Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Bab VII

47, 48, 50.

60, 62, 65.

90..., Raaaaargh!

"Kenapa, ga kuat kamu dek? Lemah."

"Hah..., hah..., haha. Bukan bang, bau mulut abang lebih parah daripada parit depan rumah guru.

"Ermph."

"Dengar baik-baik curut rawa. Lu bukan siapa-siapa di sini, paham? Jangan sotoy lu anjing."

"Aku Otniel Sitohang. Haha!"

Ancang-ancang tendangan kedua dia siapkan.

Tidak kena. Aku menggunakan sisa tenagaku untuk mendorong bagian kiri badanku ke atas.

Cuplikan muka dia yang merah padam terpampang di hadapan tubuhku yang tergeletak lemah menyaping.

Sebuah cahaya menembak ke dalam iris mata aku, si bajingan dan dua penjilat silitnya.

"Kalian sedang apa siswa!"

Derapan kaki dan cahaya itu mendekat dengan kecepatan tinggi.

Langkah ini. Aku kenal langkah ini.

'Terminator'!

"Ru, bubar, Ru. Terminator datang anjing!" tegur salah satu penjilat silit Bang Gaharu.

"Tahi. Lu selamat untuk sekarang anjing."

Kau ga pergi secepat itu bangsat.

Dengan sisa tenagaku, aku menahan kaki dia hingga 'Teriminator' datang.

Badanku sudah bermandikan keringat. Panas tubuhku menguapkan seluruh air yang ada dalam tubuhku. Aku merasa seperti tahi. Tetapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin selalu mendapatkan tawa terakhir terhadap bajingan satu ini.

"Oi anjing, lepasin kaki gua!" teriak dia dengan wajah merah padam.

Aku hanya membalas dengan senyuman dari telinga ke telinga.

Derapan kaki 'Terminator' semakin keras, aku bisa mendengar dia akan tiba dalam hitungan detik.

Aku tidak akan melepaskan kakimu bos. Aku harus melihat wajahmu terakhir kali saat dia tiba.

Tanganku mulai licin dan aku tanpa sengaja melepas kaki Gaharu. Seluruh badanku terputar menghadap tanah karena momentum dari tarikan kaki Gaharu.

Ini pertama kali aku merasakan perihnya olah raga. Sepanjang hidupku, aku menikmati permainan dengan teman-temanku di permukaan perbukitan. Namun, aku tidak pernah merasakan lelah.

Sekarang, yang aku rasakan hanya panas. Emosi dan benci menghalaukan pikiranku.

Setidaknya melihat yang menyiksa aku sengsara sementara bisa bikin kepala lega.

"Siswa, anda sedang apa! Mengapa siswa ini di sini!?"

"Tidak ada apa-apa pak, ehehehe...,"

Aku benci nada ini. Nada orang yang memutar-mutar situasi.

"Ermph."

Itu suara apa. Itu bukan suaraku. Aku sudah terlalu lelah untuk memperhatikan. Aku pun tidak punya tenaga lagi untuk mendengarkan.

Aku tidur saja di sini.

***

Hanya satu cahaya yang menerangi lapangan apel Gedung 3.

Setting yang aku lihat terasa seperti narapidana yang dibariskan untuk mendapatkan pengarahan.

Aku memberanikan diri untuk bergegas kepada lapangan apel dan mengabaikan Gaharu yang berdiri persis di ujung tangga.

"Hiltop, Dharmo, apapun yang terjadi kita pura-pura goblok aja. Paham?"

Dharmo tidak perlu berbicara, matanya sudah mengiyakan kata-kataku. Kahil hanya membalas dengan wajah halu.

Kita bertiga memasuki barisan Wisma 17.

Aku tidak begitu memperhatikan pengarahan yang diberikan oleh pembina apel. Sesuatu mengenai jangan menggunakan jam belajar malam untuk tidur atau sejenisnya.

Divisi lapangan mulai menyapu barisan peleton memastikan tidak ada yang tidur. Beberapa ada yang bereksperimen pada rekan-rekan angkatanku seperti, mendorong lengan mereka menggunakan kelingking atau mempertanyakan hal-hal terkait orientasi.

Situasi ini mengesalkan tetapi, setidaknya aku bisa asumsi mereka memang mau menguji kita. Cuma yang bikin aku risi, kenapa yang menguji peleton wisma ku si Gaharu.

Ini manusia maunya apa dah? Peran dia kan divisi orientasi, bagian yang tujuannya menguji pemahaman orientasi calon siswa. Bos, itu tertulis jelas di pamflet orientasi. Mengapa dia mengambil peran divisi lapangan malam ini pula.

Manusia satu ini menaruh mukanya tepat lima centi di sebelah pipiku dan menancapkan matanya bagai paku. Suara nafasnya pun terdengar jelas.

Aku tahu ini strategi untuk mengendorkan kepercayaan diri orang, aku pun sering melakukannya pas SMP. Tetapi, jarak ini keterlaluan bung. Aku merasa seperti target predator seksual.

"Kamu belajar di mana tadi dek," ucapnya dengan nada yang lembut nan mengerikan.

Geli bos.

Aku dengan sekuat tenaga tidak melepaskan getaran badan risi sambil mengucapkan, "Siap, di lantai dua bang."

Nafas dia berhembus panas ke leherku.

Aku ingin muntah bos.

"Kamu nyolot ya!?" tegur dia dengan nada berbisik.

"Siap, tidak bang."

Dia mengangguk seakan dia mengiyakan pernyataanku. Padahal aku tahu benar dia meragukan kata-kataku.

"Dengar baik-baik bocah tengik," bisik dia mengancam. "Gua tahu kamu baru saja bertemu orang tua sialan itu. Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan namun, gua ga suka. Tau diri lu anjing.

"Emang lu siapa?"

Aku tahu itu cuma retorika tetapi, aku tidak bisa menahan diri. Orang seperti ini seru untuk dipermainkan.

"Siap, Otniel Sitohang, asal Bengalon bang."

Sekitar lima orang dalam peletonku terlihat jelas bergetar menahan tawa.

Aku berani bersumpah darah akan meluap dari hidung dan telinga dia yang mulai merah padam. Udara dingin Magelang pun menunjukan uap air yang mengepul di atas kepala dia.

"Usai apel, temui saya di belakang!"

Dia baru saja mengusaikan kalimatnya saat perintah penutupan apel dengan lagu 'Padamu Negeri' dimulai.

"Apel bubar!"

"Izin meninggalkan barisan!"

Aku langsung berjalan kepada Gaharu. Dua orang anggota panitia orientasi berpose dengan lengan dilipat berdiri di kedua sisinya.

Sudah jelas mereka ingin mengintimidasi aku.

"Ambil posisi push-up!"

Karena aku tidak mau menambah masalah kepada wismaku, aku mengikuti perintah dia.

"Tahan di atas!"

Catatan bagi yang pembaca, arti 'tahan di atas' adalah saat mengambil posisi push-up, bagian pantat diangkat ke atas, memposisikan badan sejajar dengan lengan. Kata panitia orientasi, ini ditujukan agar lengan kita tidak pegal.

Tetapi, itu pembualan. Mau posisi standar atau 'tahan di atas' dua-duanya tetap pegal.

"Maksudmu apa tadi dek?" ucapnya. Dia dengan sengaja mengganti kosa-kata yang digunakan agar tidak dicurigai oleh panitia kelas tiga.

"Siap, saya hanya menjawab pertanyaan abang."

"Benarkah? Karena, yang aku tahu kamu menantang abang."

Oih.

"Siap, tidak bang."

"Turun 10!"

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10.

"Masih nantang!"

"Siap, tidak bang!"

"Turun 20!"

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14..., 15..., 16..., 17..., 18..., 19..., 20.

"Sudahlah, mending kamu ngaku aja kamu nantang abang. Nanti, tinggal tambah 10 lagi, kamu bisa langsung ke wisma."

"Siap...,"

Kalimatku dicegat oleh salah satu Divisi Lapangan kelas tiga.

"Ada apa ini?"

"Siap, adik ini baru saja menantang saya bang saat orientasi di barisan apel."

"Benarkah itu?"

"Siap..., saya menjawab Bang Gaharu yang mempertanyakan identitas saya bang."

"Benar itu Gaharu?"

Gaharu hanya menatap kepada aku yang menahan posisi push-up.

Ini manusia pasti lagi mengarang cerita.

"Siap, sebelumnya saya mempertanyakan di mana lokasi dia belajar malam namun, dia membalas dengan tidak serius."

"Apa balasannya?"

"Di lantai dua. Lalu, saya mempertanyakan siapa dia."

Divisi lapangan itu mengambil waktu sejenak. "Artinya dia tidak ada salah?"

"Apa?" balas Gaharu tercengang.

"Dia mengatakan di mana dia belajar lalu, dia menjawab pertanyaanmu tentang identitasnya. Artinya dia tidak salah. Bukankah begitu?"

Aku pun terkejut bos. Setahuku divisi lapangan ditujukan untuk menegakkan kedisiplinan bagi para calon siswa. Pastinya, mereka akan bertingkah galak jika, ada anggota angkatanku yang berulah. Namun, orang ini malah mengambil keputusan yang lebih rasional.

Apakah mungkin dia salah satu orang yang tidak bisa disentuh oleh Gaharu dan keluarganya?

"Berdiri dek!" perintah dia kepadaku.

"Siap."

"Berangkat ke wismamu segera!"

"Siap, dilaksanakan bang!" ucapku sambil mengangkat hormat kepada abang itu.

Aku meninggalkan lapangan dan bergegas menuju wismaku.

Saat aku mulai diselimuti oleh gelap malam, jauh dari jarak pandang panitia orientasi, aku berlari sekencang-kencangnya ke wismaku.

Bos jalan jam 10.00 malam sendirian dalam kampus ini seram. Disamping hantu – yang tidak bisa aku lihat atau sentuh – hewan-hewan malam seperti tikus atau ular kadang lewat di sini. Aku tidak mau ambil risiko.

Aku langsung menghantam pintu wismaku terbuka.

"Dari mana lu Ni?" sambut Kahil sambil menyemir sepatunya.

"Ketahan Gaharu."

"Elu sih, nyolot."

"Tahi kau. Mentang-mentang ga kena. Padahal kita bertiga udah bikin dia emosi pula. Kenapa aku doang yang kena asem?"

"Muka lu kali, negeslin."

"Bacot kau babi!"

Aku langsung melemparkan tasku kepada meja belajar. Badanku langsung merebah di atas permukaan kursi dan ku sandarkan pada dinding.

"Lu kaga ganti baju?"

"Taran bos. Ngumpulin tenaga dulu. Tadi di push-up sampai 30 sama nahan di atas sampai dua menitan."

"Masih dikit itu jir."

Aku terlalu lelah untuk membalas. Komentar Kahil hanya ku berikan lambaian tangan saja.

Aku masih mengingat skenario tadi. Sesuatu yang janggal menarik benang penasaran dalam kepalaku.

Abang tadi tidak terpengaruhi ataupun berusaha untuk menjilat silit si Gaharu.

Adakah senior-senior yang tidak bisa dipengaruhi oleh kuasa Gaharu?

Atau, mungkin karena aku terlalu pesimis dan menganggap seluruh panitia orientasi berada di tangan Gaharu, aku tidak sadar bahwa, ada juga yang tidak dipegang oleh dia.

Kalau seperti itu, aku harus cepat.

Dua anggota wismaku tiba-tiba jatuh sakit dan di rawat inap di klinik siswa. Dan, aku tahu ada hubungannya dengan sejarah almarhum Fahrizi dan wisma ini.

Aku hanya memerlukan rantai yang menghubungkan kepada Gaharu.

Urutin-urutin.

Pertama, ada beberapa orang lain yang seperti, Bapak Tua itu. Beberapa senior tidak terlalu terpengaruh dengan Gaharu. Mungkin, karena mereka tidak bercita-cita untuk memasuki akademi militer – mungkin. Lalu, aku asumsikan rata-rata, kelas tiga yang memiliki kuasa terhadap Gaharu.

Hm...

.

(Brak!)

Saat teduhku dihentikan oleh hantaman pintu wisma.

"Otniel Sitohang di wisma ini bukan!?"

Ah..., si tahi laso manggil.

"Siap...!" balasku dengan bentakan kesal.

Tatapan mengiris terkejut diarahkan kepadaku oleh seluruh warga wisma 17. Aku hanya berjalan dengan membawa muka malas sepanjang koridor, mengabaikan mereka.

"Sudah siap saja kamu dek," ucap salah satu muka tua yang berdiri di depan pintu koridor wisma 17.

Ya, aku masih belum melepaskan seragam sekolahku.

"Kamu dipanggil Gaharu. Ikut abang!"

"Siap," ucapku masih memasang wajah malas.

"Kamu nyolot ya!?" bentak muka tua dua.

"Siap, tidak bang."

"Ga apa. Kamu bakal nebus juga habis ini."

Bos aku tidak senang melihat senyum mereka. Geli. Gusi berlabel 'tantang aku kanker' terpampang jelas di depan wajahku.

Kita bertiga langsung berangkat menuju wisma 12, empat wisma di seberangku. Jalan setapak berlapis paving block diterangi oleh lampu remang-remang menuntun aku kepada manusia sialan bernama Gaharu.

"Ini dia anak yang nyolot ke gua tadi," sambutnya.

"Jadi, kau bicara apa saja sama si keriput bangsat itu."

"Siap, mohon maaf bang, saya tidak mengenai orang dengan identitas keriput bangsat."

Jawabanku dibalas dengan pukulan tepat ke ulu-hati.

"Jangan sotoy lu anjing," bisiknya pada aku yang meringkuk di atas permukaan paving block.

"Jadi, apa yang lu omongin sama si bangsat keriput itu!"

"Wi..., be..., las..."

"Kerasin lagi!" bentak salah satu penjilat Gaharu.

"Wisma 17."

"Dua temanmu juga ikut dengerin dia juga kan!?"

"Siap, kami bertemu di lantai dua bang."

"Lu ga jawab pertanyaan gua!"

"Siap, kami bertemu di lantai dua bang!"

Aku ga suka bohong. Jadi, aku membuat kata-kataku sedikit ambigu. Jika, kata-kataku membuat manusia ini kesal, akan aku gunakan.

"Ambil posisi push-up!"

Gaharu perlahan menjongkok tepat di sebelah telingaku. Lalu, dia menarik rambutku, berusaha mengintimidasi.

Kau ga akan buat aku goyah bos. Si bajingan ini masih belum sebanding dengan kawan lamaku saat kita masih musuhan.

"Jujur anjing! Kamu masih junior juga. Jangan nyolot sama abang-abang di sini."

"Siap, saya jujur bang. He..., saya membicarakan wisma 17 dan salah satu teman angkatan abang yang dulu tinggal di situ."

Aku bisa mendengar nafas dia yang berhiaskan amarah. Darah mengalir dalam nadi matanya sampai memaksa kedua bola daging itu keluar.

"Jadi, itu maulu hah? Lu nyoba nantang gua, nantang reputasi gua!? Lu tahu gua siapa!? Gua anak dari Mayjen Badhar Amarullah. Gua bisa merusak reputasi lu dengan satu atau dua kata.

"Si cecunguk itu juga sudah tahu itu. Tapi, dia masih nantang gua. Bukan salah gua kalau dia gantung diri. Dia yang goblok! Sekarang, gua nemuin anak goblok yang sama yang nantang gua hah!?

"Gua tanya, emang lu siapa?"

"Aku Otniel Sitohang," balasku sambil melepaskan tawa halus.

Emph.

Kakinya berayun kepada pinggangku.

"Turun sampai gua bilang berhenti!"

Hah, hah, hah, hah, hah, hah, hah...

"Berhenti!"

"Emang lu bisa apa? Hm? Nantang gua. Lu memangnya mau ngapain nanya-nanya soal sejarah itu. Lu mau jadi pahlawan? Jangan belaga lu!"

"Siap, saya tidak peduli dengan reputasi atau apapun tentang abang. Saya hanya ingin menyelamatkan teman-teman saya yang sakit."

"Ngomong apa lu anjing.

"Saking lemahnya udah halu dia," ucapnya menghinaku kepada kawan-kawannya.

"Saya tidak tahu apa yang terjadi di wisma saya sekarang. Namun, saya tahu ada hubungannya dengan abang dan almarhum Fah...

Emph!

"Lu jangan asal ngomong anjing. Lu ga ada kuasa di sini. Gua bisa mengakhiri masa depan lu sekarang juga."

"Heh, beruntung saya memang tidak berencana untuk memasuki akademi bang."

Aku tahu aku melakukan hal bodoh menantang dia. Tetapi, aku tidak tahan bos. Orang-orang seperti ini seru dipermainkan. Semakin mereka emosi, semakin seru. Dan, semakin aku masuk di kepala mereka semakin mudah orang-orang seperti ini jatuh.

"Turun!"

Emph! Huph! Argh!

Manusia ini menendangi aku setiap badanku setiap kali aku mengambil satu set push-up.

Dua penjilat silitnya hanya menatap dengan tawa.

Dia kembali mengambil posisi jongkoknya dan membisikan, "Dengerin baik-baik. Lu gausah sok pahlawan pengen 'menyelesaikan misteri wisma 17'. Dia sudah bikin pilihannya. Gua ga terlibat. Persetan juga temen-temen lu. Gua tahu angkatan lu lebih banyak 'anak jenderal' daripada angkatan gua. Kalau, ada apa-apa sama mereka, gua ga masalah. Kompetisi gua berkurang. Paham."

***

Mengapa langit-langit di hadapanku buram?

Aku di mana?

Aku tidak kenal langit-langit ini. Satu lampu pijar yang berhias caping besi bergantung di tengah ruangan. Jaring laba-laba mengikat di belakang seakan menopang lampu itu.

"Siswa, siswa!"

Ada seseorang di depanku. Pandanganku masih buram. Aku hanya melihat warna hitam dan biru berhiaskan sedikit warna cokelat.

"Siswa, siswa! Sudah sadar siswa!"

"Term...," hampir keceplosan. "Pak Wesi?"

"Kamu baik-baik saja siswa?" tanya figur kekar di hadapanku.

Guru ini memiliki postur layaknya Arnold Schwartzneger namun, berkulit cokelat. Aku dan dia mungkin lebih tinggi sekitar tiga centi daripada tinggiku. Lengannya berhias urat yang tak kunjung layu, bagai kawat – dari sini dia mendapat panggilan 'Terminator'-nya dari anak-anak. Wajahnya tercukur bersih dan ditopang oleh leher bagai berlapis seling tambang.

Dia menatapku sangat tajam walau, itu hanya matanya.

"Tidak apa-apa pak."

"Baiklah, mengapa kamu ke wisma abang dek? Aturan orientasi melarang kalian untuk bertemu abang-abang selain para panitia bukan?"

"Siap, saya hanya menjawab panggilan pak."

Dia hanya menatap kaku, raut wajahnya tidak terlihat perubahan yang jelas. Namun, matanya terlihat jelas berusaha membedahku.

"Baiklah siswa, apa saja yang di...,"

Dia tidak sempat menyelesaikan kata-katanya karena diputus oleh suara yang familiar bagiku.

"Pak..., eh. Oni? Kamu ngapain di sini le?"

"Ga da apa-apa. Kenapa?"

"Oh iya. Pak Ter..., Pak Wesi wisma kami ada musibah pak."

"Baiklah siswa!" sahutnya sambil berdiri mengankat seluruh badan padat berhias kawat itu.

Aku berusaha untuk bergegas mengikuti dia namun...,

"Kamu tetap di sini siswa untuk istirahat!"

"Mohon maaf pak, dengan segala hormat, ini melibatkan anggota wisma saya. Saya harus hadir."

"Tidak bisa! Kamu sekarang tidak dalam kondisi baik terutama dengan memar di area rusukmu siswa!"

Aku menerobos dia ditenagai oleh kekerasan kepalaku.

"Siswa!"

Dia bersama Sudharmo mengejar aku yang berlari tertatih di permukaan koridor.

Aku terkejut saat aku menoleh ke belakang. Aku mulai lebih memahami lagi mengapa senior-senior di sini sering memanggil dia terminator.

Cara dia lari saja sudah menjelaskan semuanya. Cara dia lari bukanlah cara lari manusia. Dia berlari dengan tempo yang konstan, dari langkah, ayunan tangan hingga, nafas yang dia hembuskan. Motor dengan kelajuan 80KPH saja tidak sekonstan ini bos.

Sudharmo tertinggal di belakangnya.

"Siswa! Kembali ke pos pengawasan siswa!" bentaknya satu meter di belakangku.

Wismaku sudah dekat bos, jangan sampai ke tangkap. Aku harus melihat apa yang terjadi di wismaku. Aku takut dengan apa yang akan aku temukan.

Pintu wisma terbuka, tidak ada hambatan. Para bocah wisma telah berkerumun bagai ngengat di depan lampu masalah.

"Minggir, minggir!"

.

Tidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidaktidak.

Tiga orang rekanku bertambah jadi korban. Posisi mereka pun tidak membantu aku untuk mencari sisi terang dari situasi ini.

Ketiganya berwajah pucat dengan mata setengah terbuka. Satu terduduk pada kursi belajar menghadap kepada dua orang yang terbaring silang di atas kasur.

Ketiganya juga memiliki ciri-ciri yang sama seperti, Komang dan rekan kamarnya. Jejak memar pada leher mereka.

"Siswa, bubarkan!"

Aku tahu Pak Wesi berdiri di belakangku. Namun, aku tidak sanggup untuk mempermasalahkan itu. Dia pun menatap tercengang di belakangku.

"Baiklah siswa! Saya butuh enam orang untuk membantu saya menggotong mereka ke klinik siswa!

Beberapa anak memberanikan diri untuk mebantu Pak Wesi. Sudharmo menyeret Kahil untuk membantu tiga rekan wismaku.

"Kamu juga ikut siswa," sampainya padaku. "Kita akan melanjutkan diskusi kita di sana."

"Siap."

Berdelapan kita meninggalkan wisma 17.

"Ada perkembangan ndak Oni?" tanya Sudharmo.

"Hah..., oh, ga banyak."

"Yo wes. Tapi, kalau kondisi kayak gini, waktu kita sedikit le. Kita harus nyelesaiin secepat mungkin."

"Kau kira aku tidak tahu itu!" ucapku dengan bisikan berhias emosi.

Aku tidak tahu aku harus melakukan apa sekarang. Aku hanya menghadapi misteri yang aku sendiri tidak tahu cara mengakhirinya. Satu-satunya sumberku untuk setidaknya mencari solusi adalah seorang bangsat yang sudah aku label sebagai musuh. Dia juga padaku. Siapa lagi yang bisa aku tanya? Aku sudah yakin tidak ada panitia orientasi yang bisa aku tanya, terutama yang kelas dua. Aku tidak yakin ada guru yang mau bercerita detil mengenai hal ini, apalagi jika aku mulai bicara tentang hal-hal mistis dan takhayul.

Adakah solusi untuk masalah ini? Padahal, aku masih di periode paling awal orientasi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...