Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R Vol. II Bab VI

Aku berharap aku bisa membersihkan mataku dengan pemutih bos. Aku tidak ingin melihat pemandangan itu lagi.

AH! SUDAH TERLANJUR JADI GAMBAR MENTAL! TELASO!

Salah satu rekan wismaku baru saja melompat indah – walau tetap tampak seperti mimpi buruk – tanpa busana. Kelaminnya berayun bagai bandul jam dinding membelah udara.

Aku sedang menata handukku saat memandang horor itu.

SESEORANG ROBEK MATAKU!

Ah, tetapi, kalau mataku tidak ada, aku akan kesulitan menyelesaikan misteri wisma ini.

Aku menghantamkan kedua telapak tanganku kepada pipi untuk menyadarkan diriku.

Lupakan. Lupakan. Lupakan Oni, lupakan!

Sekali lagi, aku teleportasi ke kamarku sendiri.

Ironisnya, aku tidak bisa masuk ke dalam. Badan Kahil mengisi seluruh ruangan dengan badannya dan membanjiri lantaiku dengan keringat.

"Aku masuk pakai sepatu."

"Jangan, jangan, jangan anjing. Kotor nanti lantainya jir!"

"Bodo amat. Aku ga nginjak keringat kau bos. Aku pel nanti."

Aku berjalan kepada meja belajarku memaksa masuk, menentang Kahil yang berusaha memblokir jalan dengan badannya.

Tidak ada kegiatan yang ingin aku lakukan hari ini. Aku hanya terduduk dan menatap kepada langit yang perlahan memerah dari balik jendela yang terbuka.

Lima belas menit berlalu selama aku menatap langit dan membiarkan pikiranku kosong.

Namun, aku dipaksa kembali ke dunia nyata.

Teriakan rekan wisma 17 meledak di tengah koridor. Derapan kaki basah bermandikan keringat terdengar dari kejauhan.

"WOI! WOI! WOI!" teriak mereka.

"KOMANG SAMA TEMAN KAMARNYA GA BANGUN OI!"

Aku langsung berlari ke kamar Komang mendengar kata-kata mereka.

Sudharmo dan Kahil berdiri tepat di pintu kamar Komang.

"Dhar, Hiltop, bukain jalan!" teriakku dari ujung koridor.

Kerumunan rekan wisma dibelah oleh Sudharmo dan Kahil seiring aku menyelip masuk.

Aku kembali mendapati Komang dalam keadaan pucat dan terbaring lemas di atas kasurnya. Namun, dia terlihat lebih buruk.

Aku langsung bergegas meletakan tanganku pada lehernya.

Dia dingin tetapi, masih ada sedikit denyut nadi di lehernya.

Aku memanjat ke kasur atas dan melakukan hal yang sama pada teman kamar Komang.

Kondisi mereka berdua sama persis.

Saat aku menambah fokus untuk memindai mereka dengan teliti, aku mendapati kejanggalan pada keduanya.

Sebuah garis hitam, macam memar, mengelilingi leher mereka berdua.

"Salah satu dari kalian panggil guru atau pembina wisma!" teriakku.

"Wes, aku aja sing pergi!" teriak Dharmo.

"Ga! Aku perlu kau sama Hiltop di sini!

"Yang lain ada yang bisa kah?"

"Gue, gue," sahut salah satu rekan wisma.

"Yaudah, secepat mungkin."

"Dharmo, Hiltop, sini dulu bentar," panggilku dengan melambai.

Aku merangkul mereka berdua agar perbincangan kita tidak diketahui oleh rekan wisma lainnya.

"Lu bisa ga sih ga manggil gua 'Hiltop'," pinta Kahil sambil dia berjalan mendekat.

Aku mengabaikan permintaan dia.

"Gimana ini Oni? Waktu kita ra kabeh le."

"Aku juga ga ngerti bos. Ini tiba-tiba banget."

"Kalian ngomongin apa sih."

Aku baru ingat kalau aku dan Sudharmo belum menceritakan rencana kita dan apa yang akan kita hadapi saat ini.

Aku menggaruk kepala seakan itu membantuku untuk menjelaskan situasi kita dengan sederhana. Padahal tidak. "Hil, aku ga peduli kau percaya atau engga. Tetapi, sekarang kita menghadapi situasi sulit."

"Maksud?"

"Komang dan teman kamarnya sekarang lagi dimakan(1)."

"Lu ngomong apaan sih!?" sahutnya berbisik.

"Dua arek iku lagi dihantui. Turune mereka ra bener."

"Kaga bener gimana?"

"Kau lihat baik-baik leher mereka," ucapku sambil menunjuk kepada badan Komang yang tertidur. Kahil menoleh pada arah telunjukku. "Memar seperti itu cuma mungkin terjadi dalam kondisi tertentu.

"Memar itu hanya terjadi pada orang yang mengikat lehernya sendiri."

"Maksud lu...,"

Kahil tidak menyelesaikan kata-katanya karena dia mulai menyadari ke mana arah perbincangan ini. Keringat dingin mulai membanjiri kening hingga ke pipi dia.

"Ya, hanya orang yang menggantung diri yang akan memiliki memar seperti itu."

"Ini ono hubungannya sama sing namae Fahrizi?"

"Aku kurang tahu. Tapi, kemungkinan besar iya."

"Jadi, lu mau apa dari gua?" tanya Kahil.

"Awalnya rencanaku mau minta kalian untuk mencari guru kelas yang dengan suka hati cerita ...,"

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, seorang guru dan pembina wisma menderobos lautan siswa wisma 17.

"Ada apa di sini siswa!?" teriak sang guru.

Aku mengintip dari sekat kamar Komang.

Guru yang baru saja menyahut tadi adalah guru yang sama, yang memanggilku pada insiden GOR.

Dia melihat aku dan dua kawanku berada di samping kasur tempat Komang dan teman kamarnya terbaring.

"Kalian bertiga ikut saya! Siswa yang lain ikut pembina wisma untuk menggotong mereka berdua ke klinik siswa."

"Ikut saya siswa!" sahut pembina wisma kami.

"Kalian bertiga ke sini dulu," panggil guru itu yang menunggu kami di koridor tengah.

"Jelaskan pada saya apa yang terjadi di sini!" perintah dia dengan logat Jawanya yang kental.

Kita bertiga hanya merunduk.

Kahil memecah kesunyian kita bertiga.

"Siap. Sejururnya saya, tidak tahu apa yang terjadi pak. Saya hanya melihat teman kamar kami dalam kondisi tertidur seperti itu pak."

Guru itu menatap tajam ke wajah Kahil. Lalu dia mengambil keputusan bahwa, Kahil berkata jujur.

"Siap. Sama dengan saya juga pak," sahut Sudharmo.

"Siap. Saya sendiri tidak mengerti pak," ucapku menyusul. "Mungkin bapak yang bisa menjelaskan kepada kami?" sambungku memasang wajah menantang guru itu.

Aku mencurigai bahwa guru itu mengetahui sesuatu tentang sejarah wisma ini.

Aku merencanakan jika, kelasku atau kelas Sudharmo dan Kahil bertemu dengan guru ini, salah satu dari kami harus bisa mendapatkan kesempatan untuk belajar di rumahnya.

Tetapi, kesempatan berada tepat di depan kakiku bos.

Tetapi lagi, tidakkah ini terlalu mudah?

Pengalamanku saat masih SMP setiap kali ada kemudahan yang jatuh tepat di atas paha, pasti ada aja kejadian untuk ngimbangin. Ga ada kejadian yang positif banget tanpa dibayar dengan negatif yang setara.

Sang guru menggaruk pipinya, "Ba...,"

"WOI DEK, KALIAN KENAPA BELUM SIAP-SIAP!"

Itu dia kejadian yang aku tunggu.

Dan untuk menambah kesialanku, orang yang baru saja menegur satu wisma kami adalah suspek misteri ini.

Bang Gaharu.

Guru yang menahan kami bertiga menoleh kepada divor itu.

"Maksud anda apa siswa!" bentaknya.

Dia terdiam.

Reaksi dia berikan tidak sesuai dengan bayanganku.

Kalau, aku mengikuti jalur cerita Bilal, dia seharusnya melambaikan statusnya sebagai anak Jenderal kepada guru di hadapanku. Lalu, sang guru akan meninggalkan ruangan, membiarkan kami dibantai.

Tetapi, yang aku lihat saat ini adalah panitia orientasi yang terdiam dengan wajah merah padam. Dia menahan amarah dan menatap dengan mata mengiris pada guru di hadapanku.

"Mohon maaf pak," ucap divor kita. "Sebentar lagi makan malam, seluruh siswa diminta untuk persiapan sebelum apel makan malam."

Amarah yang dipendam terdengar jelas pada suaranya.

Ada apa dengan guru ini? Apakah mungkin dia satu-satunya guru yang tidak bisa disentuh oleh manusia ini?

"Baiklah lanjutkan.

"Kalian bertiga, saya tunggu di lab kimia saat belajar malam.

"Kamu menunggu apa?" bentak sang guru kepada divor kita. "Lanjutkan tugasmu!"

"Siap!" balasnya kesal.

"WOI, DEK! KENAPA KAMU TELANJANG! PAKAI SERAGAMMU, SEGERA!"

"Kalian bertiga menunggu apa lagi?"

"Siap. Menunggu dibubarkan pak," balasku dengan terus terang.

Sang guru menghela nafas, mengatakan 'Ini anak beneran menunggu aku membubarkan mereka bertiga?'

Dia melambai mengusir kita bertiga. "Sudah, sana, kalian lanjut berisap-siap sana!"

***

Ini perasaanku atau ini benar-benar sedang terjadi.

Bang Gaharu mengambil posisi kepala meja.

"Inikah etika kalian!" bentak dia. "Belum ada satupun dari kalian yang berinisiatif untuk memperkenalkan diri!"

Bos belum satu menit berlalu, kau udah main bentak aja.

"Kamu! Kamu mulai duluan!" perintah dia padaku.

"Siap! Izin memperkenalkan diri bang. Nama, Otniel Sitohang. Asal, Bengalon."

"Bengalon itu apa? Kamu main-main sama saya!?"

"Siap! Tidak bang. Itu kecamatan tempat saya tinggal di Kalimantan."

"Tch! Lanjut!"

Bel makan malam berbunyi. Suara dua orang setelahku yang memperkenalkan diri tidak terdengar olehku.

Aku juga yakin, suara mereka tidak terdengar oleh Bang Gaharu.

Dia hanya menatap kepada kedua tangannya yang dikepal untuk menopang kepalanya di atas bibir. Dia hanya merespon dengan anggukan ketika, empat rekan mejaku selesai memperkenalkan diri.

Aku menanyakan padanya, "Maaf bang. Izin mengetahui nama dan asal abang?"

"Nanti, kalian tanyakan sama mentor wisma kalian."

Kita berempat melanjutkan dengan memutar lauk. Putaran selalu dimulai dari meja yang diisi oleh panitia orientasi. Karena, senior yang mengisi meja kita berada di kepala meja, rotasi dimulai dari dia.

Rekan mejaku memulai menawarkan nasi kepada Bang Gaharu.

"Kamu," sahutnya padaku. "Kenapa kamu ga inisiatif kayak temanmu ini!?"

Oi biang(2) satu ini ngajak kelahi kayaknya.

Belum ada satu menit sudah main nuduh aja.

"Siap, maaf bang," ucapku pada dia.

"Kamu bisa ga sih minta maaf dengan tulus."

Bajingan ini memang pingin bikin aku emosi.

Aku menyempatkan untuk mengintip kepada meja sekitarku. Aku harus memastikan orang ini punya kroni lain yang dia tanam dalam panitia orientasi.

Tahi.

Tiga meja melirik kepada mejaku. Posisi masing-masing senior itu sangat strategis untuk mengepung aku.

Aku harus menelan tahi yang keluar dari mulut orang ini.

***

Makan malam selesai. Masing-masing dari kita telah menanyakan lima pertanyaan mengenai SMA Arma Negara. Dan, piring-piring di atas meja telah dibereskan.

Sekarang kita sedang terduduk diam menunggu para kelas tiga meninggalkan ruangan.

Gaharu, sebagai kelas dua, masih menduduki kepala meja.

"Kamu."

Aku lagi yang kena sama si bajingan ini.

"Siap?"

"Nama abang sama asal abang, sebutkan!"

Bajingan satu ini benar-benar minta kelahi anjing.

"Mohon maaf bang," balasku padanya. "Sebelumnya, saya telah menanyakan namun, abang mengatakan untuk bertanya pada mentor wisma."

"Kamu nyolot ya!"

Aku sudah tidak berpikir di sini. Tanganku mengayun untuk keluar meja dan mengambil teko lalu, menyiram dia.

Namun, tanganku ditahan di bawah meja oleh rekan mejaku.

Dia menggelengkan kepala, menyuruhku untuk jangan melakukan hal bodoh.

"Yaudah. Besok, kamu cari meja abang lagi. Abang mau kamu sudah tahu nama lengkap abang, asal, dan jabatan. Paham!?"

"Siap, paham bang!"

Dia lalu pergi meninggalkan kami.

"Bos, kau kenapa tahan tanganku!?" bentakku pada orang yang disebelah meja.

"Lu goblok apa? Kalau lu ngapa-ngapain ke panor(3), angkatan kita yang kena anjing!"

Begitu kah sistem di sini? Oh iya, korsa. Satu salah, semua salah.

Ribet asem.

Aku langsung berdiri dan meninggalkan meja.

Kita semua dibariskan oleh panitia sebelum berangkat kepada ruang kelas masing-masing.

Aku diminta oleh salah satu divlap(4) untuk memimpin barisan ke lapangan apel kelas.

Setibanya di sana, aku membubarkan barisan. Lalu, aku menahan lengan Kahil sebelum dia bisa kabur.

"Kau mau ke mana bos? Kita ditunggu bapak tadi di ruang kimia."

"Males gua jir."

"Bodo amat. Kau ikut."

Sudharmo menyusul kepada kami dari belakang barisan.

"Jadi?"

"Jadi."

"Tahi."

Kita bertiga menaiki tangga dan berjalan ke gedung 2, lokasi ruang kimia berada.

Bapak guru yang memanggil kami telah berdiri di sana bagai patung.

Aku pun tidak yakin bapak itu telah makan. Dia terlihat seperti telah berdiri selama satu jam di depan pintu ruang kimia.

"Ah, kalian sudah tiba," sambutnya. "Ayo, segera masuk siswa.

"Ambil saja kursi-kursi yang tersedia di bawah meja."

Kahil dan Sudharmo menarik kursi yang paling dekat dengan mereka.

Aku masih menyempatkan diri untuk memindai ruangan yang sekarang kita tempati.

Seputih-putihnya ruang ini, aku masih merasa depresi. Mungkin, aku merasakan itu karena sudah malam. Dinding hingga meja dilapis oleh keramik putih, bagai rancangan kolam renang dalam ruangan. Setiap sudut diberikan perlengkapan kimia seperti tabung reaksi, erlenmeyer(5), alat penyuling, ruang mandi emergency, dan mantel laboratorium.

Bau beragam gas diudara tercium dengan jelas. Aroma formalin, belerang, mangnesium menari di reseptor hidungku.

Guru yang memanggil kami menduduki meja pengajar di ujung ruangan. Papan tulis menjadi latar dia.

"Baiklah, saya bapak Hadi Asmoro, guru kimia. Tinggal di R. 36 Kalian?"

"Saya Otniel Sitohang, asal...,"

"Nda usah pake asal nak. Langsung saja nama."

Aku menggangguk lalu menunjuk kepada Sudharmo.

"Dharmo pak. Sudharmo Firmansyah."

"Kahil Asmith."

"Jadi, kalian mau bertanya mulai dari mana?"

Kahil dan Sudharmo merunduk. Wajah mereka menunjukan raut tidak nyaman terhadap kondisi kita saat ini.

Aku memberanikan diri. "Kira-kira bapak mengertikah apa yang terjadi pada dua teman kami? Atau bapak setidaknya, mengerti sejarah tentang wisma kami? Bisakah bapak menceritakan, adakah hubungan wisma kami dengan abang yang tadi melakukan sweeping di wisma kami?"

Guru itu..., ralat, Bapak Hadi menatap kepadaku dan menelan lontaran pertanyaanku dengan mentah.

"Kalau saya berikan cerita saja tidak apa-apa?"

"Tak apa pak."

"Hm..., mulai dari mana ya. Saya akan mulai dari saat sekolah sepakat untuk mengeluarkan siswa itu. Gaharu.

"Masa orientasi pada tahun lalu merupakan masa orientasi yang paling menyulitkan. Pengaruh dari paguyuban orang tua menghambat praktik kedisiplinan dari panitia orientasi dan para guru. Terutama, karena kepala paguyuban 2012, Mayjen Badhar Amarullah, bapak dari Gaharu Amarullah.

"Tetapi, permasalahan Gaharu bukan karena panitia orientasi itu sendiri. Gaharu merupakan masalah yang kita hadapi. Kepribadian dia dan kapasitas akademiknya sangat bagus, saya mengakui itu. Tingkah laku dia terhadap barang-barang yang dia punya di kamarnya dan pencapaiannya di kelas mewakili pernyataannya itu. Namun, di mata dia, orang-orang sekitarnya adalah kepunyaan dia.

"Abang-abang kalian terdahulu tidak bisa mendisiplinkan dia karena status dan pengaruh yang dimiliki oleh orang tuanya. Tidak semua orang tua dari panitia orientasi 2012 merupakan anggota militer. Beberapa yang ada hanya berpangkat Kolonel dan Letnan Kolonel. Apa kuasa mereka terhadap seorang Mayjen.

"Gaharu menyadari itu dan dia menggunakan kondisinya seefektif mungkin. Pemalakan yang dia lakukan terhadap teman angkatannya sendiri, atau pem-bully-an pasti di abaikan. Ada beberapa panitia yang mencoba mendisiplinkan dia. Namun, karena tekanan orang tuanya, panitia tidak bisa melakukan apa-apa lalu, membuang muka.

"Saya sendiri tidak begitu paham bagaimana dia melaporkan kepada orang tuanya. Karena, satu-satunya cara informasi sampai kepada orang tua Gaharu adalah jika, dia berbicara sendiri. Artinya, ada beberapa informasi yang dia sendiri tutupi agar orang tuanya mengambil aksi.

"Klimaks cerita ini adalah saat almarhum abang kalian, Fahrizi mengambil nyawanya sendiri...,"

Aku tanpa sengaja melepaskan senyum bahagia. Asumsiku benar bos. Lalu, aku menarik nafas untuk menyembunyikan wajahku.

Aku mendapati sang bapak mengambil waktu sejenak. Mata dia menatap tajam padaku.

Sepertinya, dia sadar aku mendadak senyum.

Aku menyambung cerita dia untuk meneruskan topik. "Jadi ada hubungan pak, antara ke-'pergi'-an Bang Fahrizi dan Bang Gaharu?"

"Dia satu-satunya abangmu yang menentang Gaharu. Setiap kali ada pemalakan, dia yang menghentikan. Ada penindasan, dia yang menghentikan.

"Pertengakaran mereka akhirnya ketahuan saat Gaharu mulai muak dengan Fahrizi yang menolak untuk menjadi mainan dia. Mereka berdua bertengkar di lapangan parkir, seberang wisma kalian pada jam 03.00 subuh. Gaharu yang sudah muak dengan Fahrizi, menghamburkan seluruh peralatan sekolahnya di lapangan tersebut. Dia berencana untuk membakar barang-barang Fahrizi, untuk 'menyadarkan' posisi dia.

"Namun, dia tidak menyangka bahwa, Fahrizi akan melawan balik. Dia juga tidak menyangka kalau, dia akan kalah dengan Fahrizi.

"Sebagai upaya terakhir, dia mencoba untuk menusuk Fahrizi dengan gunting kertas.

"Kebetulan, saya yang sudah bangun dan bersiap untuk mempersiapkan solat subuh mendapati mereka sedang berkelahi di lapangan itu. Saya bergegas mencegah mereka."

Aku tidak yakin bapak ini tiba-tiba menemukan mereka sedang bertengkar. Tetapi, aku akan mengabaikan kecurigaanku untuk hal itu.

"Mereka berdua diminta untuk menghadap kepada wakil kepala sekolah bagian kesiswaan untuk diinterogasi mengenai insiden jam 03.00 pagi itu. Dan karena, pengaruh dari orang tua Gaharu lagi, interogasi mereka berdua tidak diteruskan. Orang tua Gaharu menganggap jika, salah satu dari mereka terkena masalah, reputasi mereka terancam. Jika, Fahrizi dikeluarkan, kemungkinan reputasi mereka dirusak di luar sekolah ini semakin tinggi.

"Sayangnya, Gaharu belum puas. Dia benar-benar ingin mematahkan Fahrizi. Jadi, dia menjebak Fahrizi dengan menanam barang bukti palsu di kamar Fahrizi.

"Salah satu guru kalian yang tinggal di R. 22, seorang guru sejarah kehilangan kotak yang berisikan perhiasan emas. Kotak itu ditemukan di kamar Fahrizi.

"Saya tahu yang mengambil kotak itu dan menempatkannya di kamar Fahrizi adalah Gaharu dan anggota yang dia libatkan. Mereka saat itu mengatur jadwal untuk les di R. 22. Tiba-tiba saja, tengah malam, seluruh guru sekolah ini mendapatkan kabar ada pencurian di salah satu rumah. Dan, itu terjadi dalam satu hari yang sama.

"Esoknya pencarian dilakukan di wisma para siswa oleh pembina wisma dan guru pengawas. Barang bukti itu ditemukan di kamar Fahrizi, di wisma 17. Gaharu juga penghuni wisma yang sama.

"Fahrizi membantah tuduhan dia sebagai pencurinya. Bahkan, dia tidak ada mengunjungi rumah guru pada malam itu. Dia berpaling kepada rekan-rekan wismanya, terutama kepada yang telah dia bantu untuk menghadapi Gaharu. Namun, mereka berpaling. Semua memalsukan pengakuan bahwa, tidak ada yang melihat Fahrizi di kelas maupun di Aula.

"Dia sudah tidak kuat menanggung tekanan di punggungnya. Kami menemukan badan dia tergantung di dalam gudang wisma tiga hari kemudian."

Bapak itu kemudian merogoh kantongnya lalu, melemparkannya padaku.

"Dia menggantung dirinya dengan gesper yang dibaut kepada langit-langit gudang kalian."

"Pak," putusku. "Jadi, kejadian teman-teman kami yang sekarang di klinik, ada hubungan dengan kejadian Bang Fahrizi?"

Kahil dan Sudharmo terkejut, menghadapkan wajah mereka yang panik kepadaku.

"Iya. Saya lanjutkan dulu cerita saya.

"Saya sebagai pamong mengambil inisiatif untuk mengajukan surat pengeluaran siswa. Saya pun sudah mencatat daftar kesalahan dan pembuktiannya, tentang bagaimana keterlibatan Gaharu dengan kematian Fahrizi.

"Namun, tentu saja para guru tidak bisa mengambil aksi. Saat berita ini sampai kepada orang tua Gaharu, mereka mendatangi rumah saya langsung. Saya ditodongkan pistol di kepala karena menentang mereka. Dan karena kuasa Allah, pelatuknya macet, tiga kali."

Eh..., ok?

"Akhirnya sekolah memutuskan untuk menutupi insiden itu dengan syarat gencatan senjata antara saya dan keluarga Gaharu Amarullah."

"Hubungan dengan kejadian teman wisma kami bagaimana pak?" sambungku lagi.

"Saya tidak mengerti juga. Sepertinya, abangmu mulai emosi. Dia mulai memakan energi teman-teman wisma kalian. Saya juga, kurang mengerti alasannya. Mungkin, ada hubungan dengan dengan status abangmu, Gaharu sebagai panitia orientasi."

"Maaf pak, bukankah ini hanya rumor saja? Mohon maaf tetapi, saya tidak bisa mempercayai takhayul pak," bantah Kahil.

Namun, aku melihat jelas di mata dia bahwa, dia ketakutan. Bos, aku yang nemanin kau berak jam 12.00 malam gara-gara kau takut.

"Tidak apa-apa siswa. Hanya, saya berharap kalian bertiga bisa melakukan sesuatu setelah mendengar cerita ini."

"Ta...,"

"Terima kasih pak atas ceritanya," ucapku memotong kata-kata Kahil.

Bel apel malam berbunyi memanggil kami.

Aku mewakili dua temanku untuk berpamitan dengan Pak Hadi.

Kita bertiga bergegas menuju tangga yang terhubung kepada lapangan apel gedung 3.

Tahi.

Manusia sialan itu ada di sini lagi. Si Gaharu.

Aku punya perasaan buruk soal ini.


End note:

1. Aku bermaksud untuk mengatakan energi mereka dimakan oleh hantu di wisma 17.

2. Bahasa Batak untuk "anjing."

3. Panor, singkatan untuk Panitia Orientasi.

4. Divlap, singkatan divisi lapangan.

5. Tabung ukuran kimia berbentuk keroncong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...