Akhirnya, akhirnya, akhirnya!
Sebuah e-mail baru saja masuk mengabarkan takdirku selanjutnya. Aku baru saja diterima di SMA Arma Negara.
Surat pernyataan ini adalah tiketku untuk keluar dari hutan ini.
Sepanjang aku hidup, lingkunganku dikelilingi oleh hutan-hutan Kalimantan dan fauna yang tinggal di dalamnya.
Bayangkan, setiap pagi yang menyambutku berangkat pulang sekolah adalah orang utan, biawak, atau ular pohon.
Setiap kali aku ingin main dengan kawan-kawan, baik nge-trail pakai sepeda atau pingin berenang di pantai, pasti ada saja monyet atau buaya yang menunggu.
Sekarang aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan peradaban.
Kira-kira apa yang bisa aku lakukan untuk perpisahan dengan tempat ini ya?
Mungkin aku ajak kawan-kawanku sepedaan dah. Nge-trail sekali lagi sebelum aku meninggalkan mereka.
Aku berjalan ke meja dapur untuk menelfon kawan-kawanku dah.
(Tuut, tuut, tuut).
“Oi Ramzi, kau bisa main kah hari ini?”
“Bisa, mau ngajak siapa aja?”
“Siapa aja yang mau, tolong kau sambungkanlah ke telfon-telfon mereka. Aku ga tahu caranya bah.”
“Tunggu bentar Oni…,”
“Halo!”
“Yo.”
“Sapa ni?”
“Zi, ini siapa aja yang kau sambungin?”
“Harlan, Dimas, sama Syifa.”
“Jahat banget kamu Ni, ngga kenal sama suara kita,” balas Syifa risih.
“Suara lewat kabelnya agak jelek mba, maaf.”
“Ada apa memangnya bro?” sambut Harlan.
“Nge-trail kita sore ini?”
“Boleh-boleh. Sapa ja yang ikut?”
“Baru kalian empat yang aku telfon. Kalau kalian mau ajak adek-adek kalian atau kawan kalian yang lain silahkan.”
“Sip bro! Jam berapa?”
“Jam 4 seperti biasa.”
“Rute mana?” tanya Dimas.
“Pantai mau kah kalian?”
“GOBLOK!” teriak Ramzi di telfon. Kepalaku terlempar sepuluh centi dari gagang telfon saking keras suara dia. “Kamu tahu kan ini musim kawin buaya! Mau kakimu hilang?”
“Santai, kalau kita dikejar, kita tinggal tendang sepeda kau buat peralihan.”
“Tahi laso, bajingan satu ini.”
Tiga kawanku yang lainnya hanya tertawa dari masing-masing telfon mereka.
“Yaudah, jalur downhil aja bro.”
“Sip. Ku tunggu kalian jam 4 sore.”
***
“Anjing, mendung lagi. Kau yakin mau lanjutin trail-nya bro?”
“Lanjutlah. Pas pulang ku traktir kalian es krim di toko Mister Kell.”
“Beneran?” ucap Ramzi dan Syifa berbarengan.
“Iya. Btw, jadi cuma berdelapan kita? Tambah dua adik Harlan, adik kau Ramzi, sama kembaran kau Syif?”
“Iya, kenapa?”
“Gapapa, mikirin uangku cukup atau ngga buat neraktir kalian semua.”
“Sumpah, kamu udah hampir lulus, tetapi pelit dan perhitungannya ga berubah-ubah dah Oni,” balas Ramzi.
“Hey, itu karakterku bos. Kalian berteman sama aku disamping fakta aku pelit bukan?”
“Kata sapa kita temenan?” kata Dimas sarkas.
“Tahi kau…,” balasku berguyon dengannya.
Aku mengalihkan kepalaku kepada lereng bukit penuh lumpur dan rumput basah yang dibatasi oleh pepohonan liar.
Ini terakhir kali aku melihat kalian.
Kita berdelapan bersiap di atas bukit dengan sepeda-sepeda kita.
“Kalian siap?”
“Kalau aku duluan, kau belikan aku Mag**m!” tantang Ramzi.
“Sejak kapan aku kalah downhill sama kalian!” balasku sombong.
“Bro, jangan sotak(1) juga. Ku tendang juga nanti sepedamu,” balas Harlan.
“Udah sih. Lihat siapa yang lebih skill-nya, ya ga?” tanya Syifa mengkonfirmasi pada kembarannya dan tiga adik-adik kecil di kelompok kita.
“Kelamaan. MULAI!”
“WOI ONI, GA ADA CURI START ANJING!” sahut Ramzi.
Kita semua meluncur melawan angin yang berhembus ke wajah kita.
Lumpur dari permukaan bukit berlompatan karena permukaan ban kita.
Banyak lengan-lengan pohon yang bersiap untuk menjatuhkan kita dari sepeda kita masing-masing.
Pengalaman masing-masing menuntun kita untuk menghindari lengan-lengan pohon itu.
Beberapa ranting menggores permukaan kulitku namun, aku mengabaikannya.
Telingaku menanggkap suara-suara hewan dan pepohonan yang meneriakan peringatan kalau para bocah-bocah trail sedang menginvasi hutan mereka lagi.
“PERSIAPAN OI! GUNDUKAN DI DEPAN KITA. JANGAN ADA YANG MELAMBAT!”
“TAHU ONI, TAHU, BRO. GA PERLU KAMU BILANG LAGI!”
“I’VE ALWAYS WAITED FOR THIS!!!” teriak Ramzi.
“HHHIIYYAAAARRRHHH!!!” aku ga perlu sebut siapa yang teriak kayak gini.
Selama lima detik kita mengudara sebelum kembali mendarat pada permukaan lumpur yang lembut.
Tetapi, pantatku tetap sakit bos. Aku hanya bermodal BMX bekas. Tidak ada suspensi yang bisa melembutkan pendaratanku.
Banku mulai terselip karena lumpur. Pedal, pedal, pedal, biar stabil.
“ONI! GOWES LEBIH LAJU LAGI!” sahut mereka bertujuh.
“HAH, ADA APAAN!?”
TAHI! AKU TIDAK PERLU MENUNGGU JAWABAN MEREKA, AKU MELIHAT SENDIRI ALASAN MEREKA MEMAKSAKU UNTUK MENGAYUH SEPEDAKU LEBIH KENCANG.
ADA BIAWAK BOS NGEJAR AKU!
PEDALPEDALPEDALPEDALPEDALPEDALPEDAL! TAHITAHITAHITAHITAHITAHI!
JANTUNGKU GA KUAT BOS!!!
“HHHACCCCHHHH!!!”
BANGSAT BIAWAKNYA MAKIN NGAMUK LAGI!
DIA MARAH GARA-GARA APA ASU!?
SEMPAT GA YA AKU MENGINTIP!? KAGAKAGAKAGA! MENDING KABUR DULU.
ADAKAH DI HUTAN INI YANG BISA AKU PAKAI UNTUK MENGALIHKAN PERHATIAN DIA!?
BATANG KAYU YANG ADA DI POHON MASIH PADA KENCANG SEMUA BELUM ADA YANG LAPUK!
GA ADA BATU LAGI DI ATAS LANTAI LUMPUR INI!
AH!
ADA KAYU DI DEPAN!
AYOLAH ONI, INI TRIK ANDALANMU BUAT NGERJAIN KAWAN-KAWANMU SETIAP KALI MEREKA DUDUK MINUM PULANG MAIN!
TAHAN POSISI KAKI AGAR PEDAL GA GOYANG! PAHA MENJEPIT FRAME SEPEDA! BUNGKUKAN BADAN 90 DERAJAT MENGHADAP KANAN!
DAPAT!
SEKARANG, HITUNG WAKTU DENGAN TEPAT!
SATU, DUA, REM! DRIFT 180 DERAJAT.
BIAWAK MELOMPAT! HAJAR!
(BUAGH!)
“Oni, kamu gapapa bro!?” sahut Harlan.
“Hhah, hhah, hhah…, menurutmu!? Hhah, hhah, hhah.”
“Itu biawak mati?” tanya Syifa.
“Belum kayaknya, cuma pingsan paling,” balas Ramzi.
“Kamu kenapa bisa dikejar biawak goblok?” tanya Dimas.
Aku mengabaikan Dimas seiring aku memeriksa badan biawak itu.
Ouuuh…, tss, itu salahku bos. Ada jejak ban sepeda diujung ekor biawak yang baru saja aku buat pingsan.
Nantilah aku jawab Dimas.
“Nanti, ku jawab pas makan es krim aja.”
Dimas membalas dengan muka tidak puas.
“Oni, mending kita lanjut nge-trail,” sahut Ramzi.
“Kenapa bos?”
Dia hanya menunjuk ke tubuh biawak yang terbaring pulas di atas lumpur.
Kakinya bergetar.
Mataku membengkak.
“Kaburkaburkaburkaburkabur bos!”
Kita semua langsung menekan pedal sepeda masing-masing seakan dikejar setan.
***
“Hahahahahahaha!!! Aku masih megang juara bos!” teriakku menggosokkan kemenanganku ke hadapan kawan-kawanku. Dan, untuk menekankan kesombonganku, aku mengayunkan es krim Mag**m ke depan mereka semua.
“Sotak kali bro.”
“Males ih kalo Oni kayak gitu!”
“Sekarang kalian tahu kan, seperti apa sahabatku dan tingkah-tingkahnya yang menguji kesabaranku?”
“Santai Zi. Ini terakhir kali aku sombong di depan kalian?”
“Maksud?” tanya Dimas mendudukan diri di atas trotoar depan toko Mister Kell.
“Hari Minggu besok aku engga di sini lagi. Aku bakal berangkat ke Magelang untuk mulai SMA.”
“Kamu udah keterima Ni? Sekolah mana?” tanya Syifa.
“Arma Negara…,”
“ARMA! BENERAN BRO!?”
“Iya. Ini terakhir kali aku main sama kalian. Juga, aku satu-satunya generasi tua yang tertinggal di sini. Saul sudah pindah ke Jakarta, Ichal sama Athar juga. Tinggal aku.”
“Kenapa bawa-bawa Saul lagi bro?”
“Walau pun kalian jengkel sama dia, kalian engga bisa nyangkal kalau dia bagian dari generasi tua kan?”
Mereka terdiam.
“Jadi, gitulah. Ini permainan kita terakhir.”
“Lah, tapi bukannya pas liburan kamu bakal balik lagi kan?” tanya Syifa.
“Iya, terus kalian udah pada sibuk UN. Iya ga?”
“Iya sih.”
“Jadi gitulah.”
Hhah…, sebaiknya aku duduk. Jantungku rasanya mau pecah gara-gara kejar-kejaran sama biawak tadi.
Ada tempat kosong di sebelah Ramzi.
“Ah! Sapa yang lempar biji pinus itu!?” teriak Dimas.
“Kamu ya Ni!?”
“Bukan weh! Asal aja kau!”
“Oni…,” ujar Syifa dengan nadanya yang mulai bergetar sambil menunjuk ke atas pepohonan.
“BANGSAT, PASUKAN MONYET SORE! KABUR! JANGAN BIARIN MAKANAN TERTINGGAL!”
“KABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABURKABUR!!!”
“ES KRIMNYA GIMANA!?”
“TAHAN DALAM MULUT! GA ADA YANG BOLEH NINGGALIN MAKANAN KALO GA MEREKA BALIK LAGI!!!”
***
“OTNIEL!!! Barang-barangmu sudah siap!”
“Sudah Yah!”
“Angkut dulu koper ayah sama ibumu ke mobil dulu!”
“Ya Yah.”
Berat juga dua koper ini. Padahal mereka hanya menetap seminggu. Aku harus mengangkutnya ke bawah lagi.
Kenapa desain rumah ini desain panggung coba?
Oh, iya, aku tinggal di lereng bukit.
Sebaiknya aku menyeret dua koper ini keluar teras biar cepat.
Apa ini?
Kakiku kenapa geli?
AH!!, ular pohon! (Brak!)
Aku tahu menendangkan kakiku ke pagar kayu rumah adalah tindakan bodoh bos. Tetapi, itu satu-satunya reflek otomatisku yang paling efektif untuk mengusir ular.
“Suara apa itu Otniel?”
“Gapapa Yah! Ada ular pohon tadi lewat!”
Lanjut lagi bos. Persiapan untuk meniggalkan kota ini dan ke Magelang.
End note:
1. Sotak, istilah orang Kalimantan Timur untuk ‘sok tahu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar