Dingin.
Tulang-tulang belulangku perih. Ada sesuatu kah yang sedang mengunyah kakiku ditengah aku tidur?
Aku tidak bisa bernafas. Seseorang sedang membekapku dengan kain basah kah?
Aku terbangun.
"Haaa! AAAH! Ah!" (Bruk).
Tarikan nafas berubah menjadi teriakan takut lalu, bermetamorfosis menjadi teriakan perih. Aku terantuk pada tulang kaca nako karena terkejut.
Aku menyangka aku melihat duplikat dari diriku sendiri.
Namun, ketika mataku mulai menyesuaikan dengan cahaya, aku melihat hal yang sangat beda jauh.
Embun putih menyelimuti seluruh warga wisma 17.
Aku kesulitan bernafas. Tahi. Ini tidak beda jauh dengan aku menyelam di pantai. Aku senang berenang seperti orang-orang lain yang bisa tetapi, aku tidak mungkin bertahan di dalam air selama satu jam.
Setengah badan Kahil menonjol dari celah kasur. Dia mengintip untuk mencari tahu sumber dentuman tadi.
"Tadi itu lu Ni?"
"Iye."
"Kenapa lu anjir?"
"Kaget tadi. Aku ngira tadi ada apa lewat. Ternyata, cuma refleksi dari embun."
"Embun apaan?"
Aku membalas Kahil dengan menunjuk ke luar kamar.
"Buset. Kabutnya tebel amet!" teriak dia terkejut.
Beban dari momen kejutan yang sedang terjadi semakin berat karena suara kerik pintu wisma yang terbuka. Sebuah figur gelap menyusul setelah pintu tertutup.
Figur tersebut menghadap celah kamar aku dan Kahil. Ukuran figur itu perlahan membesar, mendekati posisi kita berdua.
"Ninininini, Oni, Oni, Oni. Bantu gua anjing!" sahut Kahil ketakutan sambil mengetuk bagian bawah kasurku.
"Kau kira aku tahu aku harus ngapain?" balasku padanya. "Aku bukan dukun cuk!"
"Lah lu kan dari Kalimantan. Kata lu rame kayak ginian."
"Rame belum tentu aku paham goblok!"
Perdebatan sia-sia antara aku dan Kahil dipecah oleh kalimat figur yang memasuki kamar kita.
"Kahil, Otniel, kalian kenapa berantem."
Kabut yang menyelimuti kamar mulai pudar. Wajah Komang menginvasi dan merusak tensi dari suasana.
"Bangsat aku kira apaan asu!" teriak aku mengamuk. Aku menghantam kasur seiring Kahil menghela nafas lega, melepas tensi lalu, membaringkan dirinya pada kasur.
Komang baru saja kembali dari klinik siswa.
Sebelumnya ketika dia pingsan, Sudharmo yang mengurus Komang yang sedang terbaring di kasur. Lalu, salah satu anggota wisma kita memanggil guru pengawas untuk menangani situasi Komang. Akhirnya dia dibawa oleh guru pengawas, Sudharmo, dan beberapa anggota wisma ke klinik siswa untuk mendapatkan perawatan.
Dia baru kembali pagi ini.
"Bos aku tahu aku punya kolesterol setinggi orang umur 45 tahun tapi, jangan kasih sakit jantung secepat ini juga," sahutku kepada Komang.
"Oh maaf Otniel. Aku tidak bermaksud ngagetin,' balas Komang lembut.
"Lu ngomong apa si?" sahut Kahil.
"Guyon orang Batak. Ribetlah jelasinya."
Pertukaran kata antar kita bertiga – paling besar suaraku – tanpa sengaja membangunkan anak-anak wisma. Mereka terlihat bagai bangkai yang kembali lagi dari liang lahat. Erangan manusia yang baru bangun menghadapi dunia bergetar di udara, memberi efek drama di pagi kedua Magelang.
***
"Terima kasih!" bergaung dalam mess hall. Sarapan telah selesai.
Namun, kita masih duduk di meja mess hall atas permintaan guru pengawas saat apel sarapan.
Dinding mess hall bergetar karena pantulan suara dari perbincangan siswa di meja makan. Tawa, raungan takjub memberi bumbu dari interaksi anak-anak remaja.
(Nging!). Dengung dari mic memotong kebisingan ruangan. Semua kepala yang berbicara jatuh terbungkam.
"Baik siswa, sebelum saya mulai, saya ingin ketika saya mengucapkan 'selamat pagi' kalian membalas 'selamat pagi!' dengan tegas. Jelas!?
"Selamat Pagi!"
"Selamat Pagi!"
"Baiklah. Izin memperkenalkan diri, saya Bapak Utoro. Peran saya sebagai salah satu guru wisma yang akan mengawasi dan membimbing kehidupan kalian selama masa pendidikan berlangsung.
"Saat ini saya mengumpulkan kalian untuk memberitahukan urutan kegiatan pada hari ini. Pagi ini siswa saya akan minta kembali ke wisma masing-masing untuk melakukan penataan barang-barang seperti, koper dan sejenisnya akan dimasukan ke dalam gudang. Kemudian, siswa akan menuju GOR untuk mengambil perlengkapan pribadi terdiri dari spray, sarung bantal, ember, dan gayung. Juga, mulai hari ini, setiap sore siswa akan mendapat pelatihan baris-berbaris.
"Sekarang, saat saya bertanya 'paham semuanya!?', kalian menjawab 'siap, paham!' Mengerti?
"Paham semuanya!?"
"Siap paham!" sahut seluruh siswa kembali menggetarkan ruangan.
"Baik. Sekarang, makan pagi dibubarkan. Siswa diperkenankan untuk berangkat ke wisma masing-masing. Mohon ketika berangkat kembali, siswa berada dalam kondisi PBB."
Dentuman mic menutup pengumuman, menandakan seluruh siswa diizinkan untuk kembali ke wisma.
Kerumunan badan bocah remaja berhias jerawat dan seragam warna-warni mengalir dari pintu timur mess hall. Siswa aki-laki diminta terlebih dahulu keluar lalu, disusul oleh para siswi.
Guru pengawas menggembalakan kita untuk menyusun formasi PBB. Urutan barisan disusun dari yang tertinggi di barisan terdepan hingga, terpendek di barisan paling belakang. Formasi masing-masing barisan menyesuaikan wisma masing-masing. Satu orang ditugaskan sebagai pemandu barisan wisma masing-masing dan diletakan di kanan barisan terdepan.
Baris demi baris berangkat meninggalkan lapangan mess hall untuk kembali ke wisma masing-masing.
Terik matahari sudah turun memberikan cahaya hangat pada lingkungan kampus. Hijau dari daun pepohonan dan rumput pada bukit membalas sambutan matahari dengan pantulan cahaya kekuningan pada permukaanya. GOR dan lapangan halang rintang yang terduduk di atas bukit bangkit dan menyambut matahari.
Tetapi, tetap sia-sia. Bagaimana aku bisa menikmati hangatnya cahaya matahari kalau, jam 06.00 pagi di sini bersuhu 19ºC. Aku hanya ingin kembali ke kasurku dan membungkus diri dalam selimut hingga jam 12 siang tiba.
Kelopak mata belum sempat berkedip, anak-anak wisma sudah melepaskan diri dari barisan. Berbondong-bondong mereka masuk ke dalam wisma.
Guru wisma kami sudah menunggu di tengah koridor. Satu-satunya lampu yang menyala dalam ruangan menyindari kening dia yang penuh minyak, memberikan efek dramatis.
"Perhatian siswa!" teriak dia dari tengah ruangan. "Mohon untuk merapat ke tengah wisma!"
"Izin memperkenalkan diri, saya Bapak Soni. Saya mulai saat ini akan menjadi 'Pembina Wisma' untuk Wisma 17."
Ok. Aku akan harus mengganti 'guru wisma' menjadi 'pembina wisma' untuk cerita-cerita selanjutnya. Inilah lemahnhya kalau aku menulis certia real time.
"Sebelumnya kalian telah diberikan pengarahan oleh Bapak Utoro. Saya di sini akan meneruskan perintah tersebut.
"Saat ini, para siswa diminta untuk mengosongkan barang-barang kalian yang ada di dalam koper. Pakaian, buku-buku, dan kepentingan lainnya kalian masukan ke tempat yang tersedia. Usai itu, mohon koper siswa untuk
Diletakkan di dalam gudang wisma. Paham semua?"
"Siap, paham pak!" gaung suara anak-anak wisma.
Gerakan kita sangat mekanikal. Semua menghadap kepada koper masing-masing lalu, menurunkannya dari atas lemari secara bersamaan, layaknya gir dalam jam. Setiap orang memiliki tempo yang berbeda menyesuaikan massa konten koper. Tidak peduli debu, tidak peduli suara, semua melaksanakan perintah pembina wisma.Barisan kamarku mendapat urutan paling akhir untuk meletakan koper ke dalam gudang. Aku mengambil urutan paling akhir dari lima orang yang tersisa agar tidak terjebak kerumunan.
Kita bertemu lagi. Hanya aku dan gudang wisma. Aku masih tidak bisa mendeskripsikan engkau. Aku masih tidak bisa menemukan emosi yang lebih gelap dari pada depresi. Tetapi, sepertinya kau mendapatkan perubahan sedikit dari pembina wisma. Lubang di langit-langit dan penyok pada rak koper telah hilang.
Terkadang aku sering mendapat episode dramatis seperti itu.
Rak koper telah penuh dari lutut hingga kepala. Hanya ada satu celah yang tersedia dan celah itu berada tepat di atas lokasi penyok malam sebelumnya.
Aku tidak melihat ada yang aneh di sini. Ada ruang untuk koperku maka, akan aku gunakan.
Tiba-tiba, semua menjadi gelap. Rasa sakit menusuk aku dibelakang kepala dan menyebar hingga ubun-ubun. Mulut hingga bibirku basah. Aroma amis menyambut aku tepat di hidung.
"Kontol! Baru hari kedua!" teriak seseorang.
Saat aku kembali sadar dengan lingkunganku, semua
menjadi jelas
Aku baru saja menghantam lemari rekan wismaku.
Bentuk wajahku tercetak jelas pada permukaan kayu. Darah terlukis pada permukaan tempat hidung dan bibirku menghantam. Luka dari kayu memberikan outline pada TKP.
Aku berbalik badan dan mendapati koperku jatuh dari tempat aku meletakannya dan mendarat tepat pada tempat aku berdiri. Aku tidak percaya pelaku dari insiden kecil ini adalah sahabatku sendiri. Sang koper.
Aku mengabaikan luka yang ada pada wajahku dan langsung menuju koperku.
Situasi ini kembali aneh.
Penyok yang aku kira telah diperbaiki kembali muncul. Lokasi koperku tergeletak sejajar dengan lokasi penyok itu. Sebuah baut kecil tergeletak tepat di depan koperku, tepat di tengah, memberi garis lurus yang mampu membelah koperku menjadi dua. Tetapi, tidak ada luka atau lubang pada langit-langit gudang.
Aku mengangkat baut itu.
Sebuah teriakan khawatir meledak dari koridor.
"Ada apa di sini siswa!?" teriak Pak Soni.
"Tidak ada apa-apa pak," balasku sambil mengembalikan koperku pada posisi semula. "Hanya terpeleset.
"Kegiatan selanjutnya apa pak?" tanyaku pada dia dengan senyum percaya diri semu berlukis darah dari hidung hingga kerah.
"Untuk kamu, kamu berangkat ke Unit Klinik sekarang juga. Minta perawat di sana untuk merawat kamu siswa. Kamu belum masuk akademi, sudah luka-luka seperti ini. Sekarang, segera berangkat."
"Siap pak."
***
Semua akan indah pada waktunya, dengan konotasi sedikit morbid.
Aku harus menyusul rekan-rekanku bung ke orientasi. Aku tidak tahu berapa waktuku yang sudah aku bakar tetapi, aku tahu aku tertinggal banyak.
Aku berlari meninggalkan klinik untuk menuju GOR.
Sebuah bayangan menonjol dari selatan saat aku menghadap ke jalan. Bocah inang dari bayangan itu memiliki postur seperti kura-kura. Leher dia terjatuh di depan badannya yang berdiri tegak, memantul seiring dia berlari semu. Seragam dia berwarna merah kotak-kotak dengan pasangan celana berwarna cokelat.
Aku langsung menempel pada sisinya dan berlari bersama dia.
"Ahh!" teriak bocah itu.
Aku tidak menyalahkan dia untuk berteriak. Bayangkan ketika, seseorang dengan muka seperti dia pernah berkelahi dengan maut, ditambah dengan penopang hidung diselotip mengitari wajahnya, dan dihias oleh darah dari kerah hingga dada. Semua indikator itu pasti akan meneriakan "MASALAH!" Padahal aku hanya bocah kampungan.
"Santai bos!" balasku pada teriakan dia. "Sama-sama siswa kita."
"Haa, haa..., kaget gua anjing. Lu keliatan kayak buronan kabur dari penjara sih."
"Bangsat juga ni manusia. Hahaha. Santai, ini gara-gara kecelakaan kecil di wisma.
"Aku Otniel. Panggil 'Oni'. Kau?"
"Dirham," balas dia. "Kalau lu?" lanjutnya.
"Aku udah jawab kan tadi, Oni."
"Bukan, bukan lu yang gua maksud. Gua nanya ama yang lari di sebelah lu."
"Siapa asem? Cuma aku sendiri tadi yang keluar dari klinik."
Mata dia membengkak saat mendengar kata-kataku. Lalu, "lupakan aja yang gua bilang."
Ok...,
***
Akhirnya kehangatan tiba pada permukaan Magelang. Kabut dan embun yang menyelimuti wajah sekolah dan pepohonan telah menguap menjadi awan. Warna dari paving block mulai cerah, melepas lembab.
Tetapi, mengapa kehangatan itu tiba pada waktu yang salah. Pada pukul 04.00 sore saat kita merasa gerah karena pelatihan PBB. Tidak adakah titik tengah pada suhu di sini. Pagi, aku merasa seperti dibekap oleh bantal basah dan sore, saat kegiatan fisik mulai, aku harus dipanggang oleh matahari.
Peleton demi peleton menggetarkan udara dengan derap kaki jalan di tempat. Keringat mengalir dari kepala hingga ke betis. Cairan dari embun digantikan oleh keringat asin yang tumpah di permukaan lapangan upacara.
Aku ingin mandi bung.
Seluruh siswa laki-laki melakukan latihan ini dari pukul 03.00 sore dan, berdasarkan informasi dari pembina wisma, akan selesai pada pukul 04.30 WIB. Aku harus menghadapi siksaan ini selama setengah jam lagi bung.
Beberapa episode angin menghembus di bawah langit merah. Pepohonan hingga semak hias yang mengitari petak lapangan upacara sudah lelah memberikan kami keteduhan. Daun-daun mati pun sudah malas untuk terbang.
Walaupun aku merasa lelah dan penat, mata dan otakku masih sangat aktif. Aku memandang bahwa, peleton wismaku mulai kehilangan bentuk dan tempo. Komang yang menjadi acuan tempo kita saat jalan di tempat mulai tidak stabil.
Komang oleng.
Seluruh barisan terdepan peleton, termasuk aku, bergegas menopang dia.
Dia masih sanggup untuk menopang diri sendiri. Hanya, kesadaran dia telah menyerah.
Aku menopang dia untuk berjalan. Dia kemudian aku pandu untuk duduk pada tangga lapangan upacara yang menghadap kepada parkiran timur.
"Kau baik-baik saja Komang?"
"Iya, tidak apa-apa. Aku hanya kurang stamina sedikit," ucap dia sambil menarik nafas dalam-dalam sambil menopang kepala pada dua lengannya.
"Aku saranin kakimu luruskan. Lebih baik kau menghadap ke atas untuk mendapatkan udara yang lebih segar," ucapku. Lalu, aku mengambil kedua lengan dia. "Lenganmu kau taruh di belakang buat nopang badan."
"Terima kasih Oni," balas dia dengan logat Balinya yang halus. Wajah dia masih menghadap angkasa. Namun, matanya tertutup. Dia tidak mampu merasakan angin tenang mengelus wajahnya. Dia hanya dapat merasakan mual.
Aku masih berdiri di sampingnya memastikan dia tidak apa-apa. Walau, jujur, aku juga menggunakan kesempatan ini untuk kabur dari latihan.
"Baik siswa, latihan saat ini dibubarkan. Harap kembali ke wisma masing-masing dalam kondisi baris-berbaris. Mengerti!"
"Siap mengerti!"
"Siswa Otniel!" sahut suara berat dari belakangku. Suara itu milik salah satu pembina wisma namun, bukan pembina wisma kami.
"Siap pak?" balasku sambil berlari menghadap kepada pembina wisma itu.
"Mohon bantu rekanmu ke klinik. Tidak baik untuk membiarkan dia pada kondisi seperti ini."
"Baik pak."
Aku berlari menuju Komang yang masih membatu menghadap angkasa. Warna kulit dia yang mengabu kembali menunjukan sedikit warna merah, mengembalikan dia pada kulit cokelatnya.
"Komang!" sahutku sambil menepuk bahunya. "Kuat kah kau untuk jalan?"
"Bisa. Bisa kok Oni."
Komang mengambil langkah pertamanya. Kakinya masih bergetar. Dia masih belum kuat menopang dirinya. Saat langkah kedua dia mulai kembali kehilangan keseimbangan.
Aku bergegas untuk menopang dia. Seluruh tubuh dia aku topangkan pada satu lengan yang aku lingkarkan pada leherku. Sekali-sekali, berada di posisi lebih pendek dari orang memiliki keuntungan.
"Makasih Oni."
"Udah simpan nafas mu buat jalan. Nanti kita bicara pas sampai di klinik."
Kita berdua berjalan sekitar 750 meter. Peleton-peleton wisma berlalu melampaui kami. Sungut-sungut dari setiap peleton menjadi musik yang menemani perjalanan. Transisi angin sore menjadi angin malam, dan gesekan dedaunan di pohon dan di atas jalan menambah harmoni pada sungut-sungut mereka.
Saat giliran wisma kami yang melampaui, mereka mulai meneriakan "cepat sembuh Komang!", berupaya menambah semangat.
Aku hanya bisa tersenyum risih tetapi, aku tidak menunjukannya kepada mereka. Komang mengayunkan tangannya yang tergantung lemas pada leherku untuk membalas mereka dengan lambaian.
Kita berdua tiba di pintu klinik. Staff klinik menyambut kami dengan respon dingin. Aku tahu dari nadanya dingin itu tidak dikarenakan oleh kekesalan. Namun, perempuan berjubah putih itu mengutamakan ke-efektif-an dari kalimatnya. Dia ingin memberikan apa yang diperlukan oleh siswa.
"Permasalahan dia apa?" tanya dokter itu.
Aku tidak tahu apa balasan yang tepat sehingga, aku mengambil keputusan menyesuaikan pengalamanku hidup di Kalimantan, hidup di khatulistiwa.
"Sepertinya, dia dehidrasi dok karena, terik ketika latihan PBB tadi."
"Tunggu sebentar ya."
Sang dokter kemudian meninggalkan ruangan sementara lalu, kembali lagi ke ruangan. Tidak ada sepuluh detik berlalu.
Dia menyodorkan aku sebuah kantong infus yang telah dibolongkan menggunakan pipet silikon.
"Kasih ini ke temanmu. Dia akan merasa lebih baik dalam beberapa menit."
"Beneran dok?"
"Lakukan saja," balas dokter itu. "Lebih efektif daripada saya harus memasang infus."
"Komang, kau dengar kata dokternya."
Komang hanya membalas aku dengan anggukan. Dia mengulurkan tangannya untuk meminta cairan infus dari sang dokter.
Dia lalu menenggak cairan infus itu bagai spons. Kantong yang menampung cairan itu menipis dalam hitungan detik.
"Udah lebih enakan sekarang. Terima kasih dok."
"Ya.
"Saya sarankan kamu istirahat sampai makan malam selesai. Akan lebih baik jika, kamu makan di sini saja agar tidak menguras tenaga. Paham?"
"Siap, paham dok."
"Sudah, tidak perlu pakai 'siap' ketika berbicara dengan saya. Cukup jawab dengan sederhana."
"Terima kasih," sahut kami berdua kepada sang dokter.
Aku mendudukan diri pada kasur di sebelah Komang untuk beristirahat. Seluruh penatku dilepaskan melalui hembusan nafas yang panjang ke arah lantai. Kesadaranku aku biarkan tenggelam pada kesunyian di dalam klinik.
"Oni, aku mau ngomong sesuatu," ucap Komang mencabut aku dalam momen hening.
"Ya," balasku dengan suara sedikit lemas.
"Mm..., aku tidak tahu bagaimana mengatakannya."
"Sederhana. Buka mulutmu, dan ucapkan saja," balasku berguyon. Tensi di ruangan ini terlalu tinggi, aku harus mengendorkannya sedikit.
Komang terdiam sejenak menghadap kepada posisi kakiku bergantung.
Dia kemudian menghadapku. Beragam emosi tergambarkan pada mata dia. Bibir dia bergetar dengan keraguan. Gambar yang dilukiskan oleh wajahnya hanya satu: ketakutan.
Dia mengacungkan telunjuknya kepada bahu kananku. Udara mulai menggetarkan pita suara dia yang membeku lalu, mulutnya mengucapkan, "Ada seseorang yang mengikutimu Oni."
***
Aku berusaha untuk memproses apa yang dikatakan oleh Komang kepadaku. Namun, aku tidak mendapatkan kesempatan untuk berendam dalam pikiranku.
Aku tahu SMA Arma Negara adalah sekolah semi-militer sehingga, hampir semua kegiatan akan diupacarakan. Dan, dalam waktu dekat, kegiatan orientasi akan dibuka sekitar, dua minggu lagi. Ribet asu.
Panas.
Mengapa terik Magelang datang telat.
Aku sekarang bersama seluruh angkatan sedang melaksanakan pelatihan PBB untuk pembukaan orientasi. Pembibing kami bukanlah para Pembina Wisma atau Guru Pengawas melainkan, para Peleton Khusus PBB (PKP).
Mereka merupakan para senior yang spesifik dilatih untuk PBB dan melatih PBB para junior. Pakaian mereka terdiri dari celana seragam harian berpasangan dengan kaos bertuliskan PKP dan topi dihias kain yang melindungi leher hingga telinga mereka.
Aku harus menghadapi pelatihan ini selama dua minggu penuh hingga kami sebagai angkatan bisa mendapatkan formasi 'sempurna' saat upacara nanti.
Ah..., repot.
Kenapa kalian tidak buat ini sederhana bos? Tinggal kumpulkan kami di Plaza, buat pembukaan yang harus kalian lakukan dan tutup di waktu itu juga. Daripada, kita berdua kepanasan di atas lapangan upacara. Kalian lelah meneriaki kami yang mulai malas-malasan dalam formasi dan kami yang lelah berlatih. Keduanya saling merasa untung kan?
Aku ingin sekali mengucapkan itu tetapi, apa kuasaku bos? Aku hanya anak yang mencari kesempatan untuk merantau dari rumah. Kalaupun, aku suarakan kerisihanku, aku tidak yakin aku akan didengarkan. Adanya aku akan dibantai habis-habisan.
Sebaiknya aku diam mengikuti latihan jalan di tempat ini.
"Jangan elek-elekan kalian!"
"Tempo! Perhatikan tempo!"
"Naikin disiplinnya! Semakin kalian malas-malasan, semakin laju dan berantakan tempo kalian."
"Woy dek! Perhatikan temponya!"
"Jangan ada yang bicara satu sama lain!"
"Kalian pada ngapain!"
Oh, langit sore. Kapan kau akan padam supaya aku bisa pulang ke wismaku, mandi, makan, lalu tidur?
"Tap, tap, tap, satu! Tap, tap, tap, dua!"
"Tempo! Tempo!"
Aku mohon hari ini cepat usai bos. Aku harus menghadapi latihan ini selama dua minggu pula.
Sepatu yang aku pakai ini masih baru namun, dua jam di tempat ini sudah mengauskan solnya bagai sudah aku pakai selama satu semester.
Hah..., tahan Oni, tahan kekesalanmu Oni.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar