Semuanya sakit bos.
Aku hanya bisa mengerang, terbaring di atas kasurku sambil memegang
kepalaku yang pening. Padahal, aku tahu jelas itu tidak membantu
apa-apa. Ditambah, seluruh tubuhku sakit semua gara-gara kegiatan
ekstrakulikuler dari Gaharu.
Aku menghela nafas seakan-akan semua penyakitku ada pada hembusan itu.
"Lu kenapa Oni?" sahut Kahil mengintip dari kasur bawah.
"Badanku sakit semua bos. Ah..., saking sakitnya aku ga kepikiran buat membalas kau dengan komentar sarkas."
"Haha..., lu sih punya muka ngeselin."
"Tahi kau."
Walaupun, aku sedang berbincang dengan Kahil, kepalaku berada di
tempat lain. Aku masih memikirkan kawan-kawanku yang terbaring dan
tertancap selang infus di klinik siswa.
Aku masih belum menemukan solusi untuk membangunkan mereka.
Ada lagi masalah lain. Kahil dan Sudharmo sudah memberikan aku solusi
untuk menyelamatkan mereka yaitu, untuk membuat Gaharu mengakui
kesalahannya di dalam wisma ini.
Tetapi, aku sampai sekarang tidak menemukan cara untuk mengundang Gaharu ke wisma ini tanpa membuat dia curiga.
Aah! Semakin aku berpikir semakin aku tidak menemukan apa-apa. Kejadian yang familiar.
Mungkin aku melakukan kegiatan lain dulu, sesuatu akan muncul di dalam otakku.
"Mau ke mana lu?"
"Kencing baru nyetrika. Kau mau ikut?"
"Ngapain anjing!" balas Kahil risih.
Aku meninggalkan kamarku dan berangkat ke kamar mandi melalui koridor wisma.
Kepalaku penuh pikiran, badanku sakit semua namun, aku masih
menyisakan ruang dalam diriku untuk merasakan ketakutan terhadap apa
yang akan aku lihat di kamar mandi nanti.
Pemandangan yang aku lihat akan lebih parah daripada melihat kuntilanak atau pocog lewat.
Aku belum menaruh satu langkah kaki dan aku sudah melihat siluet
beberapa bocah-bocah wisma berlalu-lalang di dalam koridor kamar mandi.
Dan, yang aku tahu pasti, siluet itu tidak menandakan bocah-bocah di
dalam mengenakan kaos sama sekali.
Saat aku masuk, aku benar-benar ingin merobek mataku dari tempatnya bos.
Satu bulan, hanya perlu satu bulan untuk para bocah-bocah yang datang
dari kota untuk melepas rasa malu mereka dan membuangnya ke dalam
toilet.
Aku mendapati lima orang yang baru saja mandi setelah belajar malam.
Mereka berlaga seperti tidak ada yang salah pada situasi ini. Handuk
mereka tidak digunakan untuk menutupi bagian yang seharusnya ditutupi
tetapi, mereka menggunakannya di kepala untuk mengimitasi PKP.
Bagaimana aku bisa merasa aman jika, aku dipaksa memandang hutan rimba berkenalan satu sama lain.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk melepas urin yang sudah aku tabung semenjak belajar malam.
Setelah, aku selesai mengurus, ehem, bisnis, aku melanjutkan dengan
menyeterika bajuku. Aku menyempatkan untuk mengambil seragam untuk hari
esok lalu, membawanya ke ruang tengah.
Persis di sebelah musholla wisma, empat meja setrika tertata rapih pada dinding dan di tahan oleh empat setrika pasangannya.
Aku mengambil salah satu perlengkapan setrika itu dan mempersiapkan bajuku untuk esok.
Tuntutan kedisiplinan Arma ribet bos. Kita diberikan ketentuan untuk
membuat skema garis-garis tertentu ketika menyetrika baju. Aku merasa
sedang melakukan perencanaan tata kota setiap kali aku melakukan ini.
AHH!!! Belum ada bayangan rencana yang muncul untuk memenuhi kasus ini bos!
(Brak!)
"ARGH!!!"
Aku reflek menghantam meja setrikaan yang ada di depanku. Juga, tanpa sengaja menjatuhkan setrikaannya.
Setrikaan itu mendarat tepat di jempol kaki, membentuk garis dari kulit yang matang.
Sakit asu! Kenapa aku segoblok ini bos!?
Aku langsung berlari ke keran wudhu yang ada di samping kamar mandi
wisma dan membasahi kakiku. Proses matangnya kulitku harus aku hentikan
dengan air dingin.
Sakit ini akan terasa selama satu minggu.
Saat aku akan kembali ke dalam wisma, salah seorang rekan wisma
menyahut kepadaku dengan memasang wajah kebingungan nan serius. "Ni,
tadi ada paan?"
"Hm..., oh, aku ga sengaja jatuhin setrikaan tadi. Kakiku jadi korban
jing. Noh, ada garis di kakiku cuk," balasku sambil menyodorkan kakiku
yang basah.
"Paan sih!" balas dia menahan ketawa. "Gua kira ada apaan jir."
"Yaud. Aku lanjut nyetrika dulu."
"Iyeh," balas dia meninggalkan ruang tengah.
Aku melanjutkan kegiatan setrikaku setelah itu.
***
Aku tidak bisa tidur bos!
Aku lelah namun, seluruh sel dalam tubuhku berteriak habis-habisan karena kesakitan, menahan aku untuk tetap bangun.
Mataku perih karena sudah tidak tahan aku buka terlalu lama. Aku bisa
merasakan membran mataku retak secara perlahan, didorong oleh pembuluh
darah halus yang memaksa untuk membawa oksigen ke pupilku.
Mungkin kalau aku ganti posisi aku bisa tidur kali.
Aku menegakan badanku dan menggantungkan kaki pada tangga kasur tingkat. Aku berharap pada posisi ini aku bisa tidur.
Aku hanya menatap kepada kegelapan di balik pelupuk mata.
Seluruh indera yang ada di permukaan kulitku masih merasakan
lingkungan di sekitarku. Anak-anak yang masih tetap bangun berbincang
satu sama lain. Udara malam Magelang yang mulai lembab sampai, aroma
kentut yang dilepaskan Kahil saat dia tidak sadar.
Enak kali kau ngelepas angin tanpa dosa.
Aku menyangka setidaknya aku bisa pingsan gara-gara Kahil. Namun, tubuhku tidak mengizinkannya.
Sudah berapa lama aku berpose seperti ini. Aku mendengar suara jam di
atas meja belajarku tetapi, aku tidak tahu lengannya menunjuk pada
pukul berapa.
Tidurlah Oni, tidurlah.
Siapa tahu, mimpiku akan memberikan rencana agar aku bisa mengundang Gaharu masuk ke wismaku.
Kalau aku membuat masalah di meja makan, dia akan menghukumku ditempat.
Aku bertingkah di lapangan apel, dia juga mengambil keputusan sanksi di tempat.
Kemungkinan, yang paling buruk, dia akan menyeret satu angkatanku
untuk menanggung 'kesalahan' yang aku sengaja untuk mengumpan dia.
Pikir Oni, pikir.
Kalau..., mungkin aku bisa bertingkah di sini. Berlaga di area yang
cukup jauh dari wisma 17 tetapi, tidak mengundang masalah ke wisma kelas
1.
Aku sebaiknya membiarkan ide mengalir dengan sendirinya selama aku menutup mata.
Tunggu sebentar..., sesuatu tertangkap oleh telingaku. Ada seseorang yang melangkah dari tengah-tengar ruangan.
Mengapa dia memakai sepatu? Aku tidak ingat ada rekan-rekan wismaku
yang pulang telat dari kelas, ataupun yang baru balik dari klinik siswa.
Komang dan yang lain masih terbaring ditopang oleh infus.
Jadi, ini siapa?
Aku membuka mataku sebagian.
Hm..., ini siapa? Dia memakai jaket hitam namun, jaket ini bukan jaket dinas ataupun jaket parasut. Ini hanya jaket hoodie biasa berbahan kain. Celana yang dia pakai celana seragam harian. Dan, kenapa dia pakai boot?
Sebaiknya aku tetap memperhatikan dia.
Orang ini memindai area meja belajarku, dari permukaan meja itu
sendiri hingga, ke laci tempat aku menyimpan buku. Apa yang dia cari?
Hei..., dia mengambil sesuatu dari kantong hoodie-nya. Botol apa itu?
Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu..., aku sepertinya kenal situasi ini.
Aku mungkin tidak ada untuk mengalami pengalaman Fahrizi. Namun, aku
tahu pasti ini yang sedang aku alami.
Gaharu berusaha untuk menanam sesuatu di laci lemariku.
Bos, terkadang aku merasa kesal gara-gara tidak semua bisa berjalan
sesuai rencanaku. Tetapi, kadang aku merasa sedikit bahagia, beberapa
kejadian menguntungkan aku.
Kejadian ini salah satunya.
Dia membuka laci bukuku. Aku mencuri kesempatan ini. Seluruh tenaga
aku alihkan kepada kakiku walau, badanku kesakitan. Aku menendang kepala
orang ber-hoodie itu hingga, kepalanya menghantam kepada sekat kayu yang menopang buku-buku pelajaranku. (Brak!)
"Hha!" teriak Kahil yang terbangun tiba-tiba.
Dia bergegas berdiri dan melempar selimutnya ke arah dinding. Dia mendapati seseorang pingsan di atas lantai kamar.
"Oni, ini siapa anjing di lantai kita?"
"Gatau juga bos. Coba kau balik lah."
"Kenapa ga lu?"
"Bos, biar ga debat kusir aku kasih tahu dah. Kayaknya dia kirimannya Gaharu dah."
"Mmhh...,"
Kahil dengan enggan membalik orang yang baru saja ku tumbangkan.
"Dia abang?" tanya Kahil.
"Cek, dia bawa dompet atau apa kah?"
Kahil menepuk setiap kantong yang ada di pakaian korbanku. Dari celana hingga, kaos yang dikenakan oleh orang itu.
Tidak ada apa-apa yang bisa membantuku untuk mengidentifikasi orang itu berdasarkan gelengan kepala Kahil.
"Kita bangunin para bocah kah?"
"Lu aja. Gua jagain ni orang."
"Aku bangunin Dharmo dah, biar dia bantuin aku bangunin yang lain. Nanti, kita urus dia di ruang tengah."
Kahil hanya memberikan jempol.
Bos, badannya Kahil sudah cukup memblokir seluruh pintu kamarku. Aku tidak perlu khawatir jika penyusup itu akan kabur.
Aku berjalan ke kamar Sudharmo yang berada persis di sebelah
musholla. Kamar dia terlihat jelas dari ujung koridor karena diterangi
oleh lampu hijau remang.
Rekan kamarnya menggunakan night-light untuk membantu dia tidur.
Aku memanjat tangga kasur tingkat Sudharmo lalu, mencubit dia tepat
di pinggang. Aku berpikir dia akan terbangun jika, bagian paling rentan
setiap orang aku serang.
"Mo, bangun cuk!"
"WHHAA! JANCUK KAGET AKU ASU!" ONO Op...,"
Aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Lalu aku menempelkan telujukku, menyilang seiring aku menghembuskan "Shhh..."
"Ikut aku bos. Dan jangan bersuara terlalu keras. Aku yakin Gaharu ngawasin wisma kita."
Sudharmo hanya membalas dengan dahinya yang mengeriput bagai buah yang sudah teroksidasi.
"Aku wes turu lagi cuk!" balas dia kesal.
"Woi bangsat! Si Kahil nungguin anjing di kamar kita. Kita berdua
lagi nahan orang di situ dan aku yakin dia kiriman Gaharu. Lebih baik
kau ikut aku dah biar kau percaya."
"Yo wes, yo wes..."
Aku meninggalkan kamar Sudharmo dan disusul olehnya.
Saat aku sampai lagi di kamarku, aku berupaya menahan tawa sombong.
Wajah Sudharmo terlihat seperti dia akhirnya menemukan makhluk mitos
Jawa tepat di dalam kamarku.
"Kon beneran cuk? Iki beneran abang?"
"Aku tidak tahu ini beneran abang atau bukan. Tetapi, dari satu
angkatan kita kan tidak ada yang boleh memakai baju bebas selama
orientasi bos. Juga, kau sudah pernah ketemu abang ini kah di meja
makan?"
"Ora sih."
"Aku pun belum pernah ketemu orang ini bos. Kita juga disuruh sama
panitia orientasi kalau kita ga boleh ngobrol sama abang non-panitia
kan?"
"Iya juga sih.
"Jadi, piye kon mau ne?"
"Bangunin satu wisma. Kita interogasi sebelum kita manggil pisma."
"Yo wes, tak bangunin sing arek-arek lain."
***
Sebaiknya gua mengawasi dari kejauhan, pertemuan bayangan dari atap
wisma 18 dan pohon yang ada di tengah lapangan perbatasan antara kedua
wisma bisa jadi kamuflase gua.
"Lu jangan tidur goblok!" teriak gua ke sahabat gua yang mulai mengantuk.
"Sori, sori Ru. Capek banget gua."
Sumpah, dua sahabat terdekat gua ga ada yang bisa diandalin. Gua ga
ngerti kenapa hanya dua orang ini doang yang mau nempel sama gua.
Mereka berdua cuma jadi lintah kalau kaga bisa bantu gua.
Gua menatap pada jam di pergelangan tangan. Sahabat gua satunya
kenapa belum keluar-keluar? Sudah 15 menit. Padahal dia cuma nanam...,
menaruh barang di kamar cecunguk itu.
Gua memaksa mata gua untuk fokus kepada kaca wisma 17 walau, tidak ada cahaya.
Perlahan-lahan mata gua mulai melihat jelas bayang-bayang yang ada di kaca. Gerak-gerik para cecunguk kelas 1 mulai terlihat.
Gua kaga bisa berkata apa-apa. Telinga gua berdengung dan kepala gua mulai terasa panas.
Kenapa sahabat gua, GOBLOK SEMUA!?
Yang nemenin gua, tadi nantangin pas di kamar mandi. Sekarang, yang
gua minta bantuan untuk menanam bukti palsu di kamar cecunguk keparat
itu, gagal untuk memuaskan gua.
Tiba-tiba lampu wisma mereka mulai menyala. Siluet dari cecunguk kelas 1 yang mondar-mandir koridor semakin jelas.
Satu set siluet mengikat mata gua. Dari kejauhan, gua ngira-ngira
siluet itu terdiri dari tiga orang. Satu menuntun dari belakang dan satu
siluet terlihat menuntun orang lain ke tengah ruangan.
GOBLOK!
Sahabat gua ketangkep sama kumpulan cecunguk keparat kaga bernama. Gua ga terima kekalah..., bukan, gua belum kalah sama mereka.
Gua harus turun tangan anjing!
"Woy bangun!" sahut gua sambil menabok sahabat gua yang mulai halu.
"Ah..., hhah. Kenapa Ru?"
"Kita barengan masuk."
Gua berjalan di balik bayangan langit malam, di atas rerumputan. Kalau, gua lewat koridor, gua bisa ketahuan sama pisma.
"Ada apa ini!" sambut gua setelah menendang pintu wisma mereka.
Mereka pada ngobrol satu sama lain dengan suara kecil, "Ada abang divor, ada abang divor woi!"
"Gua nanya, ada apa di sini woi!" bentak gua kesal.
"Siap, wisma kami dimasuki oleh abang non-panitia bang!" balas salah satu cecunguk yang memberanikan diri menjawab gua.
Gua menatap kepada kerumunan di belakang dia.
"Kalian semua minggir!" bentak gua.
Gua ga percaya sahabat gua segoblok ini.
Dia pingsan dan terduduk di tengah-tengah ruangan. Badannya ditopang
oleh salah satu anak wisma 17. Anak curut itu gede banget jir.
***
"Sekali lagi gua tanya, ada apa ini!"
Berani kali kau bentak wismaku bangsat!
"Dengan segala hormat bang," sambutku. Aku berani jamin dia sudah
memutuskan kalau aku nyolot. Persetan. "Bukannya dia teman wisma abang
ya?"
Selama satu bulan dan dua minggu aku memperhatikan orang yang bernama
Gaharu. Mekanisme karakternya tidak akan membiarkan dirinya untuk
direndahkan oleh aku. Tetapi, dia juga harus menjaga image di hadapan anak-anak lain, selain wisma 17. Dilema yang sulit untuknya.
Sekarang yang mana yang akan kau pilih, Gaharu? Wajahmu memerah
dengan garis kehijauan menghias pelipis karena penuh dengan amarah.
Bukan karena rencanamu hancur tetapi, karena kau tidak tahan bahwa
Otniel Sitohang satu langkah di depanmu – padahal cuma hoki.
Dia mengalihkan perhatiannya kepada residen wisma 17 selain aku.
Temannya hanya bisa terbengong. Sepertinya, dia juga kebingungan harus membuat alasan seperti apa.
Gaharu membuka mulutnya. Namun, dia tidak bisa berkata apa-apa.
"Oni...," sahut rekan wismaku. "Sekarang jam berapa?"
Ini orang beneran nanyain soal jam di depan senior yang hampir meledak?
"Mana tahu aku. Kita lagi ngehadapin abang cuk. Kau beneran nanya ini sekarang?"
"Bukan gitu, lu kaga ngeliatkah wisma kita semakin terang?"
"Kalian nyolot ya!?" bentak Gaharu kesal. "Berani-beraninya kalian ngomong sendiri di depan senior!"
Aku tidak menghiraukan dia. Mataku fokus pada lampu-lampu neon yang
memberikan cahaya ke dalam wisma suram ini. Ada sesuatu yang tidak benar
dengan terang ini, kecerahannya sangat janggal.
Tiba-tiba seluruh wisma terasa dingin. Aku mendengar angin berhembus di luar wisma tetapi, tidak ada angin yang masuk ke dalam.
Kaca-kaca yang ada pada masing-masing kamar mulai bergetar.
Sebuah dentuman kencang menggetarkan udara di belakang Gaharu dan temannya. Pintu wisma kami tertutup.
"Ada, ada apa ini!" bentak dia. "Ini rencana kalian!? Kalian mulai berani sama senior padahal bukan siapa-siapa hah!?"
Dia berlari untuk membuka pintu itu.
Tidak ada gunanya. Gagang yang dia usahakan untuk dibuka bahkan, dengan berat badannya tidak mau bergerak.
Lampu-lampu wismaku tidak tahan lagi untuk menopang energi dari
cahaya yang dikeluarkan. Mereka meledak dan mengirimkan setruman kepada
bagian tertinggi masing-masing meja belajar siswa.
Semua menjadi gelap gulita.
"Oni! Ono opo iki le!" sahut suara Sudharmo dari balik kegelapan.
"Fahrizi...," balasku terpukau.
Sepanjang umur aku hanya pernah merasakan konsekuensi dari
makhluk-makhluk spiritual. Namun, ini pertama kali aku melihat mereka
beraksi dengan mata kepala sendiri walau, aku tidak melihat pelakunya.
"Suara apa itu?" tanya Kahil.
Aku tidak menjawab. Kegelapan ini mempersulit aku untuk memahami
situasi di sekitarku. Aku tidak menjawab Kahil karena aku tidak tahu.
Aku tidak menjawab karena aku takut aku benar.
Pandanganku perlahan mulai menyesuaikan dengan kegelapan. Tidak,
cahaya perlahan muncul dari luar kaca membantu aku melihat wisma 17.
Para bocah wisma 17 telah jatuh pingsan ditambah teman Gaharu.
Hanya aku, Kahil, dan Sudharmo serta, Gaharu yang masih berdiri dan sadar.
"Oni..., mending kita kabur le! Aku ra ngerti opo sing terjadi iki. Perasaanku ra enak asu!"
"Kalaupun kita kabur, kau mau keluar dari mana cuk! Kau lihat tadi si
Gaharu mau buka pintu ngga bisa? Bahkan, sampai pakai badannya pun
tidak terjadi apa-apa!?"
"Lu berani banget ya kaga manggil gua pak...,"
"Bacot kau babi!" bentakku ke Gaharu. "Aku tinggal di daerah hutan dan teman-temanku rata-rata preman. Jangan kau bicara soal respect di hadapanku anjing! Tidak ada satu sel dari tubuhmu yang pantas dihormati paham!"
"CECUNGUK GA TAHU TERIMA KASIH!" teriaknya sambil mengambil satu langkah ke arahku.
Namun, langkahnya terhenti karena kemunculan erangan yang menggetarkan udara.
Seluruh bocah wismaku yang sebelumnya pingsan tiba-tiba berdiri
sendiri. Mereka tidak menunjukan adanya tanda-tanda kesadaran. Aku tidak
bisa melihat pupil mereka hanya, putih dari mata mereka.
Hal yang sama pun terjadi pada kedua teman Gaharu.
"Gaharu..., masih ingat aku," ucap mereka semua.
"Oni, ini apaan jir!" teriak Kahil.
"Aku udah bilang ini bukan ulahku pula!"
"Kapan lu bilang anjing!"
"Pas gua nyebut nama Fahrizi."
Gaharu hanya bisa memberikan wajah penuh kebencian kepada satu orang.
Satu orang yang memakai tubuh teman-temanku untuk menyelesaikan urusan
terakhirnya.
"Lu sudah mati, lu sudah mati, LU SUDAH MATI! LU KAGA BISA SALAHIN
GUA! LU SENDIRI YANG MILIH UNTUK MATI DENGAN TANGAN LU SENDIRI!"
"Tetapi, bukankah kamu yang membuat aku sengsara? Bukankah kamu
yang menghancurkan semangatku Gaharu? DAN DENGAN BERANINYA KAU TIDAK
MENGAMBIL TANGGUNG JAWAB ATAS TINDAKANMU SENDIRI GAHARU!?" bentak mereka kepada satu orang yang ketakutan – selain aku, Kahil dan Sudharmo.
"MEMANG BUKAN SALAH GUA! BUKAN TANGGUNG JAWAB GUA LU MATI, ANJING!"
bentak dia kepada kerumunan di hadapannya. "LU YANG NGAMBIL KEPUTUSAN,
LU YANG TANGGUNG JAWAB!"
"GAHARU..., MENGAKU ATAU MATI? MENGAKU ATAU MATI? MENGAKU ATAU MATI? MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...!"
"TIDAKTIDAKTIDAKTIDAK, TIDAK AKAN PERNAH FAHRIZI. GUA GA AKAN KALAH
SAMA ORANG RENDAHAN KAYAK LU. GUA ANAK JENDERAL, ANJING BANGSAT!
"GUA TAHU!" sahut Gaharu kepada orang-orang yang dirasuki oleh
Fahrizi. "DIA KAN PAHLAWAN LU?" tanya Gaharu sambil bergegas melangkah
ke arahku. "LU GA AKAN NGALAHIN GUA! GUA GA AKAN TUMBANG SENDIRIAN! GUA
BAKAL BAWA DIA BARENGAN SAMA GUA! PAHAM FAHRIZI!" bentaknya sambil
menahan aku pada lengannya.
"MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...,"
"Otniel!" teriak Kahil dan Sudharmo.
"Biarin!" bentakku. "Biarin, jangan lakukan apa-apa sampai aku panggil!"
"Lu emang bisa apa cecunguk!" bentak Gaharu tepat di sebelah
telingaku. "Lu bukan siapa-siapa anjing. Lu bukan siapa-siapa di gua, lu
bukan siapa-siapa di Arma, lu bukan siapa-siapa di kehidupan. Yang ada,
lu cuma tumbal untuk nyelamatin gua."
"Aku Otniel Sitohang."
Dia tidak menjawab apa-apa. Lengannya berbicara dengan menjepit
leherku erat. Tubuhnya panas sekali bos gara-gara darahnya yang kental
semenjak dia berdiri di depan pintu.
"KALIAN JANGAN MENDEKAT ATAU DIA AKU HABISI!" ancamnya.
Orang ini belum pernah mencabut nyawa orang dengan tangannya sendiri
dan dengan berani pamer. Fahrizi pun hilang dari kehidupannya gara-gara
dia bunuh diri, bukan gara-gara tangan Gaharu.
"MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...," ucap pasukan KO berjalan mendesak Gaharu mundur ke sayap barat koridor wisma, menjauhi ruang tengah.
Aku mencari peluang untuk melepaskan diri dari lengannya.
Kakiku aku jejakkan kepada salah satu lemari kamar temanku. Kita
berdua tumbang. Tetapi, dia masih memegang leherku pada lengannya.
Setidaknya, arah kita berubah.
Para bocah boneka Fahrizi menutup jalan, mendesak kita ke dalam kamar salah satu rekan wisma 17.
"Kahil, Dharmo!" panggilku.
"Piye kami kesitu Oni!?"
"Cari ide lah. Manjat kamar yang lain kah atau apa!?"
Tanpa bertanya dua kali, mereka memanjat kamar-kamar lain dan menginvasi kamar yang ada di seberangku.
"Hilltop tendang aku!" bentakku.
"Gimana anjing! Lu kaga lihat ada lautan temen-temen kita ngehalangin
jalan? Dan, lu kapan bakal berhenti manggil gua 'Hilltop'!?"
"Ga akan."
"Aku sing urusin arek-arek! Kon ancang-ancang wae!" ucap Sudharmo.
Dia langsung bergegas memukul pingsan temen-temennya sendiri untuk
membuka jalan.
Sumpah itu orang cungkring tetapi, tenaganya boleh juga asem.
"Gua ga tahu rencana lu apa tetapi, gua ga bisa biarin lu tetap sadar," ucap dia mengetatkan lengannya.
Manusia bajingan ini ingin membuatku pingsan bos. Kahil cepat ambil ancang-ancang mu bangsat!
(Bugh!) suara pertemuan antara telapak kaki Kahil, dadaku, punggung Gaharu dan dinding di belakannya.
Tulangku cukup keras bos untuk bertahan dari tendangan Kahil walau, sebagian dari nafasku terpompa keluar.
Di sisi lain, lengan Gaharu mulai kendor. Aku menyelip kabur dari cengkramannya.
Dia berusaha meraih bahuku. Tetapi, aku menangkap lengannya. "Kau ga
pantas untuk mendapat sepeser hormat, bocah manja!" ucapku seiring aku
mengirimkan keninggku secepat 0,5m/s – estimasiku – kepada batok
kepalanya. Bagian rambutnya menghantam kaca hingga retak.
Namun, kaca itu kembali kepada kondisi semula, mendorong kepalanya kembali tegak. Sepertinya itu kerjaan Fahrizi.
Dia masih memaksakan untuk menerjang aku. Maka, aku membalas dengan tunjangan tepat di ulu hatinya.
Akhirnya dia tumbang.
Aku dan Kahil mundur kepada posisi Sudharmo yang terdesak di ujung kamar dia sendiri.
"Kau ga apa-apa?"
"Piye aku ra po po!? Aku baru wae ngegebukin temen-temen sendiri asu! Keadaan iki pun ra jelas jancuk! PIYE AKU RA PO PO!?"
Kemudian, beberapa bocah yang digerakan Fahrizi untuk mendesak kami berbalik badan.
Kejutan hari ini masih belum selesai bos.
Seiring boneka Fahrizi menjauh, sebuah ledakan suara muncul dari arah pintu timur.
Kita bertiga, yang sudah mulai muak dengan kejutan malam ini mengintip dengan perasaan bercampur aduk bagai permen Nano-Nano.
"Kalian tidak apa-apa!" sahut suara familiar itu.
"Komang!" teriak aku. "Kok bisa!?"
"Aku juga, tidak begitu mengerti," balas dia dengan logat Balinya.
"Yang aku tahu, aku terbangun di klinik siswa bersama mereka."
"Iya, bener," sahut salah satu rekan wismaku yang bersama Komang.
"Itu me...,"
Kita semua tidak sempat menyelesaikan perbincangan kita. Mata kita
semua terpukau memandang apa yang baru saja terjadi di hadapan kita.
Sebuah pertir muncul dari soket lampu yang pecah dan menyambar ke
tengah ruangan yang dikerumuni oleh boneka Fahrizi. Petir itu menyambar
tepat di posisi Gaharu tumbang.
Setelah itu, rekan-rekan wisma kami menyusul tumbang.
"Bagaimana ini bisa terjadi Oni?"
"Aku ga tahu juga tapi, kayaknya kita baru saja menyaksikan kerasukan massal di wisma kita."
***
"Kalian masih kuat?" tanyaku kepada mantan residen klinik.
"Capek gua anjing...!" balas salah satu rekan wismaku sambil melipat punggungnya.
"Masih ada sepuluh lagi, kita harus taruh mereka balik ke kasur masing-masing!" ucapku berusaha meningkatkan semangat mereka.
"Lu kecil tapi, kuat uga," ucap Kahil padaku.
"Dua badan 50 kiloan masih ringan. Masih beratan ngangkat beras bos."
"Sombong kon!" balas Sudharmo.
Walaupun, aku berguyon dengan sembilan rekan wismaku. Aku masih tidak
bisa mengabaikan Gaharu yang terbaring di atas permukaan lantai.
Aku langsung bergegas ke arah Gaharu setelah meletakan dua badan rekan wismaku di kamar mereka.
Aku membalik Gaharu dan meletakkan telingaku pada dadanya.
Tahi.
"Kahil, Dharmo, Komang! Bantu aku mengangkut Gaharu ke tengah ruangan!"
"Kenapa memangnya Ni?" tanya Komang.
"Jantung dia engga berdetak," ucapku panik.
"Jadi, kita gimana jir!?" sahut Kahil.
"Kalian ambil gunting, cepat!"
Aku ga tahu cara CPR lagi. Ah..., Otniel pakai ilmu yang kau tahu!
Kekuatan mentah.
Aku tidak tahu cara lain atau taktik lain untuk membangunkan keparat ini. Tidak ada waktu untuk berpikir dua kali.
Kedua telapak tanganku aku tutup dengan ikatan masing-masing jariku dan aku hantamkan tepat di lokasi umum jantung manusia.
Bangun, Gaharu bangun. Aku tahu kau manusia terk*nt*l sedunia tetapi, aku tidak mau ada masalah di wismaku.
"Noh gunting," sampai Dharmo kepadaku sambil menyodorkan barang yang aku minta.
"Komang, seret badan Gaharu ke ruang setrika. Minta bantuan Kahil kalau bisa."
Aku bergegas ke ruang setrika terlebih dahulu.
Seingatku, orang-orang rumah sakit memakai listrik untuk membantu
detak jantung orang. Persetan mereka memakai alat khusus. Listrik tetap
listrik.
Aku membelah kabel salah satu setrikaan yang tersedia sepanjang
lengan bawahku. Lalu, aku mengulitinya dan membagi dua kabel tersebut,
arus masuk dan arus keluar.
"Buka bajunya!"
"Lu homo apa?" ucap Kahil.
"Ga ada waktu bercanda anjing, ini nyawa orang goblok!"
"Santuy sih," balas dia risih sambil membuka kaos olah raga yang dipakai Gaharu.
Aku mempertemukan kedua ujung kabel untuk memastikan keberadaan arus. (Zzzt), ada.
"Tuhan berhasil Tuhan," ucapku seiring menempelkan kedua kabel pada jantung Gaharu.
Badannya bergetar tetapi, belum ada tanda-tanda kehidupan.
Percobaan kedua.
Gagal.
Percobaan ketiga.
Gagal.
Percobaan keempat.
Gagal.
"BANGUN BANGSAT!" teriakku sambil menghantam jantungnya sekali lagi dengan kedua tanganku.
"Hhaahhh...,"
Akhirnya si bajingan bangun juga.