Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Bab VIII

 

Lima korban. Lima korban. Lima korban di wismaku yang terkena wabah tidak jelas ini. Semuanya terbaring pucat dengan infus tertancap pada lengan mereka.

Para pembina wisma yang sedang jaga malam bersama Pak Wesi hingga, dokter residen klinik siswa tidak mengerti harus mengambil langkah apa. Mereka hanya bisa saling mempertanyakan satu sama lain. Infus itu hanyalah satu-satunya solusi yang bisa ditawarkan oleh dokter residen.

Pak Wesi hanya bisa berdiri menatap kepada rekan-rekan wismaku yang tertata rapih di atas matras klinik.

Aku terduduk bersama Kahil dan Sudharmo di meja tamu berendam dalam kegalauan. Beberapa rekan yang lain sudah meninggalkan klinik. Hanya dua yang menetap, mereka duduk di seberang kami.

Apa yang dimau sama Fahrizi? Mengapa dia menawan kawan-kawanku? Bukankah masalah dia dengan Gaharu? Mengapa dia menekan aku dan rekan-rekan wismaku?

KenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapakenapaKENAPA!!!!???

Aku tanpa sadar menendang tulang-tulang meja yang tersembunyi di bawahku.

"Mohon sabar siswa," sahut Pak Wesi dari depan pintu ruang rawat inap. "Akan lebih baik jika siswa bisa mengendalikan diri dengan kondisi ini. Terutama, untuk mereka yang terbaring di sana."

"Saya masih ingin melanjutkan pertanyaan saya kepada siswa," sambungnya sambil melangkah kepada meja kami. "Tentang mengapa siswa berada di wisma abang dan mengenai memar itu. Namun, akan saya berikan keputusan itu kepada siswa. Apakah akan dilanjutkan?"

Aku masih terbengong menghadap permukaan meja yang berhiaskan taplak plastik.

"Le, koe ditanyain," sahut Sudharmo sambil mencolek bahuku.

"Hah? Oh, akan saya pikirkan terlebih dahulu pak."

"Baiklah siswa, akan saya tunggu."

Aku benar-benar tidak tahu langkah apa yang harus ku ambil bos. Semakin aku berpikir semakin aku tidak bisa mencari solusi.

Aku ingin merobek kepalaku dan mengeluarkan otakku saat ini. Mungkin, dengan menggoyang-goyankannya sekeras mungkin akan membantuku untuk mencari solusi. Apakah aku harus menguras seluruh darah yang ada di dalam tubuhku kepada kepala agar aku bisa menggunakan kapasitas maksimal? Apa solusinya? Bagaimana aku mengakhiri semua ini. Bagaimanabagaimanabagaimanabagaimanabagaimanabagaimanabagaimanabagaimanabagaimana...,

(Pak!)

Aku menghadap kepada Kahil yang mengangkat setengah badannya ke atas meja. Lengan kanannya terkokang menghadap bahu kiri, bersiap untuk memberikan aku tabokan ronde kedua.

"Udah sadar lu?"

"Ada apa ini siswa!?" sambung Terminator.

"Tidak ada apa-apa pak. Teman kami tadi terbengong."

Aku mengintip kepada wajahnya yang ingin memberikan tindakan kepada Kahil. Namun, dia melepaskan nafas bagai kerbau.

"Saya akan diskusi dengan para pembina wisma lainnya," ucap dia dan meninggalkan kami berlima di ruang kunjungan klinik siswa.

"Udah sadar belum lu Oni?"

"Udah, udah."

(Pak!)

"Buat apa lagi asu!"

"Pengen aja."

"Tahi laso bocah sialan ini."

"Dengerin gua baik-baik. Jujur, gua malas terlibat kayak ginian. Aslinya gua males ketemu sama Pak Hadi, gua cuma nganggap kata-kata dia takhayul belaka. Kalau gua bisa kabur sebelum lu seret, gua kabur anjing. Mending gua ngobrol ama anak-anak angkatan kita yang lain. Tapi, sekarang udah jelas temen-temen wisma kita udah jadi korban. Lu ga ngebantu apa-apa kalau lu cuma natap taplak meja.

"Sekarang, adakah solusi yang keluar dari taplak meja itu? Ga ada kan? Mending lu obrolin ama kita pada. Lebih produktif anjing!"

"Yo wesweswes. Yo wes Hil. Arek iki wes paham. Aku ae sing lanjutin.

(Pak!)"

"Anjing kau Dharmo."

"Ra po po. Jaminan wae kon dah sadar.

"Kon ngerti kon ndak sendiri le. Aku, Kahil ono buatmu le. Tinggal ngomong wae kita pada bantu kok. Kon kalo ono sing bingung omongin wae, kita siap."

Walau mereka berkata seperti itu, aku masih belum yakin bos. Tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Hanya mereka yang paham situasi yang dihadapi wisma 17. Jika, aku mencari orang lain, jika aku meminta bantuan dua rekan wisma yang duduk dan mengintip kepada meja kami, aku tidak yakin mereka akan membantu. Kalaupun ada yang mau, aku tidak yakin mereka bisa memberikan jalan keluar bagiku.

"Sekarang, masalah kita opo wae?"

"Kok kau nanya aku bos?"

"Kon daritadi natap meja pasti lagi mikir kan? Artine, sing paling ngerti masalah ini koe asu! Kalo kon ono gambaran, yo wes..., ceritain ke kita berdua. Mungkin ada solusi iso kita tawarin."

Aku tidak punya pilihan lain.

"Aku hanya ngasal ambil simpulan tentang teman-teman kita. Mereka yang terbaring di ruang rawat inap ini tawanan. Biasanya, jika ada tawanan pasti ada permintaan bukan?

"Permasalahan kita sekarang adalah untuk mencari tahu 'apakah permintaan itu?' Apalagi yang menuntut permintaan itu..., aku ga percaya aku bilang ini, adalah makhluk halus atau hantu atau apalah terserah mau disebut kek mana.

"Kalian ada ide? Gimana kita menanyakan tuntutan kepada makhluk yang aku dan kalian berdua ga bisa lihat?" tanyaku pada mereka.

Aku tidak bermaksud untuk melontarkan sarkasme ke wajah mereka. Gedung ini, kondisi rekan-rekan kami, bos, seluruh lingkungan Arma Negara sudah cukup untuk menanamkan sedikit rasa putus asa. Tetapi, amarah, kesal, membuyarkan cara aku berpikir dan berbicara.

Sepertinya Dharmo sedikit memahami itu. Namun, Kahil hanya abai saja dengan cara aku bicara.

"Kon lagi emosi, yo wes, ra opo. Sing kon pikirin juga bener. Kita ra ono sing iso nanya makhluk, makhluk, ghoib. Tapi, mungkin solusi lain iso tak tawarin.

"Kita minta Pak Hadi wae sing tanyain. Piye?"

Aku goblok. Kenapa aku ga pikirin dari awal asu. Dia orang yang paling memahami sejarah wismaku. Juga, dia yang mengetahui keterikatan si almarhum dan si bangsat. Dia seharusnya mau membantu kami – aku terlalu berharap tetapi, ini pilihan yang ada.

"Jadi, kapan kita ke sana? Terus, bagaimana kita nghindarin si, ehm, Gaharu. Dia udah curiga ama aku pula. Kita...,"

"Onionionionionioni, sabar le, sabar le. Kon nda ikut."

Apa?

"Kon nda ikut. Kahil sama aku wae sing ke bapak e."

"Tapi, kalian kan perlu informasi bagaimana kita harus nanganin ini. Aku punya pemahaman lebih bukan? Bukankah jika, aku ikut akan lebih baik? Akan lebih...,"

"Shhst! Kon napa ra mudeng-mudeng? Percayain aku sama Kahil. Ra sulit toh. Kita barengan ngadepin ini le."

"Kenapa lu libatin...,"

(Pak!), hantam Sudharmo kepada belakang kepala Kahil.

"Yaudah gua ikut. Ini untuk wisma kita juga."

Bagaimana? Bagaimana aku bisa percaya dengan kalian. Apa jaminanku? Aku baru mengenal kalian selama satu minggu. Aku tidak tahu apakah kalian akan memenuhi kata-kata kalian. Aku harus ikut. Aku harus ikut untuk menanyakan ini langsung kepada Bapak Hadi. Aku harus menyaksikan sendiri kalian memenuhi kata-kata kalian. Dan aku harus mengetahui sendiri apa yang ditahu oleh Bapak Hadi. Aku tidak yakin kalian paham apa yang harus kalian lakukan setelah kalian dapat informasi dari Bapak Hadi.

"Mending...,"

"Oni. Kon batu cuk! Kon ngerti kon diekorin ama Gaharu. Kalo areke paham koe nanya-nanya Bapak Hadi, piye kita jalan ke depane? Mungkin kita bertiga dibantai habis-habisan supaya ndak nanya-nanya lagi. Tanda-tandane wes kon rasain toh?

"Tapi, kalo arek e cuma melototin kon. Kon iso percayain aku dan Kahil toh? Kalo kon ra iso percaya, wes, logika wae. Mending kon jadi umpan biar aku dan Kahil iso ke Pak Hadi baru iso selesaiin cepet. Daripada kon ngebatu, baru kita ra ngerti nasib arek-arek wisma kita. Ra ngerti nasib kon, ra ngerti nasib Kahil, ra ngerti nasib aku."

Aku tidak punya bantahan untuk Sudharmo. Dia benar. Dari segala aspek, dia benar. Gaharu memang menancapkan matanya padaku. Aku berani jamin besok pagi dia pasti memastikan aku tidak duduk di meja abang-abang lain. Kalaupun aku duduk bersama abang lain, aku berani jamin dia akan menyempatkan untuk duduk bersama abang itu hanya untuk mengawasi aku.

Aku hanya bisa membalas Kahil dan Sudharmo dengan kesunyian, menatap kepada lengan mereka yang terlipat di ujung meja.

"Ah...," ucapku sambil mengusap kulit kepalaku yang sekasar amplas. "Kalian uruslah itu. Aku bakal alihkan perhatian Gaharu dari kalian. Ini untuk wisma kita pula."

"Wes, setuju kon ya?" tanya Sudharmo menatap tajam ke mataku.

"Olo, olo, ah!"

"Ngomong apa lagi lu."

"'Iya-iya' pakai bahasa Batak."

"Sotoy lu," balas Kahil dengan tawa bercanda.

'Terminator' tiba-tiba menampakkan diri dari celah koridor. "Siswa, segera kembali kepada wisma masing-masing. Kalian besok masih menjalankan kegiatan belajar. Kalian memerlukan istirahat yang cukup."

"Siap dilaksanakan!" ucap kelima penghuni ruang kunjungan klinik.

Kita berlima kemudian berjalan meninggalkan klinik tersebut.

"Kami berdua duluan," ucap rekan kami mewakili temannya.

"Yo," balasku bersamaan dengan Sudharmo. Kahil hanya memberikan lambaian tangan.

Kita bertiga hanya berdiri bagai orang bodoh yang tidak tahu harus melakukan apa selanjutnya.

Suara kerikan jangkrik, menemani kita yang menghadap kepada kooperasi yang berselimut gelap malam hanya, diterangi oleh satu lampu jalan dan kunang-kunang.

Malam ini sunyi sekali.

"Berang...," aku tidak sempat lagi menyelesiakan kata-kataku pula.

"Kalian mengapa masih di sini siswa! Pulang, pulang, pulang!"

"Siap Pak!" teriak kami bertiga sambil berlari meninggalkan lapangan menghindari amukan 'Terminator.'

"Cuk, ra mikir kita cuk. Nopo kita pada bengong wae ya tadi?"

"Mana ngerti aku. Aku pula sama-sama bengong ama kalean."

"Gua juga kaga ngerti anjing."

Kita berlari sambil tertawa akan kebodohan kita yang hanya bengong di lapangan depan klinik. Tidak ada satupun dari kita yang merasakan nafas habis walaupun, berlari pada permukaan jalan sepanjang 200m tanpa ada bantuan cahaya sama sekali.

Sudharmo langsung menghantam pintu wisma kami terbuka.

"Hha..., hha..., haa..."

"Yo wes. Wes pada setuju wae kan omo rencanane?"

"Aku ga ada komentar bos. Hha..., WOOH! Capek. Kalian jalankanlah rencana kalian. Aku yang mengalihkan perhatian."

"Udah lu ah! Kebanyakan mikir anjing. Percayain kita berdua udah. Kita ngadepin ini barengan. Buat wisma 17."

***

Ahh..., udara dingin Magelang menyambut seluruh kampus Arma Negara di pagi hari. Matahari menyapa dedaunan dan para staff pembersih kampus. Burung-burung bernyanyi menyemangati mereka yang bekerja keras demi kebersihan sekolah. Dedaunan pohon melambai bahagia kepada seluruh penghuni Arma Negara, dari para guru hingga siswa yang sedang menikmati sarapan.

Sungguh hari yang indah.

Tetapi, mengapa? Mengapa aku harus benar di hari seperti ini bos!?

Si bangsat yang tidak aku harapkan menancapkan matanya bagai belati kepada aku yang duduk tepat di sebelahnya. Seluruh tubuhnya merunduk mengarahku di kiri dari arah kepala meja.

"Abaikan, abaikan," ucapku dalam hati sambil menatap kosong ke arah jendela yang menghadap lapangan timur.

"Dek, kamu menatap ke mana?" tanya Gaharu berusaha mengintimidasiku.

Ini pertanyaan jebakan asu. Aku jawab pertanyaan ini dia pasti akan menganggap aku nantang. Aku tidak jawab pertanyaan dia, pasti aku akan dituduh sembarangan ngikutin isi imajinasi dia. Judi di lapo andalan bapakku aja tidak sesulit ini bos.

Aku mengunyah nasi seakan-akan nyawaku bergantung pada makanan ini. Nutrisi cepatlah naik ke otak agar aku bisa memikirkan bagaimana agar aku tidak kena jebakan manusia ini.

Aku dapat ide. "Siap, saya sedang berpikir bang, mencari subjek untuk ditanyakan pada abang."

"Jadi, sudah ada belum?" ucap dia dengan nada yang tenang. Namun, matanya terlihat jelas menantang aku. Dia pun memasang mukanya yang menyeringai.

Bos, aku ingin sekali menghantamkan gelasku pada pipinya. Wajahnya ku hias dengan serpihan kaca dan darah.

Tetapi, aku tidak mau merusak tanggung jawabku kepada orang tua yang sudah bayar. Jangan bikin masalah Oni, walau kau sedang menghadapi cobaan.

"Siap, izin menanyakan dua pertanyaan bang. Di depan GOR ada dua peralatan, palang restok(1)dan restok berantai(2). Untuk restok berantai umumnya digunakan untuk apa? Apakah ada hubungannya dengan ujian fisikal?"

Dia membuang muka daripadaku. Aku bisa mendengar suara samar "tch" dari mulutnya.

"Nanti kamu tahu sendiri dek."

Itu jawaban kau? Dari konstruksi pertanyaanku yang sudah aku susun dengan baik, itu jawaban kau!? Kau ingin kelahi kah tahi laso!?

Tarik nafas Oni.

Si bangsat satu ini berusaha mengumpani aku agar bertingkah supaya dia punya alasan untuk membantaiku. Tetapi, jika, asumsiku benar, dia tidak akan berhenti di sini bos.

Aku kembali kepada makanan di hadapanku yang tersisa seperempat piring. Dia juga melakukan hal yang sama.

Seluruh isi mess hall melanjutkan kegiatan makan pagi hingga bel dibunyikan oleh meja kehormatan.

(Ding, ding!)

"Terima kasih!" ucap seluruh mess hall.

Para kelas tiga telah menarik kursi mereka terlebih dahulu lalu meninggalkan mess hall menuju lapangan apel utara.

Angkatan kelas dua menyusul mereka lima belas menit kemudian.

Gaharu mendorong kursinya keluar agar dia bisa meninggalkan meja.

Namun, dia menyempatkan untuk meremas bahuku terlebih dahulu.

"Dek, temuin abang nanti di luar pintu timur mess hall," bisiknya padaku.

"Siap bang."

Sepuluh menit dan para kelas sepuluh berdiri meninggalkan mess hall.

Aku mengintip dari balik kaca timur mess hall. Gaharu terlihat jelas dari balik kaca bersama kroni-kroninya yang terselip sebagai panitia orientasi telah menungguku tepat di bawah bayangan pintu kayu timur mess hall.

Dia mengarahkan pandangannya kepadaku. Dia menyadari aku memindai dia dan membalasku ku dengan seringai yang menjijikan.

Ada neraka menunggu aku di ujung jalan bos.

Aku berangkat menemui Gaharu di depan pintu mess hall.

"Siap, saya hadir bang."

"Ambil posisi push-up!"

Apa lagi yang akan terjadi padaku?

Dia mengambil posisi jongkok menghadap kepada kepalaku yang tertunduk menatap permukaan semen.

"Kamu bohong kan ke abang pas makan tadi? Aku tahu kamu tidak berpikir untuk mencari pertanyaan, dasar mata keranjang."

Si bajingan satu ini!

"Perhatian semua! Mohon kembali dalam posisi baris-berbaris!" perintah Gaharu kepada angkatanku yang masih berlalu-lalang di atas permukaan paving block lapangan apel timur.

Aku tidak suka apa yang aku lihat di hadapanku bos. Aku tidak menemukan satu pun kelas tiga pada setting ini. Panitia orientasi yang tertinggal di lapangan ini hanya para laki-laki kelas dua.

Gaharu mengambil posisi siap di tengah-tengah semen koridor. "Istirahat di tempat, grak!"

Seluruh angkatanku, dari perempuan hingga laki-laki serentak mengambil posisi istirahat di tempat.

"Perhatian semuanya!" sambut dia. "Abang kecewa sama kalian! Belum ada dua minggu kalian orientasi tapi, kalian sudah buat masalah, dan kalian melakukannya saat sarapan pagi!"

Aku hanya bisa menatap dari kejauhan, ditopang oleh kedua lenganku yang mulai terasa panas.

Suara para divisi lapangan terdengar jelas menggelegar di udara. Mereka mengitari celah-celah barisan dan melontarkan beragam pelecehan verbal kepada angkatanku.

"Waduh, bagaimana ini dek!"

"Belum dua minggu loh, belum dua mingggu!"

"Kalian niat ga sih orientasi!"

"Katanya mau jadi orang besar, woy!"

Gaharu melirikan matanya padaku dari kejauhan.

Aku membalas dia dengan tatapan berbumbu amarah. Denyut nadi yang memompa darahku hingga ke mata terasa sangat jelas. Aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya menahan posisi push-up dan bermandikan keringat.

"Bisa-bisanya, teman kalian ini mengabaikan panitia orientasi dan menatap ke meja makan perempuan sepanjang kegiatan sarapan. Inikah calon pemimpin bangsa? Hanya berpikir tentang perempuan doang. Tingkah laku seperti ini adalah tingkah laku sampah."

"Wadooh, gimana tooh!"

"Kalian gimana sih satu angkatan!"

"Ga ada yang ngawasin temennya sendiri ya! "Pada bilang bukan temen gua." Gitu ya!? Woy!?"

Ya Tuhan, aku ingin meledak sekarang juga dan merobek kulit yang membentuk wajahnhya. Bajingan ini main pencemaran nama baik. Dia berbohong di hadapan angkatanku tanpa ada jejak rasa sesal.

"Adik Otniel Sitohang, berdiri! Anda dipersilahkan untuk menyatakan pengumuman!"

Aku berdiri dan membuka dengan langkah tegap dan diteruskan dengan langkah biasa hingga, aku tiba di sebelah si bajingan.

Dia meletakan tangannya di atas pundakku dan dengan suara samar dia membisikan kalimat ini padaku: "sebaiknya lu minta maaf kepada teman-teman lu udah mempermalukan mereka, daripada lu buat masalah lebih besar lagi."

Dia melemparkan granat dilema kepadaku. Aku bisa saja untuk membangkang dan menuduh dia ingin merusak nama baikku. Namun, jika, aku melakukan itu, aku hanya akan menambah masalah untuk angkatanku. Kalau aku meminta maaf, aku yang akan dikucilkan oleh angkatanku sendiri. Aku pun masih tidak tahu apakah Kahil dan Sudharmo akan membuang muka daripadaku jika aku meminta maaf.

Berpikir Otniel Sitohang. Pilihan yang mana yang akan menguntungkan aku ke depan. Pilihan yang mana yang akan memudahkan aku untuk menyelamatkan kawan-kawanku yang terjebak di klinik siswa.

Aku menatap kepada wajah-wajah kecewa di hadapanku untuk mencari jawaban.

Adakah dari kalian yang aku sebut sebagai anggota angkatan yang bisa membantuku? Mereka yang tidak memandang aku dengan hina?

Aku memindai barisan wajah, dari barisan wisma ke-15 hingga barisan perempuan dan kembali.

Saat aku kembali kepada barisan wismaku, aku mendapati Sudharmo menggerak-gerakan bibirnya seakan dia ingin mengatakan sesuatu padaku.

Aku memeras seluruh tenaga kepada lensa mataku untuk membaca kata-kata Sudharmo. Dia ingin mengatakan apa padaku?

" ".

Baiklah Dharmo aku percayakan pada kau bos.

"Kepada angkatan 2016, saya meminta maaf karena berlaku tidak sopan, mengabaikan abang untuk menatap kepada barisan perempuan!"

Seluruh angkatanku membalas aku dengan wajah terkejut setelah mendengar pernyataanku. Udara yang mereka hembuskan pada setting ini sunggu tidak menyenangkan bagiku bos.

Namun, setidaknya Sudharmo satu-satunya yang mempercayaiku saat ini. Aku masih ada harapan untuk melawan Gaharu.

Aku menatap kepada Gaharu yang menghinaku dengan pandangannya.

Biarkan kau tersenyum saat ini bangsat. Kau hanya menang saat ini. Tetapi, saat kau kalah, aku akan tertawa puas.

"Kembali ke barisanmu dek," perintahnya padaku.

"Apel dibubarkan! Seluruh siswa, persiapan lari!"

Para siswa angkatan 2016 menghantamkan kedua telapak tangannya ke hadapan gesper dan menegakan badan.

"Maju, jalan!"

***

"Oni, kok lu goblok sih? Nama angkatan kita bisa terancam jir gara-gara lu doang."

"Bos, menurut kau aku bakal melakukan tindakan sebodoh itu? Ngacangin senior cuma buat cewe doang? Kalau kau mikir baik-baik, kau mungkin bisa pertimbangkan: "mungkin abangnya bohong biar ada alasan buat nyalahin kita?", gitu.

"Adakah kau pertimbangkan itu?"

Dia langsung membuang muka dan kembali ke mejanya yang dikitari oleh kawan-kawan barunya.

Aku kembali kepada urusanku dan duduk sambil menatap kepada langit-langit kelas yang diterangi oleh cahaya neon. Angin yang berhembus dari kaca nako terasa begitu adem. Suara anak-anak bersosialisasi menjadi audio relaksasi bagiku walau, aku sendiri tidak bisa relaks.

Seluruh sel dalam tubuhku berteriak dengan kencang meluapkan amarah. Jantung, nadi, hingga paru-paru terdengar dengan jelas, menggetarkan udara di sekitarku. Jika, suhu hari ini lebih dingin, uap akan terlihat jelas mengepul dari telinga hingga kulit kepalaku.

Bos berikan aku alasan untuk memukul Gaharu sekali saja.

Aku menutup mata sementara untuk menenangkan diri. Aku tahu amarahku tidak akan padam hanya dengan menutup mata namun, setidaknya aku bisa mengabaikan penatku untuk sementara.

"........., ...Ni, ...Oni, ...Oni. Weh, Oni, bangun le."

"Hha ah! Hha..., kaget aku bangsat!"

Aku terbangun dan mendapati Sudharmo menjepitkan setengah badannya di antara frame pintu dan pintu itu sendiri. Jelas aku kaget bos. Aku memandang layaknya badannya terbelah dua.

"Yo, ra usah ngegas le. Kon ra po po?"

"Maksud?"

"Sing tadi iku loh, sing apel mendadak tadi, kon dipaksa minta maaf sama Gaharu."

"Oh..., ga apa. Kau pula kan yang nyuruh aku minta maaf."

"Jelas le. Kon ngerti sendiri toh, kalo kon mulai sesuatu, arek e pasti bikin investigasi-ne sulit."

"Iya, kau benar. Ngomong-ngomong, kau ga bareng Kahil?"

"Arek e turu di kelas. Badan e berat cuk, ra iso aku angkat."

"Yaudah lah, biarkan dia bermimpi. Tapi, ntar malam jadi kan kalian ke Bapak Hadi?"

"Jadi. Kon pastiin ra bertingkah loh ya. Supaya aku sama Kahil iso ke bapak e tanpa ada masalah."

"Yo."

Kita berdua menutup perbincangan kita dengan menghantamkan kedua kepalan tangan satu sama lain.

Mungkin, aku bisa mempercayai Sudharmo ke depannya. Aksi dia sudah absah bagiku bahwa dia bisa menjadi teman, terutama dalam kondisi yang aku hadapi sekarang.

Aku merundukan badanku dan menghela nafas panjang, memuntahkan seluruh beban yang menyebabkan aku stres. Walau, sedikit amarah masih terasa dalam tubuhku tetapi, aku tidak terlalu memikirkannya. Sepersepuluh otakku masih bisa aku gunakan untuk menyerap materi pelajaran hari ini.

(Kri..k)

Aku menoleh ke arah kanan, lokasi pintu di sebelah kursiku. Seseorang kembali membuka pintu itu tetapi, aku tidak bisa melihat figurnya.

Aku kira Sudharmo sudah kembali lagi ke kelasnya.

"Halo Otniel."

Ah..., Tuhan, si hama kembali lagi.

"Halo Cut..., ada keperluan apa?" balasku dengan cetakan wajah pelayan teller bank.

"Ih..., ga bersahabat banget sih nadanya," balas dia kesal. "Cuma pingin melanjutkan obrolan kita kemarin. Kan, gara-gara kepotong bel istirahat, jadi ga sempat."

"Ok, jadi, adakah yang ingin kau tanyakan?"

"Lu kan dari daerah yang sama dengan Frida...,"

"Berbeda bos. Frida dari Balikpapan, aku dari Sangatta, tetangganya Balikpapan. Tujuh jam dari sana dan masih hutan semua walau, ada perumahan yang disediakan perusahaan tambang.

"Ada lagi?"

"Eeh..., gue bukan bermaksud apa-apa tapi, itu yang di bilang sama panitia orientasi tadi...,"

Aku sudah ada prediksi perbincangan kita bakal ngarah ke sini.

"Begini Cut, kalau kau ada dalam situasi genting seperti ini: jika, aku membangkang, maka satu angkatanku yang kena tetapi, jika, aku patuh, angkatanku akan memandang aku jelek. Pilihan mana yang lebih baik?

"Tidak ada, keduanya pilihan yang jelek. Namun, jangka panjangnya, aku tidak akan dibenci oleh angkatan karena hal sepele kalau aku mengorbankan namaku. Bukankah begitu?"

"Maksud lu?"

"Aku akan mengatakan hal yang sama kepada kawan kelasku yang duduk di sana, kepada kau juga: "Menurut kau, aku segoblok itu kah untuk mengabaikan abang atau kakak, cuma untuk natapin cewe?""

Saat aku menutup kalimatku, aku melihat ada sedikit kekesalan pada wajahnya Cut Hannifah. Mungkin..., ralat, pasti karena intonasi yang aku gunakan padanya. Tetapi, sebagian dari reaksinya mengatakan bahwa, dia mengerti apa yang aku maksud, "Salah seorang abang di panitia orientasi telah memfitnah aku hanya untuk kepuasan sepele."

"Hm..., ok lah kalau begitu. Terus...,"

Sebelum dia bisa melanjutkan kalimatnya, bel kelas terlebih dahulu mengambil alih ruangan.

"Yah..., kepotong bel kelas lagi. Yaudah, sampai jumpa lagi ya, Otniel."

"Yo...," balasku dengan nada malas.

Plis jangan jumpa lagi. Kau terlalu terang bos.

Aku menutup pintu sambil berusaha untuk mengabaikan tatapan dengki yang dilontarkan oleh para bocah-bocah remaja penuh testosteron.

***

Terik matahari hari ini tajam sekali bos. Kelembapan udara yang biasanya berupa embun dingin sekarang digantikan dengan uap air. Pengap kali.

Aku mencuri pandang kepada lautan wajah sengsara, yang tidak sabar untuk kembali ke wisma masing-masing dan menikmati air dingin kamar mandi.

"Kepada, pembina apel, hormat, grak!

"Tegak grak!"

"Perhatian! Istirahat di tempat grak!"

Suara kaki menderu pada satu tempo yang sama.

Hari ini apel kami di ambil oleh pembina wisma daripada panitia orientasi. Mereka hanya bisa memandang dari punggung kami.

Beberapa divisi lapangan masih diizinkan untuk berlalu-lalang untuk memastikan tidak ada yang bermalas-malasan selama di dalam barisan.

Reaksi yang bisa mereka berikan hanya sedikit hentakan jika, ada peserta apel yang mulai halu.

Walaupun, aku menyadari yang terjadi di sekitarku, isi kepalaku hanya fokus kepada pembimbing apel.

Aku tidak tahu kenapa aku merasa lebih buruk dari tadi pagi. Otakku berteriak kencang bahwa, aku tidak akan mau mendengar pengumuman yang akan di bawa oleh pembina apel.

"Selamat siang siswa, bagaimana kabar kalian?"

"Luar biasa!"

"Bagus, bagus. Kalian harus tetap semangat selama masa orientasi ini. Kalian merupakan orang-orang yang beruntung karena bisa masuk ke sekolah ini. Semua guru yang ada di sini termasuk saya menginginkan kalian menjadi calon pemimpin bangsa masa depan. Jadi, kami memberikan kapasitas kami semaksimal untuk mendidik kalian.

"Namun, saya tidak bisa melakukannya sendirian. Saya memerlukan kalian juga untuk semangat! Kalian semangat belajar, semangat melatih fisik dan menjaga kesehatan masing-masing. Sayangnya, beberapa teman-teman kalian ada yang tidak mampu dalam menjaga kesehatannya. Saya sebelumnya mendapatkan informasi bahwa, dua anggota wisma 17 baru saja dirawat pada klinik siswa dikarenakan dehidrasi...,"

Aku tidak mendengarkan apapun setelah bapak pembina apel mengucapkan kalimat itu.

Semua sistem dalam tubuhku membeku. Kakiku pun terasa ringan. Lututku mulai bergetar ketakutan.

Keringat dingin membasahi tepat pada celah tulang punggungku berada.

Tahitahitahitahitahitahitahitahitahitahi. Aku harus gerak cepat bos sebelum seluruh anggota wismaku jadi korban.

***

"Selamat malam pak," ucap aku sambil hormat kepada Bapak Hadi sing berdiri di deket pintu mess hall. "Pak, malam ini kira-kira saya bisa belajar bersama bapak?"

"Hm..., boleh nanti temui saya di ruang kimia saja."

"Kalau saya bawa teman, ndak apa-apa ya pak?"

"Ndak apa-apa. Rame-rame lebih seru toh?"

"Siap pak."

Aku kembali masuk ke barisan dan mengambil tempat persis di belakang ne Kahil.

"Hill, kon iso ikut nanti, pas belajar malem?"

"Sans, gua ikut, gua ikut. Buat wisma kita"

"Yo wes, ambil tas mu le."

Langit malem wes tiba di Magelang. Bintang-bintang nemenin kita gara-gara lampu jalan pada modar. Ra ono suara lain selain derap sikil sama sindenan jangkrik.

Setiba di lapangan dan barisan di bubarkan, aku sama Kahil langsung lari ke lantai loro buat ketemu Pak Hadi.

Kita jalan di koridor berlantai keramik diterangi oleh lampu neon sing wes mau modar jadi, pandangan depan kita agak remang-remang.

"Sing ngetok pintu sopo? Kon toh aku?"

"Kok lu nanya gua, kan lu yang ngajak anjir."

"Kon wae lah."

"Ko gua?"

"Tangan kon gede toh, jadi lebih kedengaran sama bapak e."

Aku sama Kahil malah jadi debat kusir gara-gara pada ragu, sopo sing ngetok pintu ne duluan.

Sebelum kita dapet musyawarah, pintu ne wes terbuka duluan. Bapak e menyambut kita duluan dari balik pintu.

"Segera masuk siswa kalau kalian memang mau belajar."

"Siap, pak!" ucap kami berdua.

Aku sama Kahil kembali lagi ke ruangan sing kami kenali. Bau kimia ne ra ilang-ilang rek. Kepalaku agak pusing gara-gara bau ne.

"Jadi, sebaiknya kalian jujur, mau kalian apa le?"

Eh?

"Kalian sebenernya pengen ketemu saya untuk hal lain kan?"

Aku menatap ke Kahil. Kita berdua sama-sama bingung. Bapak ini kok iso tahu? Mending aku ngomong jujur wae ato piye iki?

"Mohon maaf pak" buka ku. Aku taruhan wae, ngomong jujur ke bapak e. Bahasa sing aku pake juga harus bener. "Kami butuh bantuan bapak. Temen-temen kami sudah banyang yang dirawat sama klinik siswa. Otniel ngira-ngira kalau mereka yang dirawat itu ditawan sama almarhum Fahrizi. Kami butuh bantuan bapak untuk menanyakan tuntutan almarhum."

Bapak e ngerespon pertanyaan kami dengan menghela napas sambil nggaruk kepala ne sing dihiasi rambut putih tipis.

"Sebenernya, saya sebelumnya sudah menanyakan pada almarhum."

Aku ra mau nanya carane piye.

"Kalianmungkin bakal kesulitan untuk memenuhi permintaan almarhum. Namun, kalo kalianbenar-benar perlu, ini yang dia minta."


End note:

1. Restok, istilah lain untuk pull-up.

2. Monkey bar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...