Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. I Bab III

 Aku akan melakukan timeskip pada bab ini kepada hari-h kegiatan Upacara Pembukaan Orientasi Siswa.

Siapa pula yang mau membaca seseorang bercerita rutinitasnya selama dua minggu yang terdiri dari bangun, makan, latihan, makan, latihan, isoma (istirahat, sholat, mandi), makan malam, belajar malam? Tidak ada bos.

Juga, selama pelatihan tersebut aku tidak bisa fokus kepada bagian yang menarik dari pengalamanku: misteri gudang wisma 17.

Setiap kali aku ingin mengambil waktu untuk menyusun rencana atau pertanyaan, waktuku pasti dipotong oleh para PKP untuk melanjutkan kegiatan persiapan Upacara Pembukaan Orientasi Siswa.

Aku sedang menulis, ada panggilan.

Aku sedang menyuci, ada panggilan.

Aku sedang BAB, ada pula panggilan lagi.

Sekarang, Pembukaan Orientasi telah dimulai. Aku sedang melaksanakan hormat jalan kepada 'orang-orang terhormat' sekolah ini. Mereka berdiri tepat di depan salah satu monumen prasasti sekolah Arma Negara.

Kami kemudian memutar formasi agar seluruh angkatan diarahkan kepada Plaza Gotong Royong untuk mendapatkan pengarahan dari kepala sekolah.

Aku akan melewati bagian pengarahan karena..., ehm..., aku..., eh..., tertidur di barisan. Aku tidak memperhatikan sama sekali apa yang dikatakan oleh sang kepala sekolah.

Aku tidak tahu aku dapat skill ini darimana. Yang aku tahu pasti, aku tertidur sambil berdiri. Aku pun berani jamin, aku tidak sendiri.

Beberapa saat aku sadar, aku menyempatkan untuk mengintip kepada barisan lain.

Aku tidak salah bos. Ada juga beberapa bocah yang tertidur sambil berdiri di barisan.

Oh, aku sudah mencium bau-bau angkatan ini bakal terjun ke neraka bos.

***

Suhu Magelang pada jam 12.00 malam sangat tidak bersahabat. Bahkan, dia tidak ingin memberikan kesempatan untuk aku menghangatkan badan. Padahal, aku pun telah mengenakan tracksuit.

Aku menunduk menatap permukaan lantai keramik dengan badan tersandar pada pintu. Aku tidak bisa berhenti bergetar hingga, pintu yang menopangku pun membalas getaranku.

Perkataan Komang masih tersangkut dikepalaku. Aku berusaha mengabaikan pernyataan dia namun, aku tidak bisa. Aku tidak pernah menyangka akan terjadi padaku.

Aku bisa menerima keberadaan makhluk halus. Bos, kehidupanku di Kalimantan selama tujuh tahun dibumbui oleh makhluk halus. Harta yang hilang namun, tidak ada tanda penyusup, upaya-upaya santet oleh orang-orang yang tidak menyukai keluargaku, dan hal sejenis lainnya.

Namun, aku tidak pernah mengalami hal seperti ini. Makhluk halus independen yang memilih untuk mengikutiku. Karena, dari pengalamanku sendiri, aku terbiasa jika, mereka merupakan kiriman – yang tentunya tidak aku harapkan.

Aku tidak bisa melihat atau merasakan keberadaanya tetapi, dampaknya tetap sakit bos.

Mengapa dia mengikutiku? Di mana logikanya? Apakah yang membuat makhluk tersebut terikat padaku? Adakah alasan lain? Apakah ada sesuatu yang dia mau dariku?

"Oni!" teriak Kahil dari balik pintu kamar mandi.

Teriakan Kahil menarik aku ke alam fana. Aku langsung menghadap pintu toilet yang dia tempati dan menghela nafas.

"Yo!"

"Lu masih di situ kan?"

"Kalo kagak gimana aku ngejawab bodoh!"

"Gausah ngegas juga kali."

"Bos, itu suara tersantaiku pula."

Ya bos, aku sedang berdiri di koridor kamar mandi pada jam 12.00 malam. Hanya diterangi oleh lampu neon yang memaksakan masa hidupnya untuk menemani kita berdua.

Kahil meminta aku untuk menemani dia selama buang air besar karena dia tidak mau sendirian pada jam 12.00 malam di kamar mandi.

Aku bisa memaklumi posisi dia. Lingkungan Arma Negara pada malam hari sangat sunyi, terutama jika bukan musim kawin dari para jangkrik. Satu-satunya suara yang menemani kita hanya nyanyian semu dari angin malam.

Pepohonan terkadang menyusul ikut karaoke bersama angin, membentuk harmoni horor.

Aku mulai tidak tahan berdiri di depan pintu toilet Kahil. Kepalaku mulai berat, kaki mulai lemas. Aku ingin tidur. Tahi.

Aku berteriak kepada Kahil untuk melontarkan emosi. "Udah belom asu!? Capek aku bos!" sekalian untuk menaikan semangat juga agar masih tetap bangun.

"Sabar! Kaga bisa keluar anjing," balasnya sambil merintih bagai seorang ibu yang akan melahirkan.

"Kau yakin kau berak kan? Bukan ngelahirin anak genderuwo?" balasku.

Sedikit ejekan untuk komedi. Tidak ada yang tersakiti bukan? Kecuali Kahil.

"Tahi lu anjing."

"Yo, sama-sama."

Selama Kahil merintih, aku kembali lagi menghadap kepada lantai keramik berhias lumut dan menutup mata. Aku merendam diriku dalam pikiran.

Aku tahu aku tidak akan mendapatkan jawaban jika, aku hanya memikirkannya saja. Aku harus bertanya. Tetapi, pertanyaan yang tepat apa dan siapa yang harus aku tanyakan?

Aku bisa merasakan uratku berdenyut selama 15 menit, memompa darah ke kepala agar aku terus berfikir. Namun, proses itu tidak bertahan lama.

Pikiranku mulai lari dari rantai pemikiran yang aku tetapkan. Aku mulai bermimpi ditengah aku berdiri di kamar mandi.

Lalu.

Aku dipaksa kembali kepada kenyataan oleh dua figur mengerikan.

Suara mengerikan dan aroma yang jahat menghajar aku tanpa ampun. Mereka datang dari balik pintu tempat Kahil duduk.

"Ah...," rintih Kahil lega.

"'Ah...,' matamu bangsat!" teriak aku dari balik pintu. "Aku setuju nemanin kau berak tapi jangan disiksa juga. Asu!

"Bahkan, rawa sebelah rumahku ga sebau ini cuk!"

"Haha...," balas dia tidak memperhatikan aku yang tersiksa.

Ketika, aku tidak bisa berfikir aku akan bertindak secara fisik. Aku tidak bisa bertahan dengan aroma ini sehingga, aku menghantamkan kepalaku kepada pintu yang ku gunakan sebagai sandaran.

Kurang keras. Rasa sakitnya tidak bisa mengalihkan aku dari aroma kejam ini.

"Aku duluan. Ga kuat anjing," sahutku berjalan meninggalkan Kahil.

"Oni! Tungguin gua," sahut Kahil dari balik pintu. Sebuah dentuman dari pintu kamar mandi menyusul setelah sahutan dia.

Kemungkinan dia terpeleset ketika dia memakai celana.

Persetan.

***

Ini hari setelah upacara orientasi dibuka dan aku terduduk di meja makan untuk menjalani makan siang. Sekelilingku terisi wajah-wajah yang tidak aku kenali. Kecuali, satu wajah.

Wajah yang duduk di sebelah aku. Dirham.

Sebelum kita duduk dalam posisi patung ini, aku memperhatikan Dirham – ya aku menatapi dia dari awal hingga akhir. Alasan aku melototi dia: aku tidak punya bahan bicara.

Namun, kondisi dia aneh. Saat kita duduk, wajah dia tertulis jelas "Ah, hari baru!". Dan setelah setengah jam berlalu, dia terlihat seperti rumput yang tidak mendapatkan sinar matahari. Kantong abu-abu mulai terlihat di bawah mata dia.

"Bos, kau OK?"

"Hah?" balas dia dengan nada halu.

"Kau baik-baik aja tidak? Ambil air lagi nah," ucapku sambil menyodorkan teko pada dia.

"Ga-apa, ga-apa. Cuma energiku terkuras dikit aja."

Sebelum aku bisa melanjutkan kata-kataku, dengung dari speaker pengumuman menarik perhatian seluruh ruangan.

Meja pengumuman mess hall diambil alih oleh seorang remaja. Aku tidak bisa mengatakan dia bocah karena, jujur, wajahnya terlihat seperti seseorang yang berumur 22 tahun. Walau, dia mengenakan seragam layaknya anak SMA dengan kemeja putih dan celana abu-abu.

Satu-satunya yang unik dari atribut orang itu adalah dasi yang memiliki sulam chevron dua.

"Kepada seluruh calon-siswa diharapkan untuk membubarkan mess hall dan segera berangkat kepada Aula Literatur. Diulangi, kepada seluruh calon-siswa diharapkan untuk membubarkan mess hall dan segera berangkat kepada Aula Literatur."

Usai pengumuman, bagai wabah belalang, seluruh siswa dan siswi mengalir keluar dari mess hall dan membentuk barisan.

Perlahan, rutinitas ini akan membosankan. Aku pun yang menulis pengalamanku pada kertas ini mengantuk bos.

Dan, setelah komentar itu keluar dari mulutku, sesuatu yang baru terjadi.

Cahaya matahari memberikan highlight kepada 10 figur baru yang berdiri dibawah teduh atap koridor, sayap timur mess hall. Mereka terdiri dari tujuh laki-laki dan tiga perempuan dan mengenakan seragam yang sama seperti remaja yang tadi mengambil alih meja pengumuman.

Salah satu siswa laki-laki mengambil alih, mewakili barisan tersebut. Satu-satunya yang membedakan dia dengan yang lain adalah dasinya yang memiliki chevron tiga. Dia bergerak seperti kesulitan untuk membawa badannya sendiri sehingga, harus melempar bahunya untuk menjaga keseimbangan – sederhananya, badan dia terlalu jadi.

"Selamat siang!"

"Selamat siang!"

Dia membuka perkenalannya dengan "Izin memperkenalkan diri" sebelum dia menyebut nama sendiri.

Mengapa?

Aku tidak tahu.

"Saat ini seluruh casis akan melakukan perkenalan dengan panitia di Aula Literatur. Masing-masing peleton akan diambil alih oleh para abang dan kakak di hadapan kalian.

"Paham!?"

"Siap, paham!"

Ketua wisma masing-masing diminta untuk masuk ke dalam barisan oleh masing-masing abang-kakak..., panitia.

***

Aku tidak tahu apa yang terjadi tetapi, aku berakhir duduk di sebelah Dirham lagi. Kondisi dia masih buruk. Kepalanya diletakan di atas bantal yang terbuat dari persilangan tangannya.

Sementara, aku mengabaikan orang-orang yang duduk di sebelah aku dan mengarahkan fokus pada ruangan yang aku tempati.

Ruangan ini sedikit.., canggung. Mengabaikan lantai keramik ruangan, seluruh ruangan ini ditopang oleh pilar-pilar dari kayu jati yang dilapis oleh varnish. Langit-langitnya pun menggunakan tripleks dari kayu jati dan di-rivet kepada atap – bukan baut, bukan paku, rivet. Barisan lampu neon dan kipas ditata rapih menghias langit-langit ruangan. Di hadapanku, sebuah meja besar seperti, meja juri diletakkan tepat di tengah ruangan. Sejajar pada meja juri, di tengah ruangan juga, satu baris di kosongkan layaknya sebuah jalur.

Aku mengatakan desain itu canggung karena ini pertama kali aku melihat bangunan beton yang ditopang oleh rangka kayu.

Aku tidak tahu apa yang harus aku rasakan saat melihat ruangan ini. Aku akan tetap mengatakan 'canggung'.

Aku menoleh kepada bahu kiriku. Di balik barisan jendela, aku bisa melihat sebuah kompleks perumahan walau, sedikit terhalang oleh daun-daun pepohonan.

Suara hantaman pintu memutar kepala seluruh angkatanku.

Dua orang siswa, satu laki-laki dan satu perempuan berlari menuju podium dengan memegang mic pada masing-masing tangannya. Senyum penuh semangat menjadi topeng mereka.

Ah..., aku paham apa yang akan terjadi setelah ini.

"Saat abang mengucapkan 'Bagaimana kabar kalian!?', kalian balas 'Luar biasa!'

"Bisa semuanya?"

"Bisa!"

"Bagaimana kabar kalian!?"

"Luar biasa!" teriak seluruh calon siswa di dalam seragam warna-warni kita.

"Jadi," sambung sang kakak. "Kan, satu hari lagi kita akan memulai orientasi, dan ada pepatah 'Tak kenal maka, tak sayang'. Maka, hari ini kita semua berkenalan yuk!"

"Benar," sambung sang abang. "Kalau kita saling kenal, kalian bisa sayang sama para abang-kakak kalian selama orientasi ini."

"Ih..., kita belum memulai orientasinya sudah menggombal aja abang satu ini."

Tawa langsung mengisi seluruh ruangan.

Untuk aku. Aku tidak tertawa karena, aku masih menunggu 'surprise' yang terselip dalam kegiatan perkenalan ini.

"Biar tidak lama-lama kita mulai perkenalannya.

"Kepada, 'Mentor Wisma', dipersilahkan."

Musik mulai mengisi ruangan dan menggetarkan meja yang kita tempati. Barisan 'Mentor Wisma' mulai memasuki ruangan. Masing-masing berbaris berpasangan antara siswa dengan dasi chevron tiga dan chevron dua.

Bagian perkenalan ini aku abaikan karena tidak begitu relevan dengan cerita.

Semuanya langsung berubah menjadi hitam.

Para mentor wisma meminta angkatan kita untuk menutup mata sebelum mereka keluar.

Satu menit berlalu.

Dua menit berlalu.

Tiga menit berlalu.

(Blar!)

Yep, ini dia surprise yang aku tunggu.

Dinding Aula Literatur memantulkan suara teriakan dari panitia ronde kedua. "Jangan tidur!", "Woy! Bangun!", "Kalian selemah itu makanya pada tutup mata semua?" terngiang-ngiang di telinga.

Salah satu dari mereka mendekatkan wajahnya ke mukaku.

Aku menarik wajahku karena aku bisa mencium aroma nafas orang itu. Aroma santan, jigong, dan asam lambung menari-nari di hidungku.

"Kamu, kenapa kamu mundur?"

"Tidak ada alasan bang!" balasku.

Ah, tahi laso. Kenapa aku jadi korban, padahal belum ada apa-apa.

"Ulangi dengan benar, 'Siap! Tidak apa-apa bang!"

"Siap! Tidak ada apa-apa bang."

Hah..., aku beruntung. Dia tidak menanyakan lebih lagi. Jika, dia melanjutkan pertanyaannya, aku mungkin akan mengahadapi masalah yang lebih besar. Karena, aku pasti akan menjawab dengan jujur, 'Nafas abang tidak menyenangkan'.

Bung, kenapa kita harus tutup mata? Mengesalkan jika, aku tidak tahu situasi di sekitarku.

"Seluruh calon siswa, buka mata kalian!"

Perkenalan 'Divisi Lapangan' dimulai.

Selesai.

"Wah..., seram ya abang-kakak 'Divisi Lapangan'-nya," sambut suara feminin kakak MC dari koridor aula.

Berani kali kau. Padahal sudah bagian dari rencana kalian pula.

"Kan kalian udah berkenalan dengan 'Mentor Wisma' dan 'Divisi Lapangan'. Sekarang, giliran kita ya," ucap abang MC.

"Mari kita sambut," ucap mereka berdua. "'Divisi Orientasi'!"

Barisan baru mulai memasuki ruangan.

Tetapi, hal ini janggal. Aku yang dari tadi bertahan terhadap keringat yang mengalir dari leher hingga punggung, sekarang merasakan suhu dingin yang tidak nyaman. Tidak ada awan yang memberikan teduh di luar. Angin pun tidak mengayunkan pohon yang ada di sayap kiri gedung.

Suhu dingin ini datang dari mana?

Sebuah ketukan menghantam permukaan kulit lengan kananku.

"Bro, bro. Lu ada water ga," sahut Dirham mengintip dari periferinya kepadaku.

"Air? Ga bawa bos. Kenapa?"

"I don't really know. Paha kiri gua tiba-tiba panas."

"Salah urat mungkin."

Seluruh Divisi Orientasi telah siap dalam posisi barisan perkenalan di tengah aku berbincang dengan Dirham.

Mic diestafet, orang per orang, untuk memperkenalkan diri kepada kami.

Dengung dari speaker aula perlahan mengeras seiring mic diestafet oleh antar anggota Divisi Orientasi.

Suara itu mulai mengiris telingaku.

"Izin memperkenalkan diri! Nama, Gaharu Am...,"

Ledakan elektrik dari speaker dan mic di tangan sang abang menjadi kembang api dalam Aula Literatur.

Percikan listrik menyembur ke wajar rema.., ralat, Bang Gaharu.

Seluruh barisan perempuan terguncang takut menyaksikan ledakan speaker aula di hadapan mereka.

Teriakan perempuan dan sahutan kagum laki-laki bercampur aduk menggetarkan udara.

Seluruh anggota Divisi berlari untuk memastikan Bang Gaharu baik-baik saja.

Situasi yang canggung berubah menjadi menyeramkan.

Kaca Aula mulai bergetar keras tetapi, tidak ada angin yang berderu keras dari luar ruangan. Pepohonan yang menjadi tetangga kita hanya bisa menatap kaku terhadap keadaan kita.

Dirham mencengkram lenganku.

"Dude, bantu gua ke klinik sekarang," ucap dia setengah halu.

"Bisa kali kau fokus ditengah insiden kayak gini!" balasku dengan menutupi panik-ku di balik amarah.

"Please dude."

"Sabar."

Divisi Lapangan mulai berlarian memasuki Aula Literatur untuk memastikan keamanan kegiatan.

"Ada apa di sini!" teriak salah satu Divisi Lapangan.

Anggota Divisi Lapangan yang lain berupaya sekeras mungkin tidak menunjukan wajah paniknya di hadapan kita, calon siswa.

Aku menyahut kepada kakak Divisi Lapangan yang berusaha menenangkan barisan perempuan di sebelahku. Suaraku sedikit terhalang oleh deruan kaca dan percikan listrik.

"Kak! Kak!"

"Izin mengantarkan rekan saya ke klinik kak!"

"Kamu yakin? Kamu tidak lihat kah kondisi sekarang!?"

"Siap! Saya paham kondisi yang kita hadapi sekarang kak. Itu sebabnya akan lebih baik saya mengamankan rekan saya sebelum hal yang lebih buruk terjadi."

Dia merunduk.

"Tch, baiklah. Segera kembali."

Aku mengangkat Dirham dan melarikan dia keluar ruangan.

Kita melalui perpustakaan dan berlari ke tangga.

Namun, Dirham menghentikan aku sebelum aku bisa menopang dia untuk menuruni tangga.

"Toilet bentar."

Tanpa komentar ataupun pertanyaan, aku langsung menopang dia berjalan ke kamar mandi. Warna kulit hijau dia sudah menandakan apa yang akan terjadi.

Dia langsung berlari ke dalam stall kamar mandi yang terbuka. Seluruh isi perutnya ditumpahkan dan ditelan oleh mulut toilet.

Saat dia keluar, dia langsung berlari dan mencengkram aku pada kedua bahu.

Bos, aku ga homo dan wajah kau terlalu dekat.

"Apa yang lu simpan di kantong lu?" tanya dia.

Hah? Aku tidak ingat mengantongi apapun selama satu hari ini. Dia berbicara apa?

"Isi kantong lu. Keluarin sekarang!" amuk dia.

"Ok, ok. Sabar bos."

Tanganku menggali isi kantong kanan, atas permintaan Dirham.

Apa ini?

Aku menaruh barang yang ada di kantong kepada tatapan mata. Sebuah baut terjepit diantara telunjuk dan jempolku.

Dari mana datang baut ini?

Aku bersih keras memutar gir di dalam kepala untuk mengingat. Kapan terakhir kali aku menggunakan baut?

Aku tidak bisa mengingat apa-apa.

Dirham lalu dengan gesit mengambil jarak dari tempat aku berdiri. Telunjuknya menusuk tajam kepada udara di hadapanku.

"Itu!" teriak dia.

"Buang baut itu."

Aku hanya bisa menatap kebingungan. Ada apa dengan baut ini? Satu-satunya yang aku lihat hanya karat. Bahaya yang paling mungkin hanya tetanus dan itu pun cuma berlaku kalau kita belum mendapatkan vaksin.

"Lu ga lihat?"

"Lihat apaan?" balasku.

"Aura merah yang muncul dari baut itu dan orang yang megang tangan lu."

"Mana?"

"Tunggu. Lu kaga bisa lihat ya?"

"Sekali lagi. Lihat apaan telaso?" balasku mulai sedikit emosi.

"Pantes gua feel like shit."

"Kenapa?"

"Itu, hantu yang sticking to you ga bisa makan energi lu. Jadi, dia makanin energi gua.

"Itu juga alasan kenapa paha gua panas tadi anjing.

"Throw that shit away. Kalau kaga, dia bakal tailing lu terus."

"Maksud?"

"Baut itu is his anchor. It's a piece of him."

Aku masih tidak paham maksud Dirham saat itu. Tetapi, sepertinya dia telah menjawab salah satu pertanyaanku.

Saat aku ingin meninggalkan baut itu di tong sampah kamar mandi, deruan dari telapak terdengar dari balik pintu kamar mandi.

"Seluruh calon-siswa diminta untuk segera ke lapangan apel Area 3! Diulangi. Seluruh calon-siswa diminta untuk segera ke lapangan apel Area 3!"

Aku tidak sempat memikirkan untuk melepaskan baut yang aku genggam dan langsung berlari untuk kembali kepada barisan wismaku.

Aku tidak berpikir dua kali ketika aku meninggalkan Dirham di kamar mandi.

***

"Perhatian!" teriak salah satu Divisi Lapangan yang mengambil alih sebagai pembina Apel.

"Dikarenakan adanya kesalahan teknis...,"

Bagaimana itu kesalahan teknis bos. Delapan speaker meledak di tengah kegiatan bung.

"Maka, kegiatan perkenalan akan di sambung saat kegiatan orientasi di mulai.

"Seluruh calon-siswa bisa menanyakan kepada masing-masing abang-kakak saat kegiatan makan bersama di mess hall. Utamakan memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum menanyakan nama abang dan kakak.

"Paham semua!"

"Siap! Paham!"

"Apel dibubarkan!"

***

Angin malam mulai mengisi koridor wisma.

Anak-anak wisma berlalu-lalang di koridor untuk berkenalan dengan satu sama lain.

Beberapa sedang memenuhi kewajiban mereka untuk sholat.

Deru air mengalir yang dipakai para bocah untuk mencuci pakaiannya terdengar dari balik kaca wisma.

Aku duduk menatapi baut yang tidak aku sadari masih di dalam kantongku. Komang berbaring menjaga jarak dari tempat aku duduk. Kurangnya pencahayaan membuat kita berdua seperti, maling yang sedang beristirahat.

"Oni?"

"Yo?"

"Kamu kenapa menatapi baut itu?"

"Komang, kau melihat orang kah berdiri di belakangku?"

"Eh?"

"Jawab aja dulu."

"Iya," balas dia dengan wajah takut.

"Dari baut ini, kau lihat sesuatu kah?"

"Iya."

"Coba jelasin!" pintaku.

"Ada rantai aura berwarna merah mengalir ke orang di belakangmu."

"Orang dibelakangku terlihat seperti apa?"

"Oni, Oni, aku mohon, plis, jangan dilanjutkan," mohon Komang. "Dia mendekat ke aku Oni," lanjut dia sambil menarik wajahnya ke dinding meja belajar.

"Tolong, Komang. Ini mungkin akan penting ke depan."

"Dia bercukur cepak, lubang matanya tidak berisi apapun dan ada kantong mata yang dalam di bawahnya," ucap Komang sambil menekan tubuhnya ke dinding kayu di belakang dia. Dia terlihat, bukan, dia beneran sedang berusaha keras untuk menjauhi sesuatu di depan mukanya. "Leher dia ada luka melingkar seperti, bekas tali. Dan, darah di sisi kiri seragam dia.

"Oni! Tolong Ni! Jangan lanjutin lagi!"

"Ok, ok. Ini gimana aku mindahin dia bos!"

"Aku tidak tahu juga! Oni!"

Aku langsung berlari ke kamarku dan meletakkan baut itu ke dalam laci buku.

Aku kembali lagi untuk menanyakan lagi ke Komang.

"Dia masih di situ?"

"Dia masih ada. Tapi, dia tidak di kamarku lagi."

"Ok lah. Aman kau?"

"Iya."

Aku baru memasuki satu hari sebelum kegiatan orientasi dimulai dan inilah sambutanku ke kehidupan baru di Magelang. Sebuah misteri yang melibatkan salah satu Panitia Orientasi angkatan kita dan hantu.

Oh cerita yang menyenangkan.

Ya kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...