau ringan. Tetapi, bagi Irwin nasibnya tidak begitu menguntungkan. Laporan firensik menyatakan tiga peluru berhasil merobek aorta dia, sejajar.
 
"Semua masyarakat melarikan diri dari area. Aku setelah melepaskan tembakan itu langsung menyerahkan diri kepada polisi. Diadili dan sekarang aku berada di sini, dengan awal hukuman hanya delapan tahun. Dan kemudian diadili kembali menjadi hukuman mati karena, ya kau tahu sendirilah. Semua yang telah kulakukan di sini."
 
Begitu sulit dipercaya, melihat dia tertawa terbahak-bahak ketika dicertiakan olehnya semua pemandangan buruk di dalam penjara ini. Terutama ketika ia membunuh semua orang itu. Dari yang memiliki hukuman yang sama yaitu, mati bahkan sampai kelas teri yang hanya dapat melakukan penipuan maupun pencurian. Padahal aku di sebelahnya terduduk dengan tegang. Memaksakan diri untuk kembali tenang dengan memandangi jam tangan.
 
Sudah terlalu lama aku berada dalam sel ini. Aku kaget ketika melihat dua jam telah kulalui mendengarkan cerita dia. Aku meminta izin kepadanya untuk kembali kepada kantor tugasku. Dia mengizinkan namun, dia menahanku untuk memohon sesuatu padaku.
 
"Lusa aku ingin kau menghadiri eksekusiku ya kawan. Sebagai permintaan terakhir."
 
Tentu aku meng-iya-kannya.
 
Melihatku mengangguk membuat dirinya tersenyum lega. Seakan bebannya telah dilepaskan semua. Air mukanya menggambarkan ketulusan dirinya menerima akhir hidupnya lusa nanti.
 
Kembalilah diriku kepada tugasku di ruang pengawasan. Berjalan menelusuri lorong-lorong amis menuju kantor. Dalam hatiku, aku hanya bisa merenungkan akhir hidup kawan baikku. Perihal itu terus mengalir di dalam kepala sampai-sampai itu membawaku ke dalam tangisan kecewa. Lemahnya aku dalan berteman. Kuakui aku tidak dapat berbuat banyak baginya. Bahkan, aku jarang menemui dia. Tetapi, sebagai seorang kawan aku harusnya dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dia.
 
Pertengahan aku menangis, sebuah panggilan masuk melalui radioku. Aku berusaha menahan kesedihan agar tidak terdengar oleh mereka. Akan memalukan jika sampai mereka tahu. Dengan mempertegas diri panggilan itu kuterima. Laporan yang sungguh mengejutkan yang disampaikan. Hakim akan mengunjungi Arthur sendirian esok hari pukul 16.00. Mau bagaimana pun aku dan pekerja lain yang tersisa harus bisa mempersiapkan bangunan ini sebelum sang hakim tiba.
 
Hanya tinggal satu hari sebelum eksekusi. Dan sesuai laporan pukul 16.00 Hakim Chandra telah berasa di tempat. Ia menunggu di depan pintu untuk dijemput olehku. Saat aku bertemu dia, beliau memintaku untuk langsung menuju ke sel Arthur. Sesampainya di sana ia memintaku untuk pergi. Mengawasi pembicaraan mereka berdua dari ruang CCTV.
 
Sampainya di ruangan aku terkejut. Salah saru laya yang tepat menghadap lorong sel Arthur hanya menunjukan layar hitam. Padahal indikator menyatakan kamera dan laya televisinya aktif. Aku langsung bergegas menuju sel Arthur aku khawatir nanti akan terjadi sesuatu. Tiba-tiba sang Hakim yang hampir papasan denganku menahanku.
 
"Mengapa kau berlari-lari nak? Tidak perlu khawatir ia sudah tidur kok. Persiapkan saja untuk hari esok ya."
 
Aku hanya mengangguk kepada peritahnya. Kemudian aku kembali ke kantor. Namun, ada satu yang sangat menggangguku. Semua ini berlangsung terlalu cepat. Dan yang kemudian sangat mengelitik perasaanku adalah pembawaan Hakim Chandra ketika berbicara padaku. Pikiran ini menahanku terjada hingga hari eksekusi tiba.
 
Pagi menyingsing bangunan dari sayap timur. Walau matahati hanya tampil setengah tetapi, itu tidak menahan rencana eksekusi. Para petugas yang diminta untuk mengurus Arthur telah menjemputnya. Aku masih menetap untuk membereskan bekas selnya dia. Telah kurencanakan untuk menyusul saat Arthur akan di gantung di pelataran eksekusi.
 
Semua barang-barang yang ia tinggalkan keubersihakan. Sambil membersihkan, melalui radio aku memperhatikan perkembangan-perkembangan sebelum eksekusi mulai. Dia telah sampai pengadilan ketika aku sedang membuka sarung bantal. Kemudian, aku menemukan sesuatu yang ganjal pada bantalnya. Ada sebuah sobekan yang muat untuk dimasukan benda seukuran kepalan tangan. Rasa penasaranku mengundang untuk membongkar isi bantal itu dan aku sungguh tidak percaya apa yang kutemukan. Di dalam ada sebuah suntikan, segulung benang jahit, dan sebuah silet yang telah berlumur darah. Aku semakin panik ketika aku sadar bahwa darah tersebut masih segar. Aroma darah itu menyadarkanku untuk segera bergegas sebelum eksekusi berjalan.
 
Tidak memperhatikan untuk mengunci bangunan aku langsung bergegas ke lokasi eksekusi. Radio yang tercantol di kopel-rimku mulai mengoceh. Diberitahukan bahwa, Arthur telah berada di atas altar. Talinya telah dilingkarkan pada lehernya. Aku berteriak di radio, memohon untuk menunda eksekusi. Namun, ada yang mengganggu sinyalku sehingga pesanku tidak tersampaikan. Tidak ada pilihan lain, aku harus segera ke sana. Gir mobil lansung pindah ke empat, semua aturan lalu lintas ku abaikan, ambulans saja kalah oleh kecepatanku. Tetapi, akhirnya berakhir sia-sia. Eksekusi telah dijalankan dan usai. Amarah tidak bisa kutahan. Sampai-sampai spion yang tergantung di langit-lamgit mobil dinas kupatahkan. Namun, ini tidak menghentikanku. Aku tetap berangkat untuk memastikan apa yang telah kucurigai.
 
Sesampaiku di sana aku meminta untuk tim pengangkut untuk menahan pengiriman ke kamar mayat. Aku ingin memastikan apa yang kucurugai. Aku pun tidak ingin mempercayainya, tudak mungkin Arthur senekat itu. Jari-jariku meraba kepala belakang mayat itu. Saat jariku menyentuh di bawah rambut di dekat lehernya, aku menjadi tegang. Semua organ menjadi beku. Aku langsung mendekatkan kepalaku ke belakang kepalanya. Ternyata benar. Ada jahitan yang membentang dari dari telinga ke telinga hingga ke bawah leher. Ini hanya wajah, seluruh tubuh, semuanya adalah milik Hakim Chandra. Aku langsung berdiri tegak mencari siapapun yang memiliki wajah sang hakim.
  
Pinggangku bergetar karena ponselku. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku langsung membukanya, aku sangat yakin ini dari dia. Di dalamnya tertulis sebagai berikut.
 
"Terima kasih kawan engkau mau hadir. Mohon maaf telah mengecewakanmu, ini hanya sesuat yang harus ku lakukan. Aku harap kita akan bertemu di lain waktu, sebagai teman ke teman."
 
Dan pesan itulah yang ia tinggalkan padaku. Aku tidak tahu apakah ini akhir atau permulaan. Yang kutahu aku hanya bagian dari sesuatu yang dia rencanakan.
          



Oleh: Bara Daniel Thording Sitohang
 
 
 
  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...