Hari-H orientasi tiba.
Para siswa non-panitia baru saja tiba dari liburan semester mereka. Perlahan mereka berdatangan sejak empat hari lalu, tepat satu hari setelah insiden di Aula Literatur.
Seluruh mess hall di isi oleh deruan sendok dan perbincangan antar siswa.
Aku berada di sisi lain mess hall mendengar bentakan dari panitia orientasi yang kesal ketika angkatan kami melakukan kesalahan etika meja makan.
Sebelumnya, kita telah diberikan pengarahan mengenai etika meja makan Arma Negara. Tindakan pertama yang harus kita lakukan sebagai 'calon-siswa' adalah memperkenalkan diri kepada panitia. Pembukaannya harus dimulai dengan 'Izin memperkenalkan diri'.
Akhirnya aku mendapat jawaban kenapa orang-orang ini selalu mengawali dengan 'Izin...,' disambung dengan arah pembicaraan.
Meja makan terdiri dari enam kursi. Dua di kiri, dua di kanan, dan masing-masing satu menghadap utara dan selatan. Kedua meja tersebut disebut sebagai 'Kepala Meja' dan 'Wakil Kepala Meja', biasanya diisi oleh senior – dalam kondisi orientasi, diisi oleh panitia. Dan, jika salah satu kita, para calon-siswa sudah duduk atau akan duduk sebagai 'Wakil Kepala Meja' kita harus minta izin ke pada 'Kepala Meja' atau senior lain yang ada di meja makan.
Setelah perkenalan, sebagai 'kelas I', kita diminta untuk meminta izin sebelum duduk menempati kursi, membukakan tempat nasi, sayur dan tudung saji yang menutupi lauk makanan. Kita tidak diizinkan untuk menyentuhkan lutut kepada permukaan meja makan. Dan, kita diminta selama makan untuk menyiapkan minimal lima pertanyaan kepada panitia yang duduk sebagai 'Kepala Meja'.
Ribet.
Aku harus bertahan selama setengah jam menghadapi omong-kosong ini. Dan, aku harus menghadapi ini selama tiga bulan penuh.
***
Minggu depan jadwal belajar akan dimulai maka, seluruh siswa laki-laki diminta ke kelas untuk melaksanakan belajar malam.
Kita para kelas I harus menelan malas karena korsa(1) antar angkatan.
Karena, kita tidak memiliki bahan apapun untuk belajar kita berakhir bermain menggunakan perangkat kelas. Papan tulis, spidol, S.O.S mulai.
Aku tidak bisa diam dalam kelas ini. Mending, aku berjalan-jalan keliling kelas, mengeksplorasi lingkungan baruku dari bawah hingga ke atas.
Area pertama yang aku pindai, hutan di belakang kelas. Nostalgia sedikit walau, pohonnya tidak selebat hutan di Kalimantan.
Cahaya remang dari jendela kelas membantuku untuk melihat pemandangan di depanku.
Sepi bos, tidak membuat aku merasakan alam seperti di rumah. Pohon yang tumbuh di lahan ini tertata terlalu rapih di atas terasering kecil di belakang gedung. Mobil, siswa, bahkan tanaman di sekolah ini pun, dilatih PBB. Terasering itu diselimuti oleh rumput dan dedaunan mati. Di sebelah barisan pohon, pagar kawat duri dari atas hingga bawah menjadi pengaman area dan di baliknya, sebuah perumahan terlihat. Akses keluar hanya sebuah pintu yang diberikan gembok. Pintu itu diawasi oleh menara air setinggi 20 meter dari atas permukaan tanah.
Aku harus panjat menara air itu suatu saat nanti.
Sebuah suara perbincangan bocor dari salah satu jendela kelas.
Rasa penasaranku menyeret aku kepada jendela itu. Tiga orang sedang duduk menghadap satu meja layaknya konferensi para preman. Apa yang sedang mereka bicarakan?
"..., Ahahaha."
"Bicara soal Arma. Lu pada udah tahu blom tentang sejarah wisma 17."
"Ada apa emang di sono?"
"Gini, gini, gini. Dua tahon lalu, anggota wisma itu ada yang bunuh diri di gudang-nya. Alasan dia gantung diri gara-gara ga tahan di-bully ama panitia."
"Asu! Wismaku jancuk!"
Kayaknya aku kenal tuh suara ama logat?
"Jujur gua ga percaya ama rumor itu."
"Kenape emang?"
"Gua kenal ama itu orang. Dia senior SMP gua. Dari dulu ampe dia wafat, dia di-bully mulu ego.
"Gua ga deket ama dia tapi, ama junior SMP gua, dia dikenal sebage senior paling baik. Walau, semua pada risih ama dia gara-gara terlalu baik.
"Rasanya, dia kayak caper gara-gara ga ada temen seumuran dia."
"Tapi, piye kon tahu dia di-bully le?"
"Gua belum selesein cerita gua. Lanjut ya."
Saat dia melanjutkan cerita itu, aku perlahan mulai mendekat. Mungkin, ini informasi yang aku cari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku.
"Masi pada ingat kejadian kemaren kan lu pada?"
Dua orang itu membalas dengan anggukan.
"Itu abang yang kena semprot mic pas perkenalan, si Bang Gaharu. Dia di SMP gua dikenal sebage anggota dari 'Tim Gladiator'. Salah satu geng lokal SMP 31 Jakarta. Kerjaan mereka kalo ga nongkrong, malakin anak-anak satu SMP.
"Si Gaharu sama si almarhum itu punya sejarah. Terutama kalau Gaharu bosan, pasti yang jadi korban si almarhum. Dari ejekan biasa sampe kejahilan-kejahilan yang ga kebayang di kepala udah dilakuin semua. Dan semuanya ditelan ama almarhum."
"Le, kon kenapa ndak sebut nama ae?"
"Ya kali gua sebut anjir. Gua ga mau digangguin blok."
"Sebut aja kali. Takut-takut lu."
Bocah bersuara familiar dan satu temannya memaksa narator cerita untuk mengungkap nama si almarhum.
"Yaudah gua sebut...,"
Sebelum narator cerita bisa menyebut nama sang almarhum, sebuah teriakan meledak di antara mereka bertiga.
Aku juga ikut terkejut.
"AHHHHHH!!!"
"WHAAH!" teriak aku.
Tunggu dulu. Mereka kaget saat melihat keluar. Mereka kaget karena aku!
Saat logika itu mulai tertulis dalam kepalaku, aku berlari mendekati jendela. Beruntung jendela itu tidak terkunci.
Aku mengangkat jendela itu dan menyelipkan badanku sebelum mereka bisa berlari menjauhi aku. Aku melambai, "Aku manusia, manusia bos!"
"Katel! Ternyata koe Ni," sambut Dharmo dengan hangat dari dalam ruangan kelas.
"Maaf, maaf. Cerita kalian terlalu menarik. Aku tadi lagi keliling hutan di belakang."
"Buat paan?" tanya si narator.
"Nostalgia. Aku Otniel, panggil Oni. Dari Kalimantan.
"Kau ga lanjutin ceritanya kah?" sambungku.
"Apaan sih!? Kepo banget lu."
"Bukan gitu, aku sama Dharmo sama-sama wisma 17. Siapa tahu kan ada informasi penting yang aku perlu tahu. Apa yang harus dihindari atau apa gitu?"
Si narator menghadap ke Dharmo. "Die beneran temen lu?" tanya dia dengan nada meragukan.
"Iyo, beneran dia temen satu wisma."
"Yaudeh, gua lanjutinya.
"Nama almarhum senior gue Fahrizi.
"Kalo boleh tahu nih," potongku. "Dia punya kantong mata berat bukan?"
Dia merunduk untuk mengingat profil seniornya. Dahinya mengerenyit dan dia menopang seluruh bagian atas tubuhnya dengan lengannya yang di silang. "Tunggu bentar," ucap dia.
"Iya lu bener. Dia punya kantong mata berat pas SMP," sambungnya.
"Lo napa nanya memangnya?" sambung pendengar di sebelah Sudharmo.
"Mo? Masih ingat sama Komang kan?"
"Sing pingsan kemaren kan?"
"Kata dia, aku diikutin sama orang dengan profil kayak gitu."
Semuanya berkocar-kacir untuk berlari menjauh dariku. Si narator dan pendengar mengumamkan "Anjing, anjing, anjing!" saat mendorong diri menjauh dari meja.
"Canda!" teriak aku. "Canda doang."
"Ga lucu bangsat!" teriak si narator.
***
Kita harus menghadapi apel malam sebelum kita diizinkan untuk kembali ke wisma masing-masing.
200 siswa, termasuk aku, berdiri di bawah langit malam. Hembusan angin menyanyikan nina-bobo untuk kami. Beberapa siswa mulai kehilangan keseimbangan karena ditimpa oleh kantuk. Pembina apel, salah satu anggota panitia, mempertahankan kesadarannya dengan meneriakan pesan-pesan yang perlu dia sampaikan kepada kami.
Divisi Lapangan berlalu lalang di dalam sekat antar barisan siswa. Mereka menguji kesadaran kita semua, memastikan tidak ada yang tidur atau lemas dalam barisan.
Salah satu anggota Divisi Lapangan menyapu lenganku dengan kelingkingnya. "Dek," bisiknya. "Mengapa lenganmu lemas? Kamu malas-malasan ya?"
Tahi manusia ini.
"Siap! Tidak Bang," balasku.
"Lenganya diperkuat lagi. Banyak-banyak push-up. Abang tidak mau tahu, satu minggu lagi, abang ingin lenganmu lebih kuat saat posisi siap ke depannya."
"Siap! Terima kasih bang."
"Kamu juga banyakin makan," sambung dia.
Masih lanjut lagi. Oih. Aku ingin menghantamkan telapak tanganku ke wajah bos.
"Batang sapu bambu di kelas aja lebih kuat dari ini dek."
"Siap bang!"
Dia pergi dan lima menit telah berlalu. Sepertinya.
Pembina apel meminta kita untuk mengakhiri kegiatan apel malam dengan menyanyikan 'Padamu Negeri'.
Seluruh siswa membuka suara.
Lagu selesai. Apel dibubarkan.
Peleton demi peleton mulai berjalan menuju wisma masing-masing. Jalan kami hanya ditemani oleh tiang lampu dan GOR. Tidak ada cahaya yang menerangi jalan. Acuan setiap peleton hanyalah lampu teras wisma laki-laki.
Dua orang tua berdiri mengawasi peleton kami dari koridor yang tersambung pada GOR. Sepertinya, mereka memastikan agar panitia orientasi tidak menyalah-gunakan kuasa mereka.
"Siswa!" teriak salah satu guru di koridor itu. "Berhenti sebentar!"
Semua barisan berhenti.
"Siswa!" teriak dia lagi sambil melambai memanggil seseorang dari salah satu peleton wisma.
Seluruh rekan wismaku saling memandang satu sama lain, mencari-cari siapa yang dipanggil oleh guru di bawah koridor.
Aku, secara reflek, menunjuk kepada diri sendiri.
"Iya, anda siswa! Mohon keluar dari barisan sebentar!" sahutnya.
Ah..., apa yang harus aku hadapi sekarang?
Siswa dari wisma-wisma lain telah berangkat pulang ke wisma masing-masing, meninggalkan aku dan wismaku di atas jalan setapak GOR.
Aku berdiri menatap kepada guru itu pada posisi siap. "Siap pak!" sambutku kepada bapak tua itu.
Dia memiliki profil tinggi dan cungkring. Dia berumur sekitar akhir 50-an. Rambut putih dia tersisir rapih ke belakang. Dua garis, paralel mata ke mata mengalir ke bawah, menegaskan perbatasan antara hidung dan pipinya.
"Isi kantong anda apa siswa?" ucap dia dengan logat Jawanya yang kental.
"Siap! Perlengkapan wajib pak seperti, buku kantong, pena, sapu tangan dan dompet."
"Isi kantong kanan anda, keluarkan!" perintah dia.
"Siap!" ucapku membalas. Lenganku merogoh ke dalam...,
Tidak mungkin.
Aku meletakkanmu di dalam laciku dan aku tinggal semenjak sarapan pagi. Engkau tidak mungkin berada di dalam sini.
Aku mengankat hasil temuanku ke tengah-tengah arah pandang aku dan guru itu.
Baut yang ditakuti oleh Dirham dan Komang kembali lagi ke dalam kantongku.
Siapa yang meletakkannya di dalam situ?
Apakah dia?
"Ini akan saya simpan siswa. Masih siswa tidak baik membawa benda tajam."
"Siap! Mengerti pak."
"Sudah, kembali ke barisan anda siswa."
"Siap pak!"
Aku berbalik kanan dan segera berlari kepada barisan aku lagi.
Udara dingin nan menyengat hingga ke dalam tulang kembali berhembus. Lampu koridor yang terhubung dari gedung kelas kepada GOR mulai berkedip perlahan.
Aku bisa melihat tanda-tanda anggota wismaku mulai ketakutan.
Kedipan lampu koridor disusul oleh kedipan dari lampu GOR. Suara arus listrik yang menyengat telinga berderu dari dalam GOR. Ruangan GOR yang luas menjadi ruang resonansi yang menggetarkan hati anggota wismaku.
Getaran tubuh berhenti, dan kita semua membeku karena ketakutan.
Aku pun tidak bisa memikirkan guyon untuk menenangkan diriku, menghadapi situasi ini.
GOR mulai berkelap-kelip, dipenuhi oleh cahaya lampu, percikan api, dan sambaran listrik menari di atas lantai beton.
Lalu, tarian dari cahaya di dalam GOR meledak di hadapan wajah kita, menyadarkan kita akan lingkungan kita saat ini.
Pembina wisma yang mengawasi kami sudah melambai dari kejauhan, dari arah wisma mengarahkan kami untuk segera berlari. Namun, kami terlalu takut untuk menyadari apa yang terjadi.
Guru yang memanggilku telah berdiri di dalam GOR, menatap kepada langit-langit.
"Kalian menunggu apa siswa!?" teriaknya dari dalam.
"Segera kembali ke wisma masing-masing!"
Etika militer, PBB, kami abaikan semua. Kami terlalu takut untuk peduli dan kami berlari bagai barisan banteng kabur dari kandang.
***
Wisma 17 kembali kepada rutinitas masing-masing. Mereka mempersiapkan kepentingan-kepentingan orientasi dan kelas besok.
Tidak ada yang berbicara apapun.
Namun, mata tidak berbohong bos. Aku tahu.
Ini adalah sebuah kesepakatan bersama untuk anggota wisma 17, 'Tidak ada yang akan membicarakan insiden GOR pada jam 21.30WIB'.
Tetapi, aku tidak puas.
Aku tahu dia masih menunggu dan menempel padaku.
Bagaimana aku tahu? Saat ini aku sedang menulis harian di atas meja belajarku dan dia sedang memainkan pintu laci bukuku. Aku benar tidak bisa melihat namun, tidak mungkin sebuah pintu kembali terbuka dan menutup lalu, berhenti tepat pada jarak satu centi dari sekat lemari.
Logika kejadian tersebut adalah ketika seseorang dengan sengaja meninggalkan jemarinya di antara pintu dan sekat lemari. Dan aku, tidak sedang melakukan itu.
Kahil berbaring sambil membaca majalah dari kooperasi, mengabaikan hal itu dan mengganggapnya sebagai angin yang bertiup dari kaca nako.
Pertanyaanku sekarang, mengapa engkau menempel padaku?
Aku berjalan meninggalkan kamarku dan mengunjungi Komang lagi.
Komang melompat, melempar dirinya kepada dinding melihat kedatanganku di depan kamarnya.
"Oni! Aku mohon jangan masuk Oni! ONI!"
"Ok, ok bos. Santai. Aku bakal berdiri di depan sini."
"Baiklah Oni," ucapnya dengan nada tenang walau, wajah dia tidak berkata seperti itu.
"Dia masih di belakangku ya?" tanyaku pada Komang.
Dia hanya membalas dengan anggukan.
"Kau bisa jelaskan kenapa?"
Dia menggangguk lagi.
"Bakalkah kau jelaskan?"
Dia terdiam.
Aku tidak mengerti mengapa dia terdiam namun, aku berasumsi dia segan untuk menjelaskan.
"Bos. Aku tidak paham juga, mengapa dia mengikuti aku. Aku paham keberadaan mereka, aku bisa terima mereka ada. Tetapi, di akhir hari, aku tetap tidak bisa melihat ataupun berinteraksi dengan mereka. Seaneh-aneh situasi yang aku hadapi, aku akan mengabaikan juga jika, mereka berupaya mengganggu aku.
"Tapi, aku tidak bisa menjelaskan kepada diriku mengapa dia hanya berdiri dan menempel padaku. Dan, aku pun tidak mengerti mengapa kau dan Dirham yang terlihat seperti pasien kanker setiap kali dia muncul.
"Aku tahu ini sedikit egois..., ralat, aku memang egois karena memaksamu untuk membantuku mencari jawaban untuk kepuasan pribadi. Tapi, aku hanya ingin paham bos.
"Kau bisakah menjelaskan?"
Ketegangan yang mengekang seluruh tubuh Komang mulai terlepas. Walau, wajah dia masih seperti menatap mata iblis. Ini merupakan langkah yang baik.
"A.., aku tidak tahu Oni, kenapa dia mengikuti kamu. Namun, aku bisa menjelaskan kenapa aku dan..., siapa pun nama yang tadi kamu sebut, merasa lemah setiap kali dia muncul.
"Mereka, termasuk dia yang berdiri di belakangmu, memakan energi negatif untuk tetap bertahan. Aku tidak tahu mengapa kamu tidak merasa lengah, sepertinya dia tidak memakan atau dia tidak bisa memakan energimu. Jadi, mereka memakan energi yang terdekat.
"Aku dan...,"
"Dirham," putusku.
"Iya, dia. Dirham. Kami berdua bisa berinteraksi dengan mereka. Maka, aku dan Dirham memiliki energi yang cukup kuat untuk dikonsumsi oleh mereka."
Begitu kah cara kerjanya? Aku masih sedikit ragu-ragu untuk percaya dengan kata-kata Komang. Tetapi, hanya dia yang memiliki pengalaman. Walaupun mungkin dia mengasal, aku tidak punya sumber lain.
"Oni," panggil dia.
"Yo," ucapku sambil merunduk tenggelam dalam lautan yang disebut pikiran.
"Kamu masih lama?" tanya dia dengan nada risih.
"Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Hanya, wajah dia terlalu dekat dengan wajahku."
Aku mengangkat kepalaku saat mendengar kata-kata Komang.
Dia di atas kasurnya, kembali menempel pada dinding kayu. Kepala dia dan wajahnya ditarik kepada bahu kirinya. Raut wajah dia macam menahan aroma tidak sedap dari parit.
"Ok, terima kasih Komang," balasku dengan nada terkejut. "Aku kembali ke kamarku."
Aku memanjat kepada kasurku dan merebah.
Aku tidak bisa tidur malam ini. Otakku tidak mengizinkan aku tidur. Suara gir dalam kepalaku berdering keras, menghambat aku beristirahat.
Jawaban Komang hanya menambah pertanyaan yang muncul di kepalaku. Walau aku mulai sedikit mengerti bagaimana makhluk gaib bekerja tetapi...,
AHHH! Pusing bos!
Apakah hantu yang mengikutiku adalah orang yang sama? Apakah dia si Fahrizi yang diceritakan oleh si narator?
Siapa yang tahu sejarah wisma ini bos!?
Aku menghantam kedua tanganku kepada wajahku berharap hantaman itu dapat memberikan aku pencerahan. Seluruh tubuhku bergetar bagai aku kerasukan – walau mungkin terjadi dalam sekolah ini.
"Bacot anjing lu Ni!" teriak Kahil dari kasurnya.
"Bodo!" balasku. "Aku lagi mikir anjing! Kejadian GOR, aku dan Komang ke klinik, sejarah wisma ini! Semua ada hubungannya tapi, aku ga bisa nemuin jawaban apa-apa bangsat!
"Kalau kau ada solusi aku mendengarkan!"
"Santai aja anjir...," balas Kahil dengan suara yang mulai meredup. "Yaudah lu lanjutin...,"
Aku sudah kembali berendam dalam pikiran sebelum Kahil bisa menyelesaikan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Apa dan siapa? Apa dan siapa? Apa dan siapa? Apa dan siapa? Apa dan siapa? Apa dan siapa?
Itu terus berulang hingga duniaku menjadi hitam.
Mataku mulai terbelalak.
Aku tahu langkah yang harus aku ambil.
Aku langsung melompat ke pada lantai kamarku. Hantaman antara kepalaku dan permukaan meja menggetarkan udara wisma 17.
Suara telapak kaki dan bisikan uap dari anak-anak yang menyeterika seragamnya berhenti seketika.
"Lu ngapain goblok!" sahut Kahil terkejut dan menahan tawa.
"Baru dapat pencerahan bos," balasku menyeringai dari telinga ke telinga.
Aku mengambil secarik kertas dari harianku dan pena dari balik laci meja belajarku.
Kegiatanhari esok: peras segala info yang aku bisa dari si narator.
End Note:
1. Korsa: Komando Satu rasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar