Sesi istirahat pertama kelas telah dimulai.
Ruangan kelas X-IV diisi oleh resonansi perbincangan siswa yang saling berkenalan satu sama lain. Para bocah laki-laki berupaya berkenalan dengan perempuan-perempuan kelas. Sebagian sedang bertualang keluar kelas.
Aku bisa melihat kontras antara cerahnya senyuman anak-anak yang saling berkenalan dengan kusamnya dinding dan papan tulis ruangan ini. Sebuah pandangan yang menggalaukan.
Aku terduduk sendiri di belakang pada mejaku. Kedua tanganku dilipat dan tertempel pada bibirku.
Aku menyadari beberapa orang mencuri pandang kepada aku yang menyendiri. Namun, aku persetan. Aku harus menyusun langkah-langkah penting.
Aku saat ini memerlukan bantuan Sudharmo. Mungkin, dia tidak begitu mengenal si narator tetapi, dia satu-satunya koneksi yang aku punya saat ini.
Apa saja yang harus...,
(Brak!)
Aku bergetar terkejut menghadap kepada pintu kelas yang terbuka secara tiba-tiba.
Dua orang bocah perempuan berdiri di seberangku. Aku hanya mengenal perempuan bertubuh atlet yang berdiri tiga petak ubin dari aku duduk. Frida.
Aku sebenarnya belum terlalu mengenal dia. Namun, ibunya dan ibuku tiba-tiba saja nyambung ketika, kita berdua mendapatkan pengumuman penerimaan Arma Negara. Kami berdua secara tidak langsung saling berkenalan melalui kegiatan-kegiatan sederhana yang harus kita penuhi seperti, pendaftaran ulang dan hal-hal sejenis.
Sekarang, tepat di hadapanku. Seorang bocah perempuan dengan senyum lebih cerah daripada iklan s**s*dyn* menjulurkan tangannya kepadaku.
Deskripsi yang aku bisa berikan tentang dia adalah mimpi para anak laki-laki SMP di Indonesia muncul di dunia nyata. Kulit putih, hidung mancung, dengan bibir berisi yang membingkai senyum sempurna. Badannya benar-benar seperti gitar Spanyol, dengan lemak pada tempat-tempat yang tepat. Tinggi dia sekitar 165-an.
Dia benar-benar, secara definisi, cantik.
Namun, untuk aku yang melototi bahasa tubuhnya, dia adalah hama.
Aku senang bertualang dengan kawan-kawanku ketika aku masih di Kalimantan. Saling berguyon, bertukar cerita. Namun, aku dan para kawanku bukan orang-orang yang terlalu bersahabat.
Aku merasa seperti tikus tanah yang dilempar ke matahari. Dia terlalu terang untuk mataku.
"Kamu Otniel kan?" tanya dia dengan nada semangat nan bersahabat.
"Ya. Kau?" balasku canggung.
"Gue Cut Hannifah. Gue sekarang lagi keliling-keliling berkenalan dengan dengan teman-teman angkatan. Gue dengar tentang kamu dari Frida. Kenalan yuk!"
Ah! Teralu terang bos! Cahaya matahari di ekuator pun tidak seterang ini.
"O..., ok," ucapku sambil berusaha menjangkau gagang pintu di sebelah Cut.
"Salaman dulu...," sahutnya. "Biar official."
Aku dengan segan menerima uluran tangan dia dan membalas salam tangannya.
"Aku lanjut ke urusanku lagi ya," sambungku usai melepaskan salamnya. Aku langsung meraih gagang pintu.
Empat buah jari menjangkar pintu yang akan aku tutup. "Ngobrol dulu lah..., kan baru saja berkenalan."
Inilah bagian yang aku takutkan. Wajah cerah bersahabat dan suara yang mengundang pandangan mengiris dari laki-laki seluruh kelas di telingaku terasa seperti penempaan besi.
Aku senang berbincang santai dengan siapa saja namun, tidak sebersemangat ini.
Aku ingin kabur bos.
(Ding, ding, ding, ding).
"Mungkin kita lanjut lain kali lah. Bel kelas sudah bunyi."
"Ok, aku tunggu lain waktu ya."
Aku hanya membalas dengan senyum risi.
Terima kasih bel kelas, kau menyelamatkan aku dari sinar yang menyilaukan.
Aku kembali kepada sesi berpikirku, menentukan langkah yang harus aku ambil saat istirahat sesi kedua mulai.
Aku harus menemukan kelas Sudharmo lalu, atur bagaimana aku bisa bisa bertemu si narator saat makan siang atau belajar malam.
Tujuh belas irisan mata bocah laki-laki yang cemburu menyambut aku yang baru saja kembali ke dunia nyata.
Aku tidak tahu apa masalah mereka. Apakah ada hubungannya dengan Cut Hannifah? Eh, persetan.
Aku tidak akan menuduh apa-apa mengenai pola pikir mereka. Tetapi, aku tidak menyukai apa yang aku tidak tahu. Aku tidak akan langsung bersahabat dengan siapapun yang aku belum kenali. Tidak ada yang aku diskriminasi. Aku hanya peduli dengan kepribadian, pola pikir, dan ketertarikan setiap orang yang aku temui. Termasuk bocah perempuan tadi yang terlalu bersemangat untuk berkenalan dengan siapapun.
***
Jam makan siang mulai.
Terima kasih sekali Dharmo!
Saat istirahat sesi istirahat kedua sebelumya, aku berusaha mencari kelas Dharmo. Dan saat aku menemukannya, aku mendapati si narator sedang berbincang ria dengan Dharmo.
Sekarang kita bertiga sedang duduk pada kursi yang sama. Beruntung juga, karena kelas kita berdua sedikit terlambat, kita mendapati meja paling belakang. Meja yang tidak dihadiri oleh panitia orientasi.
Bel makan dimulai.
Meja kami sunyi. Hanya suara dentuman antara sendok dan piring yang berbincang di atas meja kami. Siswa, termasuk aku, tidak ada yang membuka suara, menghindari pandangan mengiris dari panitia orientasi yang berada di meja sekitar kami.
Makan siang usai. Panitia orientasi telah meninggalkan ruang makan dan menunggu kami di lapangan apel.
Aku hanya memiliki waktu tiga menit untuk mengenal dekat dengan dia.
"Bos," bisikku pada si narator yang duduk di seberangku, sebelah kiri Dharmo.
"Lo ngomong ke gua?"
"Iya. Aku Otniel Sitohang, teman satu wisma Dharmo. Nama kau?"
"Oh, Bilal," balas dia memahami sambil berupaya untuk menjulurkan tangan.
"Nanti, nanti," balasku memasang muka panik. "Kita masih diawasin sama abang-abang yang belum pergi."
"O, iya," balasnya dengan wajah panik yang sama denganku. Dia pun menyempatkan untuk mencuri pandang.
"Kau dari Jakarta kan?"
"Iye. Kok lo tahu?"
"Aku kemaren loh, yang muncul dari jendela pas kau ama Dharmo lagi asik cerita pas belajar malam bos."
"Anjing, inget gua."
"Iya."
Sebelum aku bisa melanjutkan perbincangan, suara tepukan tangan dari panitia orientasi meletup di udara.
"Ayo adek-adek! Segera berangkat ke lapangan apel. Lama sekali kalian. Jangan keasikan sendiri. Segera, segera, segera!" teriak setiap panitia orientasi.
"Kita lanjut di wisma aja kah?"
"Santuy."
"Kau wisma berapa?"
"Gua di wisma 19. Nanti, cari aja."
"Sip."
***
Langit Magelang mulai memerah. Pepohonan menari di atas melodi angin sore yang bertiup dari lima gunung yang menjepit kota ini. Beberapa senior mengisi permukaan aspal dengan kegiatan olah raga sore. Kelompok piket masing-masing wisma membersihkan lapangan dan permukaan jalan yang merupakan area dari wisma.
Saat ini aku berdiri menghadap kepada pintu wisma 19 yang terbuka setengah. Aku tidak perlu masuk ke dalam untuk melihat langsung ke dalam untuk mengetahui suasana di dalam. Suara tapak kaki dan bayangan yang bocor dari celah pintu wisma.
Wisma ini adalah wisma yang sangat sibuk.
Saat aku melangkah ke dalam, aku menghadap kepada sekumpulan bocah berkeringat membentuk badan masing-masing. Mereka terbagi menjadi tiga kubu yaitu, barisan push-up, barisan sit-up, dan pasukan lari koridor wisma.
Tentunya, aku mengabaikan mereka semua. Aku hanya ingin bertemu dengan Bilal untuk mencari tahu lebih dalam misteri yang jatuh di atas pahaku ini.
"Oi Bil!"
"Anjay. Kaga ganti baju lo?" sahut Bilal sambil bersandar pada dinding dan meluruskan kakinya.
"Ngapain bos. Bentar lagi bakal belajar malam pula."
"Sip, sip."
"Kau, kelihatan baru keluar nyari ikan di sungai. Habis apa kau bosku?"
"Baru selesai olah raga bareng ama mereka," ucap Bilal sambil menunjuk kepada barisan bocah bermandikan keringat dengan jempolnya.
"Duduk, duduk."
"Oh, iya. Makasih lae," balasku mengambil kursi.
"Tadi, perbincangan kita sampai mana pas di meja makan?"
Dengan itu, obrolan perkenalan kita dimulai.
Aku dan Bilal saling melempar topik bagai bermain tenis meja, mencari perihal apa yang bisa diperbincangkan oleh kita berdua. Satu-satunya topik yang bisa ditelan oleh kita berdua adalah pengalaman SMP masing-masing.
Pengalaman dalam situasi yang sama namun, dengan sudut pandang yang berbeda sangatlah mengasikan. Aku terbingungkan namun, tertarik dengan kehidupan pertemanan yang telah dialami oleh Bilal di kota besar. Sebaliknya, begitu juga dengan dia terhadap ceritaku bertumbuh di Kecamatan kecil di Kalimantan, Bengalon.
Hubungan antar kawan yang dibasiskan pada popularitas dan status menarik perhatianku. Namun, aku tidak tertarik untuk hidup seperti itu, aku justru tertarik karena ini adalah hal baru untukku, sebuah konsep yang baru pertama kali aku dengar.
Bilal memperhatikan ceritaku dengan saksama. Reaksi paling kocak darinya adalah ketika, aku bercerita tentang kegiatan yang kita lakukan untuk menghibur diri. Seakan, dia belum pernah mencoba menghibur diri sendiri tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Juga, bagaimana aku dan kawan-kawanku di Kalimantan bisa bersenang-senang dengan lingkungan yang dipenuhi oleh bahaya hewan liar seperti, buaya dan biawak.
Dari pertukaran ini, aku bisa melihat karakter Bilal. Pilihan-pilihan yang dia ambil dalam pengalamannya selama SMP, cara dia memperhatikan cerita seseorang yang baru berkenalan dengannya. Aku mengambil kesimpulan bahwa, dia seseorang yang menjunjung tinggi etika namun, sayangnya masih terikat dengan status sosial.
Kita berdua memiliki kontras yang sangat jauh namun, kita berdua bisa saling menghargai dari pertukaran kata-kata ini.
"Bos, mau nanya nih. Kau masih ingat cerita kau malam kemarin kan?"
"Masih lah. Ada apa memangnya?"
"Kira-kira kau bisa ceritakan kah detil-detil yang lain dari cerita itu?"
"Maksud?"
"Detil lain. Kayak, adakah cerita-cerita tentang mereka pas kelas 1 di Arma yang bocor ke SMP kalian."
Mata dia mulai menajam risih menatap kepadaku.
"Aku tidak tahu kalau kau percaya tahayul atau tidak. Tetapi, aku memiliki firasat Almarhum seniormu, wisma 17, dan Bang Gaharu, Divor kita ada hubungannya dengan kejadian kemaren."
"Kejadian apaan sih?" ucap dia mulai risih.
"Oh iya, kalian berangkat duluan ya, pas guru tua itu memanggil wismaku untuk tetap tinggal.
"Aku ceritakan dah. Kemarin ada kejadian aneh pas kita semua pulang belajar malam. Guru yang menunggu di bawah koridor memanggil aku tiba-tiba dan meminta isi kantongku. Aku hanya memberikan dia sebuah baut.
"Mungkin, untuk kau, baut itu tidak ada arti apa-apa. Tetapi, ketika baut itu di ambil dariku, persis saat dipegang guru itu, lampu seluruh GOR meledak...,"
"Apaan sih!?" balasnya muak. "Jadi itu intinya, lu datangin gua cuma buat nyari informasi gitu?
"Bro, ada etika dalam berteman bro. Kalau kau datang cuma buat meras informasi doang, ngapain lo ngomong ama gua anjing."
Aku benar, tentang dia menjunjung tinggi etika.
"Ok, paham, aku minta maaf. Tapi, tolong dipikirin lagi. Tanya ke Sudharmo tentang insiden GOR, dia pasti jawab. Dia bakal marah ke aku tapi, aku yakin dia pasti jawab.
"Aku harus menyelesaikan misteri ini. Aku tidak mau teman wismaku harus sengsara gara-gara kita jadi tumbal gangguan...,"
Pintu wisma 19 berdentum kencang. Derapan kaki panitia orientasi menyerbu lantai wisma dan memotong kata-kata yang keluar dari mulutku.
"Kita lanjut lagi di kelas pas belajar malam," ucapku seiring melangkah meninggalkan ruangan.
"Kamu ngapain dek! Siap-siap! Segera! Apel makan malam akan segera mulai!"
"Siap, dilaksanakan bang!"
***
Aku disambut oleh amukan Sudharmo saat belajar malam mulai.
"Katel asu! Kon ngapa cerita!? Arek-arek wisma udah pada setuju: 'Ra ono sing bicara tentang GOR'!. Asu koe!" bentaknya sambil mendorong aku menempel kepada jendela kelas.
Bilal berdiri di belakangnya.
"Makasih bos," ucapku berterima-kasih tulus kepada Bilal dan mengabaikan wajah Dharmo yang lebih merah daripada lobster kukus.
Aku mengenggam pipi Sudharmo lalu mengayunkan keningku sekuat mungkin.
Saat dia terlempar mundur, aku tidak melepaskan pipinya dan mendekatkan wajahnya pada wajahku.
"Anak-anak di wisma kita tidak ada yang ngomong: 'Jangan dibahas oleh siapapun!', kita hanya secara keseluruhan setuju untuk diam.
"Aku memberi tahu kepada Bilal karena dia satu-satunya sumber informasi yang kita punya untuk menyelesaikan misteri yang di lempar ke atas paha kita...,"
"Emangnya harus diselesaikan sama arek-arek wisma asu! Kita...,"
Aku kenal suara amarah seperti itu. Itu amarah yang dipakai orang-orang untuk menutupi ketakutannya. Aku sudah cukup banyak melihat dan mendengar amarah seperti itu setiap kali masalah menemukan kita di tengah kita bermain.
"Harus!" ucapku dengan menempelkan seluruh wajahku kepada Sudharmo. "Kau tahu ini mungkin cuma kesialan di awal, yang aku dan Komang alami. Anak-anak pun paling menganggap seperti itu, hanya kesialan semata.
"Tapi, aku bisa lihat ke depannya bos! Alur ceritanya sudah jelas. Kita bakal terus digangguin sampai kita naik ke kelas selanjutnya. Dan, apakah kau yakin, semua anggota wisma kita bisa bertahan selama satu tahun?
"Komang hampir mengalami gegar otak dan aku hampir mengalami pendarahan di kepala, di hari pertama kita memasuki wisma. Sekarang, jelaskan padaku, adakah solusi keluar dari situasi ini?
"Sampai kau nyuruh aku untuk nunggu orang lain yang menyelesaikan, aku akan melemparmu dari sini hingga menembus pintu kelas di seberang."
Sudharmo terdiam.
"Duduk dulu kah kita sambil tukaran informasi tentang divor kita tercinta dan wisma 17," ucapku sambil menarik kursi.
Sudharmo dan Bilal mengambil kursi masing-masing. Aku akhirnya menduduki kursi yang aku sediakan untuk Dharmo.
Bilal mulai membuka mulutnya dan bercerita kepada kami berdua tentang apa saja yang dia tahu.
Cuplikan tentang Bang Gaharu dan Almarhum Fahrizi mulai terlihat jelas. Gaharu tidak hanya menindas Fahrizi karena karakter dia yang terlalu baik. Dia memandang Fahrizi sebagai mainan berjalan. Keduanya memiliki kapasitas akademik yang bagus sehingga, mereka berdua bisa diterima dalam satu angkatan yang sama dalam sekolah ini. Namun, karena orang tua Gaharu merupakan Mayor Jenderal, dia merasa tidak ada yang bisa menyentuh dia.
Saat mereka memasuki satu sekolah yang sama, Gaharu merasa dia semakin tidak bisa disentuh. Sekolah ini sangat dipengaruhi oleh status militer sehingga, apapun yang dilakukan pasti akan diabaikan oleh pihak sekolah.
Namun, hanya sampai itu saja cerita yang diketahui oleh Bilal. Dia tidak mengetahui kejadian alasan sebenarnya mengapa Fahrizi mengambil nyawanya di wisma 17. Dia pun tidak mengetahui bagaimana cara Fahrizi mengambil nyawanya, dia hanya tahu bahwa, kematiannya yang diberitakan telah dipoles karena pengaruh orang tua Gaharu.
Sekarang, aku harus mencari siapa yang tahu sejarah tentang wisma 17.
"Kira-kira kalian ada tahu kah guru yang cerita tentang sejarah ni sekolah?"
"Le kita baru masuk! Belum ono sing cerita-cerita begitu."
"Oiya."
"Ga sabaran amet lu."
"Maaf, maaf. Kalau begitu, kalian bisa kah kabarin kalau misalnya ada salah satu guru di kelas kalian yang mau ditanyain hal gituan. Atau ga, kalian kasih tahu kalau ada guru yang kerjanya hanya cerita tentang pengalaman dia pas ngajar. Bisa?"
"Buat opo le?"
"Aku tidak bisa menyelesaikan misteri wisma 17 tanpa tahu dulu segala informasi yang aku perlukan. Dan, guru semacam yang aku bilang tadi biasa tidak akan memfilter cerita mereka. Pasti ada informasi penting yang bisa kita gunakan."
"Kenapa kita anjir!?" sahut Bilal. "Gua mau bantu kasih informasi tetapi, gua ga ikutan nyelesain. Paham?"
"Tapi...,"
"Ga! Gua ga ikutan."
Ketidak-terlibatan Bilal akan menghambat aku dalam menyelesaikan misteri ini. Namun, aku tidak perlu bertanya dua kali mengenai apakah dia yakin untuk tidak terlibat. Seluruh tubuh Bilal, dari wajah hingga otot lenganya yang merebah di permukaan meja mengatakan 'Lo ga akan merubah pikiran gua!' kepadaku.
Ah..., aku harus mencari cara lain untuk mencari bantuan. Mungkin, aku bisa meminta Kahil.
"Dhar, Kahil di kelas kau kah?"
"Iya. Nopo?"
"Kau bisa minta bantuan dia juga kah untuk ini? Mencari guru yang kerjanya cuma certa doang, ngajarnya dikit."
"Yo wess. Tapi, syarat!"
"Apa lagi bos?"
"Sing boleh tahu cuma kita berempat. Setuju."
Aku tidak mempertanyakan lebih lagi mengenai syarat yang diminta Sudharmo. Aku sudah memahahami alasan dia untuk menutupi rencana kita. Alasan yang sama, yang membuat aku untuk memutuskan misteri ini harus diselesaikan.
Bel apel malam menutup perbincangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar