Aku belum sampai 18 tahun namun, sudah merantau. Aku tahu aku yang mengambil keputusan untuk mengambil pengalaman pendidikan di luar Bengalon. Tetapi jujur, hati aku masih tertinggal di Bengalon. Aku tidak tahu apakah aku akan beradaptasi atau berpegang keras dengan pendirian lamaku.
Itulah yang terus berputar dalam kepalaku sebelum aku menatap kepada pemandangan di balik kaca mobil.
Aku tahu sekolah ini semi-militer tetapi, mobil tidak perlu melakukan PBB juga. Jalan masuk sekolah dipenuhi oleh mobil, bergetar karena deruan mesin seperti jalan ditempat.
Pohon jati yang menghiasi jalan pun mulai terasa seperti tentara yang mengiring mobil dalam kegiatan PBB.
Aku terduduk dikursi kulit merasa canggung. Aku berada dalam truk pick-up di dalam lautan Alphard dan Inova. Aku sayang pick-up itu tetapi, aku merasa sedikit minder. Bung, truk itu pun tidak punya tangki, hanya jirigen yang disambung dengan selang dan selotip sebagai penampung bensin.
Aku menoleh kepada pamanku, “Paman, kira-kira tangkinya akan bertahan tidak dengan macet seperti ini?”
Dia terduduk tegak menatap kosong ke barisan mobil dihadapan kita. Aroma rokok kretek terlihat jelas mengucur dari semua lubang yang ada di wajahnya. Sepertinya, aku bisa melihat asap keluar juga dari telinga dia. Pamanku menyempatkan untuk menarik asap sebelum menjawabku.
“Tenang saja. Mobil ini sudah pernah tak bawa dari Kebumen-Purworejo, pulang pergi dengan isi tangki dua kali. Macet ini belum apa-apa.”
Aku menyipitkan mata meragukan dia selama lima detik sebelum mengambil keputusan, ‘OK’. Dia tidak merespon tatapanku, hanya kembali kepada rokok dan kopi yang dia pegang.
***
Aku dengan pamanku tidak melakukan perpisahan emosional seperti anak-anak baru yang memasuki sekolah ini.
Kita hanya bersalaman di dalam mobil dan saling mengucapkan selamat dan hati-hati. Tidak sampai 30 menit dia telah menghilang dari lokasi.
Aku ditinggal bersama koperku seperti anak kucing yang dicampakan di pinggir jalan. Hanya saja, jalanan ku berhias lautan anak-anak yang memeluk keluarga sebelum berpisah dan wisma putih yang baru saja dibersihkan. G**us mungkin bisa belajar kegesitan dari pamanku sepertinya.
Aku tahu wisma-wisma itu baru dibersihkan, karena sangat jelas dihadapanku beberapa orang berseragam warna biru masih menyapu di depan pintu.
Ayah dan ibu tidak bisa menghadiri kegiatan pendaftaran di hari pertama karena ada kegiatan di Balikpapan. Ya, kegiatan keluarga Batak. Aku tidak perlu menjelaskan, semua orang yang punya sahabat atau bertetangga dengan orang bermarga tahu bagaimana kegiatan keluarga kita.
Jadi, aku menghadapi proses administrasi sendirian dengan bermodal mulut, seragam, dan koper.
SMA Arma Negara, bersiaplah untuk menerima Otniel “Oni” Sitohang.
Namun, sebelum itu aku harus menanyakan di mana lokasi pendaftaran akan dimulai.
Aku berjalan mendekati salah satu barak yang ada di hadapanku.
“Permisi pak!” sahutku kepada bapak tua yang berada di depan pintu barak ke –. ‘18’, intipku.
Bapak tua itu perlahan menoleh melihat seorang bocah lugu berdiri di atas trotoar di belakangnya. Tatapannya menunjukan kekesalan tetapi, dia mengabaikan kekesalan tersebut untuk memenuhi etika orang dewasa saat ditanya oleh seorang bocah. Dan dengan kepribadianku, aku berhasil mengabaikan semua yang aku tangkap oleh mataku.
Dia memindai aku dari atas ke bawah. Dari dasi hingga celana kotak-kotak berwarna biru yang aku pakai. Lalu, aku diberikan reaksi seakan produk sarung yang ditolak sebelum dia membalas“Ada apa siswa?” dengan nada berupaya untuk berwibawa.
“Mau bertanya, lokasi pendaftaran di mana ya?” balasku dengan wajah polos.
“Baik siswa. Dari sini kamu jalan sampai depan sampai melihat Plaza Gotong Royong, yang ada di depan jalan masuk mobil. Nanti, akan ada penanda tahapan pendaftaran.”
Eh –, tahi. Ucapku dalam kepala sambil menampar keningku dalam imajinasi. Bos, kembalikan semangatku.
Aku akhirnya menghela nafas dan pasrah. Aku menyeret seluruh tubuhku, koper, dan semangatku yang telah tumpah sia-sia di atas aspal kembali ke jalan masuk sekolah untuk melanjutkan kegiatan pendaftaran.
Aku kembali mendongkrak semangatku dengan mengucapkan hal yang sama dalam kepala: ‘SMA Arma Negara, bersiaplah untuk menerima Otniel “Oni” Sitohang’. Lalu, momentumku kembali direbut oleh klakson mobil yang ingin lewat. Aku tidak bisa menyalahkan dia karena, aku yang berdiri di tengah jalan.
***
Aku akan meringkas semua kegiatan pendaftaran menjadi tiga kata: isi nama, ukur baju, dan penempatan. Aku tidak perlu menjelaskan satu per satu apa yang aku lakukan selama pendaftaran bukan. Ribet. Aku pun bisa lihat muka kalian menghela nafas sambil berpikir: “Ni orang ribet banget dah”.
Haha, fourth wall break dalam web novel.
Aku ditempatkan dalam wisma ke-17, tepat di pojok dari penempatan keseluruhan wisma siswa. Tetangga wisma yang aku tempati terdiri dari lapangan bola dan barisan rumah guru. Jika aku kembali bertingkah usil seperti saat di Bengalon, pasti akan ada reaksi langsung dari para guru.
Terkonfirmasi. Hatiku masih tertinggal di Bengalon. Masih hari pertama. Mungkin, satu minggu akan memberikan aku kesempatan untuk beradaptasi di sini.
Aku mengalihkan perhatianku dan menatap ke koridor wisma. Aku tidak mengerti konsep aura atau hal spiritual namun, warna koridor ini tidak terasa seperti rumah. Wisma ini seakan dicat oleh depresi dan kesengsaraan – mungkin adalah deskripsi yang paling tepat. Penataan kamar di wisma ini persis seperti barak yang ada di film militer. Namun, masing-masing kamar dihias oleh meja belajar dan lemari, memberikan ilusi sekat antar kamar. Aku bisa melihat pengalaman perang saat menatap kepada meja dan lemari yang ada di hadapanku. Aku tidak tahu apa yang kalian hadapi tetapi, setidaknya aku tahu siapa yang menyebabkan semua ini.
Rekan siswa pertamaku sudah berdiri di depan kamar mengangkat kopernya untuk diletakkan di atas lemari. Orang ini besar bos. Lemari wisma hanya sampai kepada dada dia. Kepalaku hanya sampai ke sekat ketiga dari lemari di hadapanku. Aku bisa membayangkan kalau dia mengambil kasur paling atas, dia akan menghantam langit-langit wisma. Keberadaan dia akan sangat mengintimidasi jika warna seragam dia monoton selayaknya SMP umum. Sayangnya, pakaian dia terlihat seperti seorang caddy dari lapangan golf, dengan kaos kuning dan celana putih pendek yang menunjukan paha dia.
Aku bertemu dengan dia saat pendaftaran. Aku tidak tahu apakah salah dia atau aku namun, kita bertemu karena nomor kita tertukar. Aku mendapat nomor 53 dan dia memegang nomor 52. Tetapi, dalam lembar pendaftaran namaku terletak di urutan ke-52. Setidaknya karena situasi itu, aku punya bahan untuk berkenalan dengan orang baru. Sekarang kita berada pada situasi ini.
“Kahil. Kau ambil kasur mana?” sahutku.
“Terserah. Gua ngikutin lu aja,” balas dia dengan suara tenor halus yang keluar dari kerongkongannya.
Suara ama bentukan kau tidak cocok pikirku saat mendengar suara dia. Aku berupaya menahan agar tidak tertawa. Dan sepertinya, dia sadar aku menahan tawa.
“Yaudah, aku mengambil kasur atas. Santai?”
“Santai.”
Aku meletakkan beberapa barang yang terdiri dari buku latihan kedalam laci yang berada di kanan meja belajar. Buku catatan kecil yang aku gunakan untuk mengisi waktu jika bosan aku letakan di atas permukaan meja beserta pensil tergeletak di sebelahnya.
Aku memeriksa ke dalam lemari pakaian yang telah disediakan. Pintunya mengayun laju ke wajahku. Suara dari engselnya seperti berteriak “biarkan aku istirahat bocah sialan”. Aku mendapati engsel paling atas dari lemari itu terlepas dari tempat bautnya menjangkar. Luka pada dinding lemari masih segar, tidak ada jamur atau parasit sejenis. Ini sudah pasti ulah siswa sebelumnya, mungkin senior mungkin bukan.
Aku menutup lemari dan meninggalkannya untuk memeriksa kamar mandi. Kepalaku masih berputar memikirkan cara untuk memperbaiki luka pada dinding seiring aku berjalan. Berdasarkan penjelasan dari para guru pengawas, aku tidak punya kesempatan untuk keluar sebelum tiga bulan usai. Aku harus kreatif lagi. Mental hutan bekerjalah.
Cahaya di sekitarku tiba-tiba mulai gelap walaupun ini masih jam sebelas siang. Aku terlalu lama tenggelam dalam pikiran, aku teleportasi ke dalam kamar mandi. Suasana wisma dan kamar mandi tidak beda jauh, dicat oleh depresi dan kesepian.
Kamar mandi itu terbagi menjadi dua. Koridor kanan berisikan kepala shower yang terbengkalai oleh waktu, digantikan oleh gentong, dan dipisahkan oleh sekat dan tirai plastik berwarna kehijauan. Aku tidak perlu menjelaskan asal-usul dari warna hijaunya.
Koridor kedua berisi dua buah toilet duduk dan barisan toilet jongkok. Aku menatap kepada masing-masing pintu kamar mandi. Perjuangan mereka menjaga privasi masing-masing siswa yang sedang ‘mengurus bisnis pribadi’ di dalam terlukis di wajah pintu. Perjuangan itu sangat memakan mereka secara harfiah. Karena se-per-delapan dari masing-masing pintu telah pecah. Puing-puingnya menghadap ke dalam masing-masing sekat kamar mandi.
Sebuah celah besar berisikan keran dan ember tersedia di dekat pintu masuk kamar mandi. Tidak ada yang spesial mengenai area ini. Aku berpikir keras untuk membuat komentar. Tidak ada. Tidak ada komentar.
Tubuhku tiba-tiba bereaksi kepada lingkungan di perbatasan antara kamar mandi. Aku seperti harus dipaksa untuk memilih untuk bereaksi atau mengabaikan situasi ini. Pengalamanku selama tujuh tahun di Kalimantan – ya, aku turunan rantau – seharusnya membiasakan aku dengan hal-hal spiritual. Nyatanya, aku tidak punya kelebihan itu sehingga, aku sangat bergantung pada lima indera utama yang aku punya. Tetapi, rasanya seluruh indera yang aku punya mengatakan: ‘ada orang di sebelahmu, kacangin atau ajak kenalan?’
Aku menoleh kepada barisan keran. Tidak ada siapa-siapa di sana.
Aku mengangkat bahu dan mengabaikannya. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada apa-apa. Dan, kakiku lanjut membawa aku kembali ke dalam wisma. Tetapi, periferiku menangkap pemandangan sedikit janggal. Salah satu rekan wisma berdiri terdiam menghadap keluar jendela.
“Bos, jangan bengong!” sahutku saat melintas melewati kamarnya.
“Heh? Oh, ya, ya,” balas dia dengan logat halus. Rasanya seperti berbicara dengan orang lokal dari –, Bali mungkin?
“Otniel. Panggil ‘Oni’,” ucapku sambil mengulur tangan.
“Saya Komang,” balasnya.
Yep. Orang Bali.
Karakter dia belum memberikan impresi padaku. Jadi, aku mengambil konklusi dari apa yang aku lihat. Dia bertubuh slender dan tinggi. Tidak sebesar Kahil tetapi, cukup tinggi. Kulitnya sedikit lebih gelap daripada warnaku. Aroma melati, kemenyan, dan dupa memancar dari tubuh dia. Aku dapat mengatakan dia seperti air freshner berjalan dengan aroma ‘Bali’.
Aku mengambil keputusan untuk melanjutkan basa-basi. Mungkin, dia bisa jadi temanku ke depan.
“Ngomong-ngomong kau bengong kenapa?”
“Tidak ada apa-apa kok. Cuma kepikiran hal lain. Aku masih mengenang teman-teman SMP.”
“Oh, ngerti aku bos. Aku pun masih belum bisa melepas pengalaman di Kalimantan. Kau dari mana memangnya?”
“Aku dari Bali nih.
Haha.
“Jujur, aku agak khawatir. Pertama kali merantau kan, belum ada kenalan. Aku ga tahu ke depannya bakal lancar hidup kita di sini.”
“Kita di kapal yang sama kawan. Tetapi, ini masih hari pertama, hari belum gelap, bakal ada banyak kesempatan bos.”
“Iya ya.”
“Ok lah. Aku lanjut mindahin barang dulu.”
“Ya, aku juga. Senang berkenalan denganmu..,”
“Oni, panggil Oni.”
Aku dengan Komang bertukar salam sebelum kembali ke kamarku.
Hal yang sama terjadi lagi di kamarku. Ada hal yang janggal pada setting ini. Lagi. Belum satu jam berlalu.
Kahil, sedang duduk di atas kasurnya sambil membaca majalah. Tidak ada orang lain, selain dia. Kursiku dan kursi dia masih tertata rapih di kolong meja. Laci buku kita berdua masih tertutup rapih. Tetapi, mengapa badanku bergerak seakan aku harus berkenalan dengan seseorang di sini?
Kahil mengintip dari balik majalah. Dia menatap kepadaku selama satu menit. Lalu, dia kembali ke majalahnya.
Ekspektasiku diludahi asem. Aku kira dia akan memberikan komentar setelah menatap FULL SATU MENIT. Namun, dia hanya kembali ke majalahnya. Kalau ngintip normal paling lima atau 10 detik. Haruskah satu menit bos?
Aku mengabaikan reaksi itu dan mengalihkan perhatian ke permukaan meja. Aku lalu menyahut kepada Kahil.
“Ei, Hiltop?!”
“Lu manggil gua?” balas dia kebingungan.
“Yo. Kau lihat pensilku di mana kah?”
“Gatau gua. Sumpah gua ga ada pegang barang-barang lu.”
“Ok,” balasku meragukan.
Aku berpaling dari permukaan meja. Pensil yang aku cari tertangkap pada sudut mataku. Pensil itu tertumpu tegak pada kaca dari laci buku meja belajar. Aneh bukan? Orang normal pasti akan meletakan pensil pada kondisi terlentang pada permukaan furnitur. Pensil akan menetap pada posisi berdiri jika diletakan pada kaleng atau rak khusus alat tulis. Atau mungkin, aku yang berpikir terlalu keras.
***
Aku bersama rekan-rekan wisma ke-17 berangkat pulang dari mess hall, baru menyelesaikan makan malam. Kita terlihat seperti kepiting bermigrasi saat kembali ke wisma masing-masing. Status ‘anak baru’ benar-benar kental terlihat dari tingkah laku kita sebagai angkatan. Tidak ada PBB, tidak ada sopan santun, hanya sekumpulan bocah kampungan yang baru datang ke tempat baru.
Karena tidak ada yang berjalan denganku maka, aku berendam dalam pikiran sendiri. Aku merefleksi kegiatan makan malam tadi. Aku diperkenalkan aku pada lima orang baru. Refan, Adhan, Carolus, Raihan, dan Graham. Dua orang menangkap perhatianku.
Carolus sangat menangkap perhatianku. Dia paling menonjol dari semua orang di meja makan. Aku kenal banyak orang Sunda dan Manado rantauan namun, tidak ada orang seputih ini bos. Warna dia putih Eropa, seputih warna pasta gigi C***ate. Aku akan kasihan kepada orang yang harus berdiri di belakang dia selama upacara. Pantulan cahaya dari kulitnya pasti akan sangat silau bos.
Komentar itu akan aku simpan untuk diri sendiri.
Kedua Raihan. Orangnya kecil, suaranya kecil, tidak banyak bicara. Tetapi, yang aku dapat dari perbincangan antara aku dan dia, aku mendapati karakter dia tipikal orang pintar. Dia hanya bisa berbicara mengenai apa yang dia pahami. Dia tidak bisa basa-basi karena, dia tidak memiliki kapasitas untuk berbasa-basi.
Hm. Aku sepertinya harus menggali lebih dalam tentang orang ini.
Rasa sakit menyerang kakiku secara tiba-tiba lalu aku kehilangan keseimbangan. Teleportasi terjadi lagi – aku akan terus menggunakan istilah ini untuk menjelaskan ketika aku tenggelam terlalu dalam pikiran sampai tidak menyadari keadaan lingkungan. Aku tiba persis di pintu wisma 17 yang menghadap jalan.
Aku langsung menjingkrak ke arah kamarku dan menarik kursi. Aku melempar badan ke permukaan kursi tanpa ada keanggunan. Badan sendiri aku perlakukan layaknya kantong sampah.
Sepatu yang aku pakai dilepas agar jari-jari kakiku bisa menenangkan diri pada permukaan keramik yang dingin. Aku lalu menghembus nafas lega.
“Kenapa lu?” sahut Kahil sambil menembakan pandangan kebingungan ke arahku.
“Kesandung pintu asu.”
“Jangan ngegas bro. Santai.”
“Ngegas? Maksudnya?”
“Emosi, emosi. Ngomongnya santai aja bro.”
Sepanjang umur aku tidak pernah memberikan filter kepada kepribadianku. Apa yang aku pertanyakan akan aku tanya dan jika, ada sesuatu yang harus aku beri komentar akan aku beri komentar. Itu dibangun oleh lingkunganku dulu selama SMP. Kita meneriakan komentar dan pertanyaan masing-masing, satu sama lain. Tidak ada yang pernah mengatakan nada kita seperti sedang emosi.
Indikasi culture-shock sudah mulai terlihat ini.
“Maaf, maaf. Logat dari sana masih aku bawa.”
“Oh, paham-paham.”
Sebelum aku bisa melanjutkan perbincangan dengan Kahil, sebuah siluet mencuri perhatian kita berdua. Aku sepertinya tidak sengaja mengundang penonton karena kerasnya suaraku.
“Ada apa di sini?” tanya bocah itu dari belakang Kahil. Suaranya kental dengan Logat Jawa.
“Nda ada apa-apa. Cuma kesalah-pahaman kecil,” balasku.
“Woh, tak kira ono opo cuk. Suara kon kedengaran sampai ujung wisma.”
“Ya, maaf. Namanya anak hutan, kalau suara ga besar, ga bakal kedengaran.
“Oh ya. Aku Otniel, panggil ‘Oni’,” tambahku memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Sudharmo,” balas dia menerima tawaran salamku.”
“Kahil,” menyusul perkenalan kita.
“Asal mana kon?’ tanya dia kepada kami berdua. ‘Aku Surabaya,” lanjutnya.
“Gua dari Bintan.”
“Aku Bengalon.”
“Aku pernah dengar kalau Bintan. Bengalon mana cuk.”
“Adalah…, di tengah hutan Kalimantan. Belum masuk peta atau GPS.”
Perbincangan kita bertiga terus berlanjut. Satu sama lain bertukar pengalaman masa muda di kampung halaman masing-masing. Jujur, aku doang yang merasa sedikit terbelakang. Tempat aku tinggal nyatanya kota tambang. Tetapi, infrastruktur masyarakat secara keseluruhan benar-benar terbatas. Tidak ada tempat untuk nongkrong untuk anak muda seperti yang ada di Pulau Bintan ataupun Surabaya. Aku dan teman-temanku di sana harus menghibur diri sendiri bermodalkan sepeda dan trek lumpur.
Perhatian Kahil dan Dharmo mulai fokus ke arahku ketika aku bercerita tentang pengalamanku sebagai ‘anak hutan’. Ceritaku terdiri dari pengalaman apa saja yang sudah aku dan bubuahan bocah umur 11 hingga 13 tahun hadapi selama hidup di sana.
Sebuah teriakan meledak di ujung wisma. Aku sudah memeriksa berulang kali dan aku pastikan ini wisma laki-laki. Nada setinggi itu hanya bisa keluar dari mulut perempuan sepahamku. Jika tidak, siapapun yang berteriak tadi akan memiliki suara tenor yang sama seperti Kahil.
Kita bertiga berlari menuju sumber suara. Lokasi masalah ditunjukan oleh perkumpulan anak-anak wisma.
Aku mendapati Komang dengan posisi kepala melekat pada penyok pintu lemari dan badan tersandar pada celah hampa untuk menyimpan sepatu. Mata dia menatap tanpa nyawa ke arah gudang dihias oleh warna kulitnya yang berubah menjadi seputih abu rokok.
Aku langsung terjun kepada kaki Komang yang tergeletak lemas di permukaan lantai.
“Oi, Hiltop, bantu aku angkat dia!”
Wajah Kahil mengerenyit mengatakan ‘masa gua?’ kepadaku. Namun, dia tetap bergerak untuk membantu aku mengangkat Komang.
“Dia anak wisma ini atau wisma mana?” tanya Kahil.
“Wisma kita. Kamar dia persis sebelah kamar mandi.
“Sumpah, ini manusia cungkring tapi beratnya kurang ajar asu!”
“Weh cuk, mulut kon kasar banget le. Kasihan, orang pingsan koe katain,” sahut Dharmo sambil berjalan mendampingi kita berdua.
“Ya mumpung orangnya lagi ga sadar kan.”
“Nyolot koe cuk!” balas Dharmo. Nada dia mulai terasa ditopang oleh emosi.
Itulah perbincangan kita saat menggotong Komang ke kamarnya.
Aku memiliki kelemahan dalam membaca urgensi mood sehingga, banyak orang yang kesal jika aku terlibat dalam hal-hal emosional. Orang-orang yang dekat dengan aku menganggap bahwa, selera humorku sedikit dark. Mereka yang tidak, cenderung mengatakan aku tidak sensitif. Aku harus perbaiki sedikit kelemahan itu.
Aku dan Kahil menghadapi sedikit kesulitan untuk meletakkan Komang di kasurnya.
Tinggi Komang berarti dia berkaki panjang dan orang pingsan harus diletakan pada keadaan lurus dengan kaki diangkat. Namun, karena keberadaan tangga pada kasur tingkat sedikit menghambat aku dan Kahil untuk menaruh dia di atas kasur.
Persetan. Aku melipat lalu menarik kaki Komang agar aku bisa masuk ke dalam kasur bawah. Kemudian, aku membungkuk seperti, G**um lalu meletakan kaki dia di atas kasur.
Kahil menyusul dengan meletakan badan Komang lalu, disusul oleh hembusan nafas lega. Sebuah beban akhirnya dia lepaskan.
Aku menoleh dan mendapati barikade yang terdiri dari tubuh anak-anak remaja menutupi celah kamar Komang.
“Udah bubar dulu, bubar dulu. Kasihan orang ga dapat oksigen karena terpakai oleh kalian.”
Beragam wajah muncul setelah mendengar kata-kataku. Ada yang memahami situasi dan ada yang seperti mengatakan ‘siapa lu anjing.’ Aku tidak peduli. Aku mengatakan sesuai dengan kenyataan situasi dan situasi ini kritis. Tidak ada waktu untuk menggunakan kalimat yang enak di dengar oleh masyarakat.
“Gua balik ke kamar ya,” sahut Kahil meninggalkan Aku dan Dharmo berdua.
Dharmo mengambil inisiatif mengambil buku dari laci Komang lalu, mendudukan diri di sebelah kepalanya.
“Kau ku tinggal tidak apa-apa?”
“Yo. Aku wae sing nunggu arek iki bangun sambil tak kipasin.”
Aku hanya mengangkat jempol untuk merespon jawaban Sudharmo sebelum meninggalkan dia.
Aku sadar aku sedang dipandang dengan tajam oleh warga wisma 17 seiring aku membatu menatap ke dalam gudang untuk mencari jawaban.
Aku tidak tahu apa deskripsi yang paling tepat untuk menjelaskan kondisi gudang ini. Jika, warna dari wisma adalah warna dari depresi itu sendiri, warna apakah yang lebih buruk daripada itu agar aku bisa mendeskripsikan apa yang aku lihat di depan mataku.
Dinding gudang bergradasi dari putih hingga hijau dijembatani oleh polkadot dari jamur yang memakan cat. Sumber cahaya hanyalah pantulan rembulan yang masuk dari kaca nako. Langit-langit dari gudang itu sudah kehilangan semangat untuk menopang apapun yang ada dibaliknya. Kepunyaan gudang itu hanya sebuah rak besi yang dihias oleh karat.
Apa yang Komang lihat di dalam sini? Mengapa dia terlempar hingga ia membentuk kawah pada pintu lemari dengan kepalanya? Pertanyaan itu aku putar terus selama aku berupaya untuk memahami kejadian tadi.
Aku memilih untuk meninggalkan gudang itu. Tiba-tiba, sebuah dentuman kecil berbunyi seakan meminta aku untuk menetap.
Aku kembali menoleh ke dalam gudang itu.
Sebuah lubang seukuran koin 500 perak muncul pada langit-langit. Sejajar dengan lokasi lubang itu, salah satu batang dari rak besi gudang telah membengkok.
Kejadian itu mengunggah rasa penasaran dalam benakku.
Tetapi, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku mempertimbangkan keadaan fisk dari ruangan itu. Dan bisa jadi hal itu hanya dampak dari kondisi langit-langit yang sudah memburuk.
Aku abaikan saja. Sudah malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar