Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Bab IX

Rabu, 17 Juli 2013.

Kegiatan makan siang usai.

"Dek, temuin abang setelah makan di depan pintu mess hall," ucap Gaharu meninggalkan meja.

"Siap bang," balasku dengan posisi duduk siap.

Aku menyusul dan menemui si bajingan di depan pintu.

"Ambil posisi setengah kombinasi(1)! Turun 50!"

"Siap!"

.

Kamis, 25 Juli 2013.

Kegiatan apel siang setelah kegiatan belajar-mengajar.

"Temuin abang usai apel," bisik Gaharu.

"Siap bang!"

Aku berjalan kepada Gaharu yang berdiri di tepian taman Area 3.

"Turun push-up 40!"

"Siap!" balasku. "Izin bertanya bang. Sekiranya kesalahan saya apa?"

"Kamu nantang abang ya? Tambah 10!"

Manusia ini benar-benar menarik nadiku keluar kulit. Aku menanyakan kesalahanku agar aku bisa koreksi malah, dia nuduh aku nantang pula.

.

Hari yang sama, kegiatan makan siang.

"Kamu kenapa masuk lebih telat dari abang? Kamu ga ada respect sama sekali sama senior, gitu?"

"Siap tidak bang!"

"Gara-gara push-up mu lama, kita terlambat makan siang! Sudah! Kamu siapkan makan abang, kamunya ga usah biar kita cepat selesai!"

.

Minggu, 28 Juli 2013.

Kegiatan sarapan pagi sebelum berangkat gereja.

Aku mengambil meja yang dikepalai oleh divisi lapangan kelas 3, yang juga bertugas mendampingi kami, minoritas kristen ke gereja. Kursi yang aku ambil persis berada di kanan sang kepala.

"Selamat siang bang, izin duduk," sambut Gaharu.

Sang kepala meja menolak permohonan Gaharu dengan melambaikan tangannya.

Dia meninggalkan meja dengan kecewa. Suara samar Gaharu melontarkan "tch" terdengar olehku. Juga, dia menyempatkan untuk menendang kursiku sebelum meninggalkan meja.

.

Kegiatan apel malam, pada hari Minggu yang sama.

Aku memandang dan berusaha mempertahankan kesadaran untuk memperhatikan pembina apel membawakan pengarahan.

Tiba-tiba kakiku tersapu dari belakang. Aku sempat kehilangan keseimbangan.

"Woy! Jangan ngantuk woy! Kamu tidur ya dek!" bentak Gaharu.

Si bajingan ini benar-benar ingin mematahkan semangatku.

Teriakan dia mengundang divisi lapangan yang lain untuk melecehkan aku.

"Maksudmu apa dek!?"

"Kamu nggak respect sama senior apa!?"

"Pengarahannya ngebosenin kali, makanya dia tidur! Cuma dongeng, cuma dongeng!"

"Perhatian semua! Sikap push-up dan tahan di atas!"

Oh..., makin indah sekali penutup hari ini bos. Aku dijebak oleh panitia orientasi dan ditusuk oleh 300 mata yang merasa jengkel terhadap bala yang mereka derita.

Inilah highlight dari pencapaian Gaharu yang berusaha untuk mematahkan semangatku.

***

"Ah...," lepas nafasku seiring aku mendudukan diri di kursi belajarku.

"Kon ra ganti baju le?" tanya Sudharmo yang menyandarkan bahunya pada lemari Kahil.

"Capek bos. Dua minggu berturut-turut anjing, aku dibantai si bangsat itu! Kau mau pijetin kah, Dharmo?"

"Ora asu! Ga berakhlak kon!"

"Canda bos, canda."

Aku menutup mata dan menghadapkan wajah kepada langit-langit wisma bagai menunggu pencerahan dari surga.

Aku yang terduduk lemas berseragam, Sudharmo yang mengenakan piyama Arma Negara, dan Kahil yang membaringkan setengah badannya di atas kasur hanya bisa berdiam. Kesunyian kita bersepakat bahwa, dua minggu ini terasa seperti neraka di dunia.

"Mo, kau da...,"

Sekali lagi, aku tidak dapat menyelesaikan kata-kataku karena tidak diizinkan nasib.

"Woy anjing! Masalah lu apa sih!?"

"Hm?"

"Lu pengen ya ngancurin nama angkatan makanya nantangin abang-abang panitia orientasi mulu!? Kalo memang itu mau lu, mending lu ngundurin diri anjing! Kita ga butuh sampah kayak lu," ucap salah satu rekan wisma 17 yang membawa empat orang pendamping ke kamarku.

Aku mengambil langkah kepada rekan wisma yang terdengar mengoceh tanpa berpikir. Kedua tanganku aku jepitkan kepada sikutnya. Lalu, aku menghantamkan kepalaku kepada tepat di keningnya.

"Anjing maksud lu apa!?"

"Mau mastiin, kepala kau ada isinya atau ngga. Aku ga ada dengar gema, artinya otakmu masih ada."

"Lu mau ribut a...,"

Sebelum dia bisa melepaskan genggamanku, aku menjepit dia lebih erat, melipat sikutnya ke dalam pinggang dia yang berlapis lemak.

"Kalau kau benar-benar mikir, kau bakal nanya aku dulu bos "apa masalahku dengan para panitia?" Bukan asal bentak dan mengatai aku "anjing." Kalau kau mikir, kau bakal pasang asumsi terbaik kalau aslinya aku ga ada masalah apa-apa, cuma ada panitia yang selek. Ngerti?

"Juga, jujur memang ada panitia yang selek. Kau tahu gara-gara apa? Gara-gara aku sama kawan-kawanku di kamar ini berusaha nyari cara buat nyembuhin Komang dan kawan kita yang lain, yang di rawat di klinik. Mereka ngira aku ngejilat sama guru karena aku meminta jawaban dari guru daripada nanya panitia. Terutama, abang divisi orientasi kita tercinta, Gaharu.

"Sekarang aku mau tanya, kau adakah solusi selain mengamuk ke aku gara-gara nyari jawaban demi kawan wisma kita? Hm!? Kalau ga ada mending kau balik kanan dan berangkat ke kamar kau."

Aku melepaskan kedua lenganku dari bocah yang mengamuk itu.

Dia berbalik badan namun, dia tidak meninggalkan kamarku. Dia mengambil ancang-ancang untuk memukul aku.

Aku tidak berkutik dan menerima pukulan dia. Refleksku payah bos jadi, aku hanya bisa merespon sesuai kemampuanku. Walaupun seperti itu, kepalaku tidak berputar. Aku hanya menatap lurus pada wajahnya yang merah padam dengan kepalan tangannya mencium pipiku.

"Giliranku kan?"

Sekali lagi, aku menghantamkan kepalaku ke wajahnya. Kali ini keningku meratakan hidungnya.

Bercak darah menghias keningku sementara, hidungnya menjadi air terjun berwarna maroon.

"An...!"

"Sudah, sudah. Gausah maksa lagi!"

Dia ingin melempar pukulan kedua tetapi, teman-temannya menahan dia. Mereka menarik dia kembali ke kamarnya.

Sudharmo mengambil aksi untuk memeriksa keadaaanku.

"Kon ra po po rek?"

"Gapapa bos, santai. Aku cungkring tapi, tulangku keras bos. Ngomong-ngomong, jadi keingat gara-gara insiden tadi, kau ada info kah soal bagaimana kita bisa bebasin kawan-kawan kita yang sedang di rawat inap sekarang?"

Kalian mengapa merunduk?

"Bapaknya sudah ngasi tahu kita langsung cara buat nyelamatin temen-temen kita cuma...,"

"Cuma?"

Aku tidak suka arah pembicaraan ini bos. Perasaanku tidak enak. Hari-hari di sekolah ini semakin lama terasa seperti sedang terjun ke dalam jurang.

"Carane cuma iso kalo si Gaharune ngaku ato wes modar."

Rasanya aku ingin menghantamkan kepalaku sekali lagi ke wajah bocah tadi untuk melepas penat.

Bagaimana caranya aku mengumpan Gaharu untuk masuk ke wisma ini sendirian? Orang itu selalu membawa kroni-kroninya setiap kali menemuiku.

Aku melemparkan seluruh tubuhku kembali kepada kursi dan mencengkeram wajahku erat.

ARGH!!!

***

Anjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjing!

"Woi, gausah ngantamin meja! Berisik anjing!"

"Diam lu sampah!" bentak gua dari kamar ke koridor wisma. "Lu masih mau punya masa depan kan?"

"Sabar Ru, jangan ladenin mereka jir."

"Bener Ru, lu punya urusan yang lebih penting kan dari mereka."

Gua ngabaiin kata-kata mereka. Badan gua merunduk di topang lengan atas gara-gara sudah PW(2). Lampu kamar gua, gua biarin mati soalnya adem.

Kenapa!?

Gua sudah ngelempar macem-macem bala kepada cecunguk itu. Tetapi, tidak ada sedikit pun, TIDAK ADA SEDIKIT PUN tanda-tanda dia menyerah.

Gua tahu dia pasti masih ngontak bapak tua bangsat itu.

Siapa sih dia!? Tidak pernah gua dilecehkan seperti ini anjing! Dia bukan siapa-siapa, bukan anak jenderal, bukan anak militer, gua pun ga tahu dia mau apa untuk masa depannya. Dan gua bakal ka..., Ga! Gua belum kalah sama cecunguk itu.

"Oi Gaharu! Lu ikut kaga?" panggil temen gua dari koridor.

"Ikut-ikut," balas gua sambil mendorong kursi belajar gua keluar meja.

"Lu-lu pada ikut?"

"Iya kita berdua ikutlah Ru."

Gua sama dua sahabat gua jalan bareng, nyusul temen gua yang ngajakin ke kamar mandi.

"Merek yang lu pada bawa malam ini apa?" tanya gua ke temen gua yang mimpin jalan.

"Marlb*r* Menthol. Mau kaga?"

"Sans."

Gua menyempatkan mampir ke ruang cuci buat ngambil ember sebelum bertemu sama fogger.

Ada sembilan orang sudah menunggu di ujung kamar mandi, menduduki ember mereka masing-masing. Walau, dua memilih duduk di atas celah antara sekat pemisah kamar mandi dengan langit-langit kamar mandi.

Gua ga ngerti mereka. Apa ga jijik anjing, dekat dengan lumut gitu?

Mereka adalah kelompok turunan dari sekolah ini yang kerjanya nyelundupin rokok ke dalam Arma, disebut oleh anak-anak: Fogger.

Salah satu bubuahan fogger menyodorkan gua enam batang rokok.

"Gua satu aja," kataku. "Lu pada ambil berapa?"

"Gua dua dah."

"Lu kalau gamau satunya, buat gua aja."

Gua memberikan jatah gua ke dia.

Gua menarik asap rokok sampai paru-paru gua hampir membengkak. Gua berharap nikotin yang ada dalam darah gua bisa bantu melepas stres.

Gua mendudukan diri dan menatap kepada celah antar ubin.

Gua tahu warna yang gua lihat di permukaan ubin adalah warna krem. Tetapi, yang muncul di kepala gua hanyalah merah. Merah, Merah, MERAH, MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH!

(Hessttt..., whu...)

Cuma nikotin yang bisa ngelegain gua.

Yang gua hadepin sekarang ini ga beda jauh waktu gua nanganin lu Fahrizi.

Lu sama si cecunguk dari wisma 17 itu ga beda jauh. Lu berdua naro batang hidung kalian di tempat yang salah. Lu ngehalangin gua untuk mendapatkan hak gua. Dan cecunguk itu pingin merusak nama gua. Mereka yang salah. Ya, MEREKA YANG SALAH! NGAPAIN MEREKA NGHALANGIN GUA UNTUK MENDAPATKAN HAK GUA.

HAK GUA UNTUK DAPAT DUIT DARI ORANG-ORANG DI BAWAH GUA!

HAK GUA UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN SIAPA YANG DI BAWAH DAN SIAPA YANG DI ATAS! YANG LEMAH HARUS TAHU MEREKA LEMAH! GUA YANG MASTIKAN MEREKA TETAP SEBAGAI ORANG LEMAH.

GUA KAN CALON PEMIMPIN! KATA-KATA GUA MANDAT ANJING!

(Hessttt..., whu...)

Tetapi, cecunguk itu ga tahu diri. Dia nanya-nanya soal gua, nanya-nanya soal lu Fahrizi. Dan yang kurang ajarnya, setiap kali gua menghambat cecunguk itu, dia dengan berani berdiri dan menginjak harga diri gua sambil natap gua di mata.

(Prak.)

Gua tanpa sadar matahin batang rokok di tangan gua. Badan gua ga bisa bohong kalau gua sudah emosi.

"Bro, bagi sebatnya(3) satu lagi!"

Gua nyalain lagi satu batang rokok yang gua jepit di ujung bibir.

Asapnya gua hembuskan ke permukaan lantai kamar mandi. Gua tahu, gua melakukan itu ga mempengaruhi apa-apa tetapi, ga ada salah gua berlaga semua penat gua larut di genangan air yang ada di permukaan lantai.

"Ru, lu kenapa sih? Muka lu kayak habis nyium kaos kaki Curut anjir. Lu masih kepikiran cecunguk kelas 1 itu?"

Gua ga sengaja ngelepas tawa waktu dengar nama Curut.

Dia orang paling kotor di wisma 12. Juga, dia dapat nama curut gara-gara nyepuin satu wisma waktu mereka nyelundupin whisky ke dalam Arma.

Gua berdiri baru jalan ke sebelah ruang cuci.

"Oi, Gaharu! Lu mau ke mana? Lu belum jawab pertanyaan gua!"

"Matiin lampunya sebagian, silau , ntar gua balik lagi. Sabaran jir."

Angin Magelang ngeselin banget sumpah.

Lantai kamar mandi ini ga kering-kering jir. Gua risih nginjak genangan air yang numpuk di lantai kamar mandi sialan ini. Yang piket harian juga, gimana sih!? Ngeringin lantai doang ga bisa."

(Ctek!)

(Hsst..., whu)

Gua balik lagi ke kumpulan fogger lalu, menarik ember gua biar gua bisa duduk.

"Jadi, lu bakal lanjutin ga? Gaharu?"

"Sabar, gua narik dulu, (hsst..., whu...).

"Lu pada masih ingat adek yang sempat gua panggil kemaren kan?"

"Yang nyolot sama lu?"

"Iya, cecunguk yang nyolot sama gua sama yang kita bantai bareng. Dia malah makin sotoy anjing di meja makan selama orientasi. Masa dia ngelihat ke arah lain baru ngacangin gua selama makan, anjing ga tuh!?"

"Masa mandang doang nyolot anjing!" balas sahabat gua. Gua ga percaya anjing dia mempertanyakan kata-kata gua.

"Lu ngeraguin gua!? Kalo gua bilang dia ngacangin gua buat natap ke arah barisan cewe baru lu percaya?" balas gua sambil menodong sahabat gua pake dua jari yang nahan sebat gua.

"Anjing, nyolot banget tuh adek!"

"Baru, berani-beraninya," gua menarik nafas dan meluapkan emosi gua ke kaki gua. "Berani-beraninya cecunguk itu CERITA KE PAMONG ANJING!" bentak gua. Tanpa sadar, gua menendang ember gua sampai mantul dari dinding sekat shower.

"NGAJAK RIBUT CECUNGUK ITU BANGSAT! BERKALI-KALI, BERKALI-KALI GUA MATAHIN SEMANGAT DIA, DIA BANGKIT LAGI DAN NGELUDAH DI DEPAN MUKA GUA!"

(Hsst..., whu...)

Gua tahu gua ga memberikan detilnya ke dua sahabat gua atau ke anak-anak Fogger karena, detil-detil itu ga penting. Yang penting bagi gua itu fakta cecunguk itu nyolot dan nantangin gua. Dia bukan siapa-siapa anjing! Gua ga sudi dilecehkan sama sampah kayak gitu.

"Lu sekarang ngertikan perasaan gua?" ucap gua sambil nahan emosi sekuat tenaga.

"Jadi, yang bakal lu lakukan selanjutnya paan Ru?"

Gua ga tahu kenapa rasanya sahabat gua nantangin gua juga, dengan menanyakan pertanyaan itu. Gua langsung bereaksi dan menarik kaosnya biar dia berdiri setara dengan gua.

"Kalau lu ada ide atau saran yang lebih baik dari gua mending langsung bilang ke gua, daripada gua gebukin lu buat ngelepas emosi!" kata gua ke sahabat gua.

Kalau dia memang sahabat gua, dia bakal ada buat nerima amukan gua. Atau ga, dia bisa ngasih gua saran bagaimana gua matahin semangat cecunguk sialan itu.

"Bro, bro, maafin gua bro. Gua kaga bermaksud nantangin lu bro. Santuy, santuy. Gua kan sahabat lu bro, gua pasti ada saran buat lu."

"Jadi?"

"Eh...,"

Gua mulai meragukan kesetiaan sahabat gua. Dia kaga bisa mikir cepet anjing. Gua udah tahu dia pasti ga bisa bantu gua. Ga guna kalau dia pintar di kelas, bisa bantu bikinin PR tetapi, ga bisa mempertahankan kesetiaannya sebagai teman gua.

"Woi! Lu jangan ribut di sini jir!" bentak satu anak Fogger. "Nanti malah ngundang pisma(4) b...,"

"LU DIAM! INI URUSAN GUA!" balas gua ke anggota Fogger yang dengan tidak sopan memotong perbincangan gua. "LU MAU GUA NGIKUT-NGIKUT URUSAN LU!? KALO LU MAU, GUA BISA! LU MAU MASUK AKMIL KAN!? GUA BISA GAGALIN LU DARI AWAL DENGAN SATU PANGGILAN TELFON KE BOKAP GUA ANJING!

"JADI, LU MASIH MAU NANTANGIN KAGA!? AYO SINI LANJUTIN!"

Gua udah tebak, dia kaga bisa lakuin apa-apa ke gua. Muka dia udah ngatain semua, dia cuma bisa bacot doang tetapi, kaga berani ngelawan gua. Cuma bisa pamer doang.

Dia ngangkat tangan baru mundur ke embernya yang ada di tengah-tengah koridor kamar mandi.

(Hsst..., whu...)

"Jadi, apa saran lu?"

"Lu kan bisa jebak dia kayak waktu lu jeba...,"

Gua ga perlu ngomong ke sahabat gua. Gua berharap dia lanjutin kalimatnya biar gua ada alasan buat menghajar dia sekarang, di kamar mandi ini.

"Ehem, kayak lu ngasih pelajaran ke Fahrizi gara-gara udah nantangin lu."

"Itu ga nyelesaiin apa-apa! Gua udah berkali-kali ngasih dia pelajaran, di apel, di makan pagi, di makan siang, di makan malam, di apel malam, selama dua minggu berturut-turut. Gua kaga dapat hasil apa-apa."

"Lu udah coba semua cara yang lu bisa belom?"

"Kalau gua udah nyoba cara yang gua bisa, gua kaga bakal nanya lu anjing!" ucap gua. Gua perlahan mengendorkan cengkeraman gua tetapi, gua masih nahan sahabat gua di dinding.

Sahabat gua yang satunya hanya duduk menonton sambil menikmati sebatnya yang ketiga.

Gua kaga bisa ngeluapin emosi ke dia. Dia kaga mulai apa-apa kegua walau, gua merasa sedikit jengkel dia diam doang. Setidaknya, sebagai salah satu sahabat gua, kasih saran kek.

"Ru, Ru, gua tahu."

"Ya, lanjut."

"Lu kan tahu wabah yang nimpa wisma 17 kan?"

"Ya?"

"Kenapa lu kaga bikin kayak dia yang salah?"

"LU MIKIR KAGA SI...,"

Tunggu, kalau gua pikir-pikir, kata sahabat gua kaga salah. Gua bisa bikin kayak si cecunguk itu yang salah.

Fahrizi, gua tahu ini kerjaan lu, dan lu sudah milih pahlawan lu. Sekarang, gua bakal buktikan ke lu, ke angkatan gua, ke angkatan 2013 yang sotoy ini, sampai ke angkatan senior, kalau ga ada yang bisa nyentuh gua. Ga ada yang bisa menghalangi gua untuk mendapatkan hak gua.

Gua ngelepas lengan yang nahan sahabat gua ke dinding. Lalu gua menegakkan badan dia.

"Lu mending ambilin HP gua dah. Setidaknya itu yang bisa lu lakukan buat nebus dosa, gara-gara nantang gua."

"Siap Ru," kata dia sambil melangkah menjauh. "BTW, lu naro HP lu di mana?"

"LU CARILAH ANJING!" bentak gua ke dia. Sumpah, lu udah nantang gua baru berani-beraninya minta keringanan sanksi.

Gua kembali lagi mengambil tempat duduk di atas ember gua yang ada di dalam sekat kamar mandi. Asap nikotin ditarik paru-paru gua sedalam mungkin. Rasa mentholnya melegakan banget jir.

(Whu...,) hembus asap dari paru-paru gua ke permukaan lantai kamar mandi.

Gua mengintip ke arah anak-anak Fogger.

Mereka membalasku dengan senyuman kaku, berupaya bersikap sesopan yang mereka bisa.

Gua suka. Gua suka respect yang mereka berikan ke gua. Gua memang berhak untuk mendapatkannya.

Sahabat gua yang ngambilin HP lama amet.

Gua sudah duduk di atas ember ini berapa lama.

Rokok gua sudah mau habis. Gua udah buang-buang waktu buat ngeluapin emosi sampai satu batang rokok gua ga selesai-selesai. Tetapi, pas gua sudah ngasih dia waktu untuk nebus dosa, dia ga ngasih aku waktu buat nikmatin rokok gua.

Gua udah ga sabaran.

Gua mengangkat ember gua ke arah ruang cuci lalu, gua lempar ke dalam, seiring gua berjalan meninggalkan kamar mandi, biar gua bisa ke wisma.

Pas gua tiba di kamar, gua ngelihatin sahabat gua cuma mutar-mutar kayak anjing yang ngejar ekornya. Tidak ada satu pun tanda-tanda dia mengecek laci atau kolong kasur gua.

"Gaharu! Sori Ru, gua belum nemuin HP lu. Lu taro di mana ya?"

"Minggir lu anjing!" bentak gua sambil mendorong sahabat gua yang ga guna. "Lu lama. Gua nyari sendiri aja. Udah lu pergi sana!"

Dia meninggalkan kamar gua tanpa berbicara apa-apa. Dan dengan berani, dia masang muka sedih padahal, yang seharusnya sedih dan kecewa itu gua.

Gua mengankat kasur lalu, mengambil salah satu batang kayu yang menahan kasur ini di frame-nya.

Batang kayu itu sudah gua modifikasi sedikit. Ada garis semu di permukaanya yang bisa gua geser dan di dalamnya ada sekat yang cukup buat gua selipin HP seluas 5 inci.

Pintar kan gua?

Ga ada guru ato pisma yang bisa nangkap gua. Juga, kalau gua ketangkep, mereka kaga bisa ngelakuin apa-apa.

Gua ambil *phone gua lalu, gua mulai browsing di Youtube. Gua mencari sesuatu yang bisa gua gunakan untuk memberikan pelajaran ke cecunguk di wisma 17 itu.

Diawajib tahu kalau ga ada yang bisa atau boleh untuk nginjak harga diri guasebagai anak jenderal.


End note:

1. Senam yang terdiri dari gerakan berdiri dan jongkok.

2. PW, posisi wenak.

3. Sebat, istilah lain untuk rokok.

4. Pisma, singkatan untuk 'Pembina Wisma'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...