Rabu, 23 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos.

Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat dingin di punggungku tidak membantu asem.

Wajahku terasa diiris oleh tatapan seorang ayah yang sedang mengamuk.

Perntanyaanku, kenapa aku sendiri yang kena bos!?

Aku kira Gaharu bakal tanggung sendiri buat menghadap ke bapaknya soal insiden di wismaku.

Dia bawa dua kawannya juga tidak membantu bos. Mereka cuma duduk terdiam menatap meja kopi ruang wakil kepala sekolah pula.

Pak wakil kepala sekolah bagian kesiswaan, aku mohon segera buka pertemuan ini.

***

"HHHaaahhh!!!"

"Akhirnya bangun juga kau bos?"

"ARRGGHH!!!"

"Jangan gerak sembarangan!" bentaku sambil menekan kakiku pada leher Gaharu.

"Mmpph!"

"Kau tahu apa yang baru terjadi tadi? Fahrizi baru saja membunuhmu dengan menghentikan jantungmu."

Dia hanya menatap marah.

"Kita bertiga baru saja bangkitin kau dengan modal kabel setrikaan. Aku ga mengharapkan terima kasih tetapi, setidaknya kau diam dan mendengarkan. Paham!"

"Jauhin muka lu dari muka gua! Ga sudi gua anjing sejarak dengan lu!"

"Aku mendekat untuk memastikan kau paham dan mendengarkan kata-kataku dengan baik. Tidak ada sepeser sel di tubuhmu yang pantas untuk dihormati."

Aku sudah menebak reaksi dia akan seperti ini, meledak dengan warna merah.

Lah, kenapa dia perlahan membiru.

Aku melepaskan kakiku seiring dia menghantamnya.

"Kahil, Dharmo, paksa dia berbaring!"

Sepertinya ada masalah di jantung dia. Aku harus memeriksa.

Detaknya tidak benar lagi. Aku harus melakukan sesuatu.

Kekuatan mentah, kau tidak mengecewakan aku di awal, jangan buat aku kecewa sekarang.

Satu, dua, (bugh!).

"HHhhaaahhh! Lu apain jantung gua bangsat!"

"Ini bukan ulahku bos. Kalau aku menebak ini dampak dari yang telah dilakukan oleh Fahrizi."

"Lu ngapain bawa-bawa nama bangsat itu anjing."

Orang ini baru diam kalau akau tampar dulu asu! (Prak!)

"LU GA ADA HAK BUA...,"

Tangan tidak ada efek. Batok kepala mungkin lebih efektif, (BUGH!)

"AKHIRNYA KAU DIAM HAH!? Sekarang dengarkan baik-baik. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di wisma ini. Bahkan, dua penjilat silitmu juga, jadi korban. Kau mau menyangkal sebagaimana pun ga ada guna. Kita semua bakal dipandang sebagai orang gila kalau kita cerita. Benar tidak!?"

Mana nyalimu bos. Kau sudah menyombongkan kuasamu di awal tetapi, setelah mendengar argumen logis kau diam? Sumpah, anak manja satu ini ngeselin asem.

"Fahrizi sudah mendapat kedamaiannya dengan upaya dia membunuhmu dengan sambaran dari soket bohlam. Kau selamat tapi, kau dapat komplikasi jantung. Ini yang disebut konsekuensi yang setara, kau paham?"

"APANYA SETARA ANJING!!?? GU..., ARGH!"

"Itu setara buat lu," sahut Kahil.

"Kalau kau sudah paham. Aku bakal terusin. Aku ga minta banyak. Kau tetap terusin tugas kau sebagai panor, divisi orientasi. Kau mau main bantai atau apa...,"

"Oni, Oni, Oni sek...," panggil Sudharmo. "Kon yakin, arek iki mau kon bebasin wae. Nanti kalo dia ngasal lagi di meja makan piye cuk?"

"Bos, kalau kau paksa dia untuk baik doang ke wisma kita, apa ga curiga panor yang lain?"

Sudharmo diam memikirkan kata-kataku.

"Aku lanjutkan, kau mau main bantai, terserah. Yang aku mau sederhana, aku mau melalui orientasi ini. Itu saja. Panitia lain mau melempar apa, terserah.

"Tetapi, insiden ini bakal ngundang pertanyaan dari guru dan pisma. Aku gatau bagaimana caranya, kau harus cari cara supaya mereka bisa buang muka dari insiden ini. Kau bisa?"

"Ngapain gua dengerin lu anjing! Gua bisa ngerusak hidup lu dengan satu telfon ke bokap gua! Emang lu siapa anjing!"

"Aku sudah bilang berkali-kali ke muka kau. Aku Otniel Sitohang. Aku gausah bawa-bawa bapak karena aku tahu, sejak aku hidup di sini, aku bertanggung jawab terhadap tindakanku sendiri.

"Bisakah sekali saja, kau tidak manja, bergantung sama bapak kau dan tanggung jawab sendiri. Juga, kalau kau lapor bapak. Kau mau bilang apa? Hm? Kau patroli sama abang-abang non-panitia? Menurutmu, sekolah bakal bilang apa? Gausah jauh-jauh dah. Bapakmu bakal bilang apa anjing?"

Dia terdiam.

Jelas dia terdiam. Kasus ini tidak seperti, kasus Fahrizi yang dia menanam barang bukti palsu juga, bukan dia yang terlibat sendiri. Saat itu Fahrizi dan Gaharu hanya satu lawan satu sehingga, dia bisa memalsukan pengalaman dia.

Sekarang ada dua orang yang dia harus tanggung. Aku yakin bapaknya tidak mau menanggung dua orang tanpa nama.

"Kau ga bisa bilang apa-apa kan? Ya sudah, kau pikirkan alibi bagaimana, aku tunggu hasilnya.

***

"JADI! ADA YANG MAU MENJELASKAN MENGAPA ANAK SAYA TIBA-TIBA MENDAPATKAN KOMPLIKASI JANTUNG GARA-GARA PATROLI DOANG!?"

ITU YANG KAU BILANG KE BAPAKMU KAH GAHARU! ARGGHHHH! GOBLOOKK!!!

KAU TIDAK LIHAT KAH URAT MATA DIA HAMPIR MEMBOCORKAN DARAH SAKING MARAHNYA!!!

"Pah, biar saya yang menje...,"

"ENGGA, SAYA MAU DENGAR DARI PIHAK SEKOLAH TERLEBIH DULU! JELASKAN PADA SAYA!"

"Dengan segala hormat Mayjen Amarullah," sambut wakil kepalas sekolah kesiswaan. "Anak bapak adalah tanggung jawab saya merupakan fakta. Namun, anak anda juga memilih sebagai panitia orientasi para kelas 1. Saya mengundang ananda Otniel di sini karena dia siswa yang diajukan oleh ananda Gaharu sebagai untuk menjamin satusnya."

"BENARKAH ITU!"

"Siap, benar pak!"

Ahhh!!! Aku ga suka berbohong. Aku bisa merasakan lidahku jadi pahit pula. Bangsat kau Gaharu!

"TERUS, MEREKA BERDUA!?"

"Aku bisa menjelaskan Pah...,"

"GA PERLU, SEPERTINYA SAYA TAHU! KALIAN PASTI PENYEBABNYA KAN? SAYA GA TAHU BAGAIMANA KALIAN BISA MEMBERIKAN KOMPLIKASI JANTUNG KE ANAK SAYA TETAPI, PASTI GARA-GARA KALIAN!

Hhhhaah, sebuah alibi mentah jatuh ke atas paha aku dan Gaharu.

Mata dua penjilat Gaharu membengkak terkejut mendengar kata-kata Mayjen Amarullah.

"KALIAN BERUSAHA MENYUSUP KE WISMA ANAK INI, BARU KALIAN KETAHUAN ANAK SAYA!? JADI, HARUSKAH ANAK SAYA KALIAN BUAT JADI SEPERTI INI!? KARENA DIA MERUSAK RENCANA KALIAN, KALIAN MENCABUT KESEMPATAN DIA UNTUK KE AKADEMI!?"

"Bukan seper...," sahut salah satu kroni Gaharu.

"SAYA GAMAU DENGAR! KALIAN BERSIAP SAJA UNTUK MASA DEPAN KALIAN! PAHAM! YANG SAYA TAHU, KALIAN GA AKAN MELANJUTKANNYA LEWAT SEKOLAH INI!!!"

***

"Jadi bagaimana Oni?" tanya Komang dengan menopang kepalanya di atas sandaran kursi.

"Mau kau bagaimana? Seindah pelangi? Seramai nano-nano?"

"Cuk, sabar wae le, ra usah ngegas. Iki tak bukain jendela ne biar kon ra stres."

"Ahh..., setidaknya permasalahan Gaharu udah selesai bos. Aku ga mau mikirin lagi dah. Aku stres gara-gara mikirin hantu doang asu!"

"Tapi, setidaknya kamu menyelamatkan teman-teman wismamu Oni."

"Jujur bos, walaupun aku ngobrol dengan kalian, aku masih belum ngategorikan kalian sebagai teman."

"Anjing juga lu."

"Bukan gitu. Itu hanya karakterku bos. Kita kerja sama dan dekat gara-gara kita lagi menghadapi situasi genting. Tetapi, kalau situasinya berubah bagaimana?"

"Berubah piye?"

"Kalau karena kepribadianku yang frontal kalian merasa risih baru pura-pura ga kenal? Aku belum ada jaminan untuk itu bos."

"Ta...,"

"Aku ga yakin dengan kata-kata bos. Aku percaya aksi berbicara lebih daripada mulut kalian. Aku mempercayai Kahil dan Sudharmo untuk menanyakan informasi ke Pak Hadi karena aksi kalian sudah berbicara. Tapi, itu karena tekanan dari Fahrizi.

"Aku hanya menunggu ke depannya bagaimana bos."

"Yo wes kalo kon mikir gitu asu!" ucap Sudharmo kesal. Dia langsung melompat dari kasur Kahil meninggalkan kamarku.

"Gua, jujur ga suka ama kata-kata lu. Tapi, gua ga bisa bilang lu salah Ni."

"Kamu yakin Oni dengan kata-katamu?"

"Aku ga akan narik kata-kataku Mang. Lebih baik aku jujur di awal sebelum aku berakhir menyakiti orang di akhir."

"Kamu ga salah sih untuk itu. Hanya, setidaknya kata-katanya bisa diubah dikit atau bagaimana?"

"Ga, ga ada perubahan bos."

"Ok."

"Ngomong-ngomong, cara kau bebas dari Fahrizi gimana bos?"

"Aku sendiri ga tahu juga Oni. Tiba-tiba aku terbangun begitu saja."

"Kau ga ada dengar apa-apa gitu atau ada jejak lain gitu yang dia tinggalin?"

"Engga..., eh, aku ingat dia bilang sesuatu. Dia bilang "Aku tidak memerlukan kalian lagi", semacam itu."

"Hm, okelah. Yang pasti, dia sudah mendapatkan penutup kasusnya."

Langit sore ini indah juga ya. Warna oranyenya menenangkan aku dari stres di ruangan tadi.

Selasa, 22 September 2020

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Bab X

 

Semuanya sakit bos.

Aku hanya bisa mengerang, terbaring di atas kasurku sambil memegang kepalaku yang pening. Padahal, aku tahu jelas itu tidak membantu apa-apa. Ditambah, seluruh tubuhku sakit semua gara-gara kegiatan ekstrakulikuler dari Gaharu.

Aku menghela nafas seakan-akan semua penyakitku ada pada hembusan itu.

"Lu kenapa Oni?" sahut Kahil mengintip dari kasur bawah.

"Badanku sakit semua bos. Ah..., saking sakitnya aku ga kepikiran buat membalas kau dengan komentar sarkas."

"Haha..., lu sih punya muka ngeselin."

"Tahi kau."

Walaupun, aku sedang berbincang dengan Kahil, kepalaku berada di tempat lain. Aku masih memikirkan kawan-kawanku yang terbaring dan tertancap selang infus di klinik siswa.

Aku masih belum menemukan solusi untuk membangunkan mereka.

Ada lagi masalah lain. Kahil dan Sudharmo sudah memberikan aku solusi untuk menyelamatkan mereka yaitu, untuk membuat Gaharu mengakui kesalahannya di dalam wisma ini.

Tetapi, aku sampai sekarang tidak menemukan cara untuk mengundang Gaharu ke wisma ini tanpa membuat dia curiga.

Aah! Semakin aku berpikir semakin aku tidak menemukan apa-apa. Kejadian yang familiar.

Mungkin aku melakukan kegiatan lain dulu, sesuatu akan muncul di dalam otakku.

"Mau ke mana lu?"

"Kencing baru nyetrika. Kau mau ikut?"

"Ngapain anjing!" balas Kahil risih.

Aku meninggalkan kamarku dan berangkat ke kamar mandi melalui koridor wisma.

Kepalaku penuh pikiran, badanku sakit semua namun, aku masih menyisakan ruang dalam diriku untuk merasakan ketakutan terhadap apa yang akan aku lihat di kamar mandi nanti.

Pemandangan yang aku lihat akan lebih parah daripada melihat kuntilanak atau pocog lewat.

Aku belum menaruh satu langkah kaki dan aku sudah melihat siluet beberapa bocah-bocah wisma berlalu-lalang di dalam koridor kamar mandi. Dan, yang aku tahu pasti, siluet itu tidak menandakan bocah-bocah di dalam mengenakan kaos sama sekali.

Saat aku masuk, aku benar-benar ingin merobek mataku dari tempatnya bos.

Satu bulan, hanya perlu satu bulan untuk para bocah-bocah yang datang dari kota untuk melepas rasa malu mereka dan membuangnya ke dalam toilet.

Aku mendapati lima orang yang baru saja mandi setelah belajar malam. Mereka berlaga seperti tidak ada yang salah pada situasi ini. Handuk mereka tidak digunakan untuk menutupi bagian yang seharusnya ditutupi tetapi, mereka menggunakannya di kepala untuk mengimitasi PKP.

Bagaimana aku bisa merasa aman jika, aku dipaksa memandang hutan rimba berkenalan satu sama lain.

Aku bergegas ke kamar mandi untuk melepas urin yang sudah aku tabung semenjak belajar malam.

Setelah, aku selesai mengurus, ehem, bisnis, aku melanjutkan dengan menyeterika bajuku. Aku menyempatkan untuk mengambil seragam untuk hari esok lalu, membawanya ke ruang tengah.

Persis di sebelah musholla wisma, empat meja setrika tertata rapih pada dinding dan di tahan oleh empat setrika pasangannya.

Aku mengambil salah satu perlengkapan setrika itu dan mempersiapkan bajuku untuk esok.

Tuntutan kedisiplinan Arma ribet bos. Kita diberikan ketentuan untuk membuat skema garis-garis tertentu ketika menyetrika baju. Aku merasa sedang melakukan perencanaan tata kota setiap kali aku melakukan ini.

AHH!!! Belum ada bayangan rencana yang muncul untuk memenuhi kasus ini bos!

(Brak!)

"ARGH!!!"

Aku reflek menghantam meja setrikaan yang ada di depanku. Juga, tanpa sengaja menjatuhkan setrikaannya.

Setrikaan itu mendarat tepat di jempol kaki, membentuk garis dari kulit yang matang.

Sakit asu! Kenapa aku segoblok ini bos!?

Aku langsung berlari ke keran wudhu yang ada di samping kamar mandi wisma dan membasahi kakiku. Proses matangnya kulitku harus aku hentikan dengan air dingin.

Sakit ini akan terasa selama satu minggu.

Saat aku akan kembali ke dalam wisma, salah seorang rekan wisma menyahut kepadaku dengan memasang wajah kebingungan nan serius. "Ni, tadi ada paan?"

"Hm..., oh, aku ga sengaja jatuhin setrikaan tadi. Kakiku jadi korban jing. Noh, ada garis di kakiku cuk," balasku sambil menyodorkan kakiku yang basah.

"Paan sih!" balas dia menahan ketawa. "Gua kira ada apaan jir."

"Yaud. Aku lanjut nyetrika dulu."

"Iyeh," balas dia meninggalkan ruang tengah.

Aku melanjutkan kegiatan setrikaku setelah itu.

***

Aku tidak bisa tidur bos!

Aku lelah namun, seluruh sel dalam tubuhku berteriak habis-habisan karena kesakitan, menahan aku untuk tetap bangun.

Mataku perih karena sudah tidak tahan aku buka terlalu lama. Aku bisa merasakan membran mataku retak secara perlahan, didorong oleh pembuluh darah halus yang memaksa untuk membawa oksigen ke pupilku.

Mungkin kalau aku ganti posisi aku bisa tidur kali.

Aku menegakan badanku dan menggantungkan kaki pada tangga kasur tingkat. Aku berharap pada posisi ini aku bisa tidur.

Aku hanya menatap kepada kegelapan di balik pelupuk mata.

Seluruh indera yang ada di permukaan kulitku masih merasakan lingkungan di sekitarku. Anak-anak yang masih tetap bangun berbincang satu sama lain. Udara malam Magelang yang mulai lembab sampai, aroma kentut yang dilepaskan Kahil saat dia tidak sadar.

Enak kali kau ngelepas angin tanpa dosa.

Aku menyangka setidaknya aku bisa pingsan gara-gara Kahil. Namun, tubuhku tidak mengizinkannya.

Sudah berapa lama aku berpose seperti ini. Aku mendengar suara jam di atas meja belajarku tetapi, aku tidak tahu lengannya menunjuk pada pukul berapa.

Tidurlah Oni, tidurlah.

Siapa tahu, mimpiku akan memberikan rencana agar aku bisa mengundang Gaharu masuk ke wismaku.

Kalau aku membuat masalah di meja makan, dia akan menghukumku ditempat.

Aku bertingkah di lapangan apel, dia juga mengambil keputusan sanksi di tempat.

Kemungkinan, yang paling buruk, dia akan menyeret satu angkatanku untuk menanggung 'kesalahan' yang aku sengaja untuk mengumpan dia.

Pikir Oni, pikir.

Kalau..., mungkin aku bisa bertingkah di sini. Berlaga di area yang cukup jauh dari wisma 17 tetapi, tidak mengundang masalah ke wisma kelas 1.

Aku sebaiknya membiarkan ide mengalir dengan sendirinya selama aku menutup mata.

Tunggu sebentar..., sesuatu tertangkap oleh telingaku. Ada seseorang yang melangkah dari tengah-tengar ruangan.

Mengapa dia memakai sepatu? Aku tidak ingat ada rekan-rekan wismaku yang pulang telat dari kelas, ataupun yang baru balik dari klinik siswa.

Komang dan yang lain masih terbaring ditopang oleh infus.

Jadi, ini siapa?

Aku membuka mataku sebagian.

Hm..., ini siapa? Dia memakai jaket hitam namun, jaket ini bukan jaket dinas ataupun jaket parasut. Ini hanya jaket hoodie biasa berbahan kain. Celana yang dia pakai celana seragam harian. Dan, kenapa dia pakai boot?

Sebaiknya aku tetap memperhatikan dia.

Orang ini memindai area meja belajarku, dari permukaan meja itu sendiri hingga, ke laci tempat aku menyimpan buku. Apa yang dia cari?

Hei..., dia mengambil sesuatu dari kantong hoodie-nya. Botol apa itu?

Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu..., aku sepertinya kenal situasi ini. Aku mungkin tidak ada untuk mengalami pengalaman Fahrizi. Namun, aku tahu pasti ini yang sedang aku alami.

Gaharu berusaha untuk menanam sesuatu di laci lemariku.

Bos, terkadang aku merasa kesal gara-gara tidak semua bisa berjalan sesuai rencanaku. Tetapi, kadang aku merasa sedikit bahagia, beberapa kejadian menguntungkan aku.

Kejadian ini salah satunya.

Dia membuka laci bukuku. Aku mencuri kesempatan ini. Seluruh tenaga aku alihkan kepada kakiku walau, badanku kesakitan. Aku menendang kepala orang ber-hoodie itu hingga, kepalanya menghantam kepada sekat kayu yang menopang buku-buku pelajaranku. (Brak!)

"Hha!" teriak Kahil yang terbangun tiba-tiba.

Dia bergegas berdiri dan melempar selimutnya ke arah dinding. Dia mendapati seseorang pingsan di atas lantai kamar.

"Oni, ini siapa anjing di lantai kita?"

"Gatau juga bos. Coba kau balik lah."

"Kenapa ga lu?"

"Bos, biar ga debat kusir aku kasih tahu dah. Kayaknya dia kirimannya Gaharu dah."

"Mmhh...,"

Kahil dengan enggan membalik orang yang baru saja ku tumbangkan.

"Dia abang?" tanya Kahil.

"Cek, dia bawa dompet atau apa kah?"

Kahil menepuk setiap kantong yang ada di pakaian korbanku. Dari celana hingga, kaos yang dikenakan oleh orang itu.

Tidak ada apa-apa yang bisa membantuku untuk mengidentifikasi orang itu berdasarkan gelengan kepala Kahil.

"Kita bangunin para bocah kah?"

"Lu aja. Gua jagain ni orang."

"Aku bangunin Dharmo dah, biar dia bantuin aku bangunin yang lain. Nanti, kita urus dia di ruang tengah."

Kahil hanya memberikan jempol.

Bos, badannya Kahil sudah cukup memblokir seluruh pintu kamarku. Aku tidak perlu khawatir jika penyusup itu akan kabur.

Aku berjalan ke kamar Sudharmo yang berada persis di sebelah musholla. Kamar dia terlihat jelas dari ujung koridor karena diterangi oleh lampu hijau remang.

Rekan kamarnya menggunakan night-light untuk membantu dia tidur.

Aku memanjat tangga kasur tingkat Sudharmo lalu, mencubit dia tepat di pinggang. Aku berpikir dia akan terbangun jika, bagian paling rentan setiap orang aku serang.

"Mo, bangun cuk!"

"WHHAA! JANCUK KAGET AKU ASU!" ONO Op...,"

Aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Lalu aku menempelkan telujukku, menyilang seiring aku menghembuskan "Shhh..."

"Ikut aku bos. Dan jangan bersuara terlalu keras. Aku yakin Gaharu ngawasin wisma kita."

Sudharmo hanya membalas dengan dahinya yang mengeriput bagai buah yang sudah teroksidasi.

"Aku wes turu lagi cuk!" balas dia kesal.

"Woi bangsat! Si Kahil nungguin anjing di kamar kita. Kita berdua lagi nahan orang di situ dan aku yakin dia kiriman Gaharu. Lebih baik kau ikut aku dah biar kau percaya."

"Yo wes, yo wes..."

Aku meninggalkan kamar Sudharmo dan disusul olehnya.

Saat aku sampai lagi di kamarku, aku berupaya menahan tawa sombong. Wajah Sudharmo terlihat seperti dia akhirnya menemukan makhluk mitos Jawa tepat di dalam kamarku.

"Kon beneran cuk? Iki beneran abang?"

"Aku tidak tahu ini beneran abang atau bukan. Tetapi, dari satu angkatan kita kan tidak ada yang boleh memakai baju bebas selama orientasi bos. Juga, kau sudah pernah ketemu abang ini kah di meja makan?"

"Ora sih."

"Aku pun belum pernah ketemu orang ini bos. Kita juga disuruh sama panitia orientasi kalau kita ga boleh ngobrol sama abang non-panitia kan?"

"Iya juga sih.

"Jadi, piye kon mau ne?"

"Bangunin satu wisma. Kita interogasi sebelum kita manggil pisma."

"Yo wes, tak bangunin sing arek-arek lain."

***

Sebaiknya gua mengawasi dari kejauhan, pertemuan bayangan dari atap wisma 18 dan pohon yang ada di tengah lapangan perbatasan antara kedua wisma bisa jadi kamuflase gua.

"Lu jangan tidur goblok!" teriak gua ke sahabat gua yang mulai mengantuk.

"Sori, sori Ru. Capek banget gua."

Sumpah, dua sahabat terdekat gua ga ada yang bisa diandalin. Gua ga ngerti kenapa hanya dua orang ini doang yang mau nempel sama gua.

Mereka berdua cuma jadi lintah kalau kaga bisa bantu gua.

Gua menatap pada jam di pergelangan tangan. Sahabat gua satunya kenapa belum keluar-keluar? Sudah 15 menit. Padahal dia cuma nanam..., menaruh barang di kamar cecunguk itu.

Gua memaksa mata gua untuk fokus kepada kaca wisma 17 walau, tidak ada cahaya.

Perlahan-lahan mata gua mulai melihat jelas bayang-bayang yang ada di kaca. Gerak-gerik para cecunguk kelas 1 mulai terlihat.

Gua kaga bisa berkata apa-apa. Telinga gua berdengung dan kepala gua mulai terasa panas.

Kenapa sahabat gua, GOBLOK SEMUA!?

Yang nemenin gua, tadi nantangin pas di kamar mandi. Sekarang, yang gua minta bantuan untuk menanam bukti palsu di kamar cecunguk keparat itu, gagal untuk memuaskan gua.

Tiba-tiba lampu wisma mereka mulai menyala. Siluet dari cecunguk kelas 1 yang mondar-mandir koridor semakin jelas.

Satu set siluet mengikat mata gua. Dari kejauhan, gua ngira-ngira siluet itu terdiri dari tiga orang. Satu menuntun dari belakang dan satu siluet terlihat menuntun orang lain ke tengah ruangan.

GOBLOK!

Sahabat gua ketangkep sama kumpulan cecunguk keparat kaga bernama. Gua ga terima kekalah..., bukan, gua belum kalah sama mereka.

Gua harus turun tangan anjing!

"Woy bangun!" sahut gua sambil menabok sahabat gua yang mulai halu.

"Ah..., hhah. Kenapa Ru?"

"Kita barengan masuk."

Gua berjalan di balik bayangan langit malam, di atas rerumputan. Kalau, gua lewat koridor, gua bisa ketahuan sama pisma.

"Ada apa ini!" sambut gua setelah menendang pintu wisma mereka.

Mereka pada ngobrol satu sama lain dengan suara kecil, "Ada abang divor, ada abang divor woi!"

"Gua nanya, ada apa di sini woi!" bentak gua kesal.

"Siap, wisma kami dimasuki oleh abang non-panitia bang!" balas salah satu cecunguk yang memberanikan diri menjawab gua.

Gua menatap kepada kerumunan di belakang dia.

"Kalian semua minggir!" bentak gua.

Gua ga percaya sahabat gua segoblok ini.

Dia pingsan dan terduduk di tengah-tengah ruangan. Badannya ditopang oleh salah satu anak wisma 17. Anak curut itu gede banget jir.

***

"Sekali lagi gua tanya, ada apa ini!"

Berani kali kau bentak wismaku bangsat!

"Dengan segala hormat bang," sambutku. Aku berani jamin dia sudah memutuskan kalau aku nyolot. Persetan. "Bukannya dia teman wisma abang ya?"

Selama satu bulan dan dua minggu aku memperhatikan orang yang bernama Gaharu. Mekanisme karakternya tidak akan membiarkan dirinya untuk direndahkan oleh aku. Tetapi, dia juga harus menjaga image di hadapan anak-anak lain, selain wisma 17. Dilema yang sulit untuknya.

Sekarang yang mana yang akan kau pilih, Gaharu? Wajahmu memerah dengan garis kehijauan menghias pelipis karena penuh dengan amarah. Bukan karena rencanamu hancur tetapi, karena kau tidak tahan bahwa Otniel Sitohang satu langkah di depanmu – padahal cuma hoki.

Dia mengalihkan perhatiannya kepada residen wisma 17 selain aku.

Temannya hanya bisa terbengong. Sepertinya, dia juga kebingungan harus membuat alasan seperti apa.

Gaharu membuka mulutnya. Namun, dia tidak bisa berkata apa-apa.

"Oni...," sahut rekan wismaku. "Sekarang jam berapa?"

Ini orang beneran nanyain soal jam di depan senior yang hampir meledak?

"Mana tahu aku. Kita lagi ngehadapin abang cuk. Kau beneran nanya ini sekarang?"

"Bukan gitu, lu kaga ngeliatkah wisma kita semakin terang?"

"Kalian nyolot ya!?" bentak Gaharu kesal. "Berani-beraninya kalian ngomong sendiri di depan senior!"

Aku tidak menghiraukan dia. Mataku fokus pada lampu-lampu neon yang memberikan cahaya ke dalam wisma suram ini. Ada sesuatu yang tidak benar dengan terang ini, kecerahannya sangat janggal.

Tiba-tiba seluruh wisma terasa dingin. Aku mendengar angin berhembus di luar wisma tetapi, tidak ada angin yang masuk ke dalam.

Kaca-kaca yang ada pada masing-masing kamar mulai bergetar.

Sebuah dentuman kencang menggetarkan udara di belakang Gaharu dan temannya. Pintu wisma kami tertutup.

"Ada, ada apa ini!" bentak dia. "Ini rencana kalian!? Kalian mulai berani sama senior padahal bukan siapa-siapa hah!?"

Dia berlari untuk membuka pintu itu.

Tidak ada gunanya. Gagang yang dia usahakan untuk dibuka bahkan, dengan berat badannya tidak mau bergerak.

Lampu-lampu wismaku tidak tahan lagi untuk menopang energi dari cahaya yang dikeluarkan. Mereka meledak dan mengirimkan setruman kepada bagian tertinggi masing-masing meja belajar siswa.

Semua menjadi gelap gulita.

"Oni! Ono opo iki le!" sahut suara Sudharmo dari balik kegelapan.

"Fahrizi...," balasku terpukau.

Sepanjang umur aku hanya pernah merasakan konsekuensi dari makhluk-makhluk spiritual. Namun, ini pertama kali aku melihat mereka beraksi dengan mata kepala sendiri walau, aku tidak melihat pelakunya.

"Suara apa itu?" tanya Kahil.

Aku tidak menjawab. Kegelapan ini mempersulit aku untuk memahami situasi di sekitarku. Aku tidak menjawab Kahil karena aku tidak tahu. Aku tidak menjawab karena aku takut aku benar.

Pandanganku perlahan mulai menyesuaikan dengan kegelapan. Tidak, cahaya perlahan muncul dari luar kaca membantu aku melihat wisma 17.

Para bocah wisma 17 telah jatuh pingsan ditambah teman Gaharu.

Hanya aku, Kahil, dan Sudharmo serta, Gaharu yang masih berdiri dan sadar.

"Oni..., mending kita kabur le! Aku ra ngerti opo sing terjadi iki. Perasaanku ra enak asu!"

"Kalaupun kita kabur, kau mau keluar dari mana cuk! Kau lihat tadi si Gaharu mau buka pintu ngga bisa? Bahkan, sampai pakai badannya pun tidak terjadi apa-apa!?"

"Lu berani banget ya kaga manggil gua pak...,"

"Bacot kau babi!" bentakku ke Gaharu. "Aku tinggal di daerah hutan dan teman-temanku rata-rata preman. Jangan kau bicara soal respect di hadapanku anjing! Tidak ada satu sel dari tubuhmu yang pantas dihormati paham!"

"CECUNGUK GA TAHU TERIMA KASIH!" teriaknya sambil mengambil satu langkah ke arahku.

Namun, langkahnya terhenti karena kemunculan erangan yang menggetarkan udara.

Seluruh bocah wismaku yang sebelumnya pingsan tiba-tiba berdiri sendiri. Mereka tidak menunjukan adanya tanda-tanda kesadaran. Aku tidak bisa melihat pupil mereka hanya, putih dari mata mereka.

Hal yang sama pun terjadi pada kedua teman Gaharu.

"Gaharu..., masih ingat aku," ucap mereka semua.

"Oni, ini apaan jir!" teriak Kahil.

"Aku udah bilang ini bukan ulahku pula!"

"Kapan lu bilang anjing!"

"Pas gua nyebut nama Fahrizi."

Gaharu hanya bisa memberikan wajah penuh kebencian kepada satu orang. Satu orang yang memakai tubuh teman-temanku untuk menyelesaikan urusan terakhirnya.

"Lu sudah mati, lu sudah mati, LU SUDAH MATI! LU KAGA BISA SALAHIN GUA! LU SENDIRI YANG MILIH UNTUK MATI DENGAN TANGAN LU SENDIRI!"

"Tetapi, bukankah kamu yang membuat aku sengsara? Bukankah kamu yang menghancurkan semangatku Gaharu? DAN DENGAN BERANINYA KAU TIDAK MENGAMBIL TANGGUNG JAWAB ATAS TINDAKANMU SENDIRI GAHARU!?" bentak mereka kepada satu orang yang ketakutan – selain aku, Kahil dan Sudharmo.

"MEMANG BUKAN SALAH GUA! BUKAN TANGGUNG JAWAB GUA LU MATI, ANJING!" bentak dia kepada kerumunan di hadapannya. "LU YANG NGAMBIL KEPUTUSAN, LU YANG TANGGUNG JAWAB!"

"GAHARU..., MENGAKU ATAU MATI? MENGAKU ATAU MATI? MENGAKU ATAU MATI? MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...!"

"TIDAKTIDAKTIDAKTIDAK, TIDAK AKAN PERNAH FAHRIZI. GUA GA AKAN KALAH SAMA ORANG RENDAHAN KAYAK LU. GUA ANAK JENDERAL, ANJING BANGSAT!

"GUA TAHU!" sahut Gaharu kepada orang-orang yang dirasuki oleh Fahrizi. "DIA KAN PAHLAWAN LU?" tanya Gaharu sambil bergegas melangkah ke arahku. "LU GA AKAN NGALAHIN GUA! GUA GA AKAN TUMBANG SENDIRIAN! GUA BAKAL BAWA DIA BARENGAN SAMA GUA! PAHAM FAHRIZI!" bentaknya sambil menahan aku pada lengannya.

"MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...,"

"Otniel!" teriak Kahil dan Sudharmo.

"Biarin!" bentakku. "Biarin, jangan lakukan apa-apa sampai aku panggil!"

"Lu emang bisa apa cecunguk!" bentak Gaharu tepat di sebelah telingaku. "Lu bukan siapa-siapa anjing. Lu bukan siapa-siapa di gua, lu bukan siapa-siapa di Arma, lu bukan siapa-siapa di kehidupan. Yang ada, lu cuma tumbal untuk nyelamatin gua."

"Aku Otniel Sitohang."

Dia tidak menjawab apa-apa. Lengannya berbicara dengan menjepit leherku erat. Tubuhnya panas sekali bos gara-gara darahnya yang kental semenjak dia berdiri di depan pintu.

"KALIAN JANGAN MENDEKAT ATAU DIA AKU HABISI!" ancamnya.

Orang ini belum pernah mencabut nyawa orang dengan tangannya sendiri dan dengan berani pamer. Fahrizi pun hilang dari kehidupannya gara-gara dia bunuh diri, bukan gara-gara tangan Gaharu.

"MENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATIMENGAKUATAUMATI...," ucap pasukan KO berjalan mendesak Gaharu mundur ke sayap barat koridor wisma, menjauhi ruang tengah.

Aku mencari peluang untuk melepaskan diri dari lengannya.

Kakiku aku jejakkan kepada salah satu lemari kamar temanku. Kita berdua tumbang. Tetapi, dia masih memegang leherku pada lengannya. Setidaknya, arah kita berubah.

Para bocah boneka Fahrizi menutup jalan, mendesak kita ke dalam kamar salah satu rekan wisma 17.

"Kahil, Dharmo!" panggilku.

"Piye kami kesitu Oni!?"

"Cari ide lah. Manjat kamar yang lain kah atau apa!?"

Tanpa bertanya dua kali, mereka memanjat kamar-kamar lain dan menginvasi kamar yang ada di seberangku.

"Hilltop tendang aku!" bentakku.

"Gimana anjing! Lu kaga lihat ada lautan temen-temen kita ngehalangin jalan? Dan, lu kapan bakal berhenti manggil gua 'Hilltop'!?"

"Ga akan."

"Aku sing urusin arek-arek! Kon ancang-ancang wae!" ucap Sudharmo. Dia langsung bergegas memukul pingsan temen-temennya sendiri untuk membuka jalan.

Sumpah itu orang cungkring tetapi, tenaganya boleh juga asem.

"Gua ga tahu rencana lu apa tetapi, gua ga bisa biarin lu tetap sadar," ucap dia mengetatkan lengannya.

Manusia bajingan ini ingin membuatku pingsan bos. Kahil cepat ambil ancang-ancang mu bangsat!

(Bugh!) suara pertemuan antara telapak kaki Kahil, dadaku, punggung Gaharu dan dinding di belakannya.

Tulangku cukup keras bos untuk bertahan dari tendangan Kahil walau, sebagian dari nafasku terpompa keluar.

Di sisi lain, lengan Gaharu mulai kendor. Aku menyelip kabur dari cengkramannya.

Dia berusaha meraih bahuku. Tetapi, aku menangkap lengannya. "Kau ga pantas untuk mendapat sepeser hormat, bocah manja!" ucapku seiring aku mengirimkan keninggku secepat 0,5m/s – estimasiku – kepada batok kepalanya. Bagian rambutnya menghantam kaca hingga retak.

Namun, kaca itu kembali kepada kondisi semula, mendorong kepalanya kembali tegak. Sepertinya itu kerjaan Fahrizi.

Dia masih memaksakan untuk menerjang aku. Maka, aku membalas dengan tunjangan tepat di ulu hatinya.

Akhirnya dia tumbang.

Aku dan Kahil mundur kepada posisi Sudharmo yang terdesak di ujung kamar dia sendiri.

"Kau ga apa-apa?"

"Piye aku ra po po!? Aku baru wae ngegebukin temen-temen sendiri asu! Keadaan iki pun ra jelas jancuk! PIYE AKU RA PO PO!?"

Kemudian, beberapa bocah yang digerakan Fahrizi untuk mendesak kami berbalik badan.

Kejutan hari ini masih belum selesai bos.

Seiring boneka Fahrizi menjauh, sebuah ledakan suara muncul dari arah pintu timur.

Kita bertiga, yang sudah mulai muak dengan kejutan malam ini mengintip dengan perasaan bercampur aduk bagai permen Nano-Nano.

"Kalian tidak apa-apa!" sahut suara familiar itu.

"Komang!" teriak aku. "Kok bisa!?"

"Aku juga, tidak begitu mengerti," balas dia dengan logat Balinya. "Yang aku tahu, aku terbangun di klinik siswa bersama mereka."

"Iya, bener," sahut salah satu rekan wismaku yang bersama Komang.

"Itu me...,"

Kita semua tidak sempat menyelesaikan perbincangan kita. Mata kita semua terpukau memandang apa yang baru saja terjadi di hadapan kita.

Sebuah pertir muncul dari soket lampu yang pecah dan menyambar ke tengah ruangan yang dikerumuni oleh boneka Fahrizi. Petir itu menyambar tepat di posisi Gaharu tumbang.

Setelah itu, rekan-rekan wisma kami menyusul tumbang.

"Bagaimana ini bisa terjadi Oni?"

"Aku ga tahu juga tapi, kayaknya kita baru saja menyaksikan kerasukan massal di wisma kita."

***

"Kalian masih kuat?" tanyaku kepada mantan residen klinik.

"Capek gua anjing...!" balas salah satu rekan wismaku sambil melipat punggungnya.

"Masih ada sepuluh lagi, kita harus taruh mereka balik ke kasur masing-masing!" ucapku berusaha meningkatkan semangat mereka.

"Lu kecil tapi, kuat uga," ucap Kahil padaku.

"Dua badan 50 kiloan masih ringan. Masih beratan ngangkat beras bos."

"Sombong kon!" balas Sudharmo.

Walaupun, aku berguyon dengan sembilan rekan wismaku. Aku masih tidak bisa mengabaikan Gaharu yang terbaring di atas permukaan lantai.

Aku langsung bergegas ke arah Gaharu setelah meletakan dua badan rekan wismaku di kamar mereka.

Aku membalik Gaharu dan meletakkan telingaku pada dadanya.

Tahi.

"Kahil, Dharmo, Komang! Bantu aku mengangkut Gaharu ke tengah ruangan!"

"Kenapa memangnya Ni?" tanya Komang.

"Jantung dia engga berdetak," ucapku panik.

"Jadi, kita gimana jir!?" sahut Kahil.

"Kalian ambil gunting, cepat!"

Aku ga tahu cara CPR lagi. Ah..., Otniel pakai ilmu yang kau tahu!

Kekuatan mentah.

Aku tidak tahu cara lain atau taktik lain untuk membangunkan keparat ini. Tidak ada waktu untuk berpikir dua kali.

Kedua telapak tanganku aku tutup dengan ikatan masing-masing jariku dan aku hantamkan tepat di lokasi umum jantung manusia.

Bangun, Gaharu bangun. Aku tahu kau manusia terk*nt*l sedunia tetapi, aku tidak mau ada masalah di wismaku.

"Noh gunting," sampai Dharmo kepadaku sambil menyodorkan barang yang aku minta.

"Komang, seret badan Gaharu ke ruang setrika. Minta bantuan Kahil kalau bisa."

Aku bergegas ke ruang setrika terlebih dahulu.

Seingatku, orang-orang rumah sakit memakai listrik untuk membantu detak jantung orang. Persetan mereka memakai alat khusus. Listrik tetap listrik.

Aku membelah kabel salah satu setrikaan yang tersedia sepanjang lengan bawahku. Lalu, aku mengulitinya dan membagi dua kabel tersebut, arus masuk dan arus keluar.

"Buka bajunya!"

"Lu homo apa?" ucap Kahil.

"Ga ada waktu bercanda anjing, ini nyawa orang goblok!"

"Santuy sih," balas dia risih sambil membuka kaos olah raga yang dipakai Gaharu.

Aku mempertemukan kedua ujung kabel untuk memastikan keberadaan arus. (Zzzt), ada.

"Tuhan berhasil Tuhan," ucapku seiring menempelkan kedua kabel pada jantung Gaharu.

Badannya bergetar tetapi, belum ada tanda-tanda kehidupan.

Percobaan kedua.

Gagal.

Percobaan ketiga.

Gagal.

Percobaan keempat.

Gagal.

"BANGUN BANGSAT!" teriakku sambil menghantam jantungnya sekali lagi dengan kedua tanganku.

"Hhaahhh...,"

Akhirnya si bajingan bangun juga.

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Bab IX

Rabu, 17 Juli 2013.

Kegiatan makan siang usai.

"Dek, temuin abang setelah makan di depan pintu mess hall," ucap Gaharu meninggalkan meja.

"Siap bang," balasku dengan posisi duduk siap.

Aku menyusul dan menemui si bajingan di depan pintu.

"Ambil posisi setengah kombinasi(1)! Turun 50!"

"Siap!"

.

Kamis, 25 Juli 2013.

Kegiatan apel siang setelah kegiatan belajar-mengajar.

"Temuin abang usai apel," bisik Gaharu.

"Siap bang!"

Aku berjalan kepada Gaharu yang berdiri di tepian taman Area 3.

"Turun push-up 40!"

"Siap!" balasku. "Izin bertanya bang. Sekiranya kesalahan saya apa?"

"Kamu nantang abang ya? Tambah 10!"

Manusia ini benar-benar menarik nadiku keluar kulit. Aku menanyakan kesalahanku agar aku bisa koreksi malah, dia nuduh aku nantang pula.

.

Hari yang sama, kegiatan makan siang.

"Kamu kenapa masuk lebih telat dari abang? Kamu ga ada respect sama sekali sama senior, gitu?"

"Siap tidak bang!"

"Gara-gara push-up mu lama, kita terlambat makan siang! Sudah! Kamu siapkan makan abang, kamunya ga usah biar kita cepat selesai!"

.

Minggu, 28 Juli 2013.

Kegiatan sarapan pagi sebelum berangkat gereja.

Aku mengambil meja yang dikepalai oleh divisi lapangan kelas 3, yang juga bertugas mendampingi kami, minoritas kristen ke gereja. Kursi yang aku ambil persis berada di kanan sang kepala.

"Selamat siang bang, izin duduk," sambut Gaharu.

Sang kepala meja menolak permohonan Gaharu dengan melambaikan tangannya.

Dia meninggalkan meja dengan kecewa. Suara samar Gaharu melontarkan "tch" terdengar olehku. Juga, dia menyempatkan untuk menendang kursiku sebelum meninggalkan meja.

.

Kegiatan apel malam, pada hari Minggu yang sama.

Aku memandang dan berusaha mempertahankan kesadaran untuk memperhatikan pembina apel membawakan pengarahan.

Tiba-tiba kakiku tersapu dari belakang. Aku sempat kehilangan keseimbangan.

"Woy! Jangan ngantuk woy! Kamu tidur ya dek!" bentak Gaharu.

Si bajingan ini benar-benar ingin mematahkan semangatku.

Teriakan dia mengundang divisi lapangan yang lain untuk melecehkan aku.

"Maksudmu apa dek!?"

"Kamu nggak respect sama senior apa!?"

"Pengarahannya ngebosenin kali, makanya dia tidur! Cuma dongeng, cuma dongeng!"

"Perhatian semua! Sikap push-up dan tahan di atas!"

Oh..., makin indah sekali penutup hari ini bos. Aku dijebak oleh panitia orientasi dan ditusuk oleh 300 mata yang merasa jengkel terhadap bala yang mereka derita.

Inilah highlight dari pencapaian Gaharu yang berusaha untuk mematahkan semangatku.

***

"Ah...," lepas nafasku seiring aku mendudukan diri di kursi belajarku.

"Kon ra ganti baju le?" tanya Sudharmo yang menyandarkan bahunya pada lemari Kahil.

"Capek bos. Dua minggu berturut-turut anjing, aku dibantai si bangsat itu! Kau mau pijetin kah, Dharmo?"

"Ora asu! Ga berakhlak kon!"

"Canda bos, canda."

Aku menutup mata dan menghadapkan wajah kepada langit-langit wisma bagai menunggu pencerahan dari surga.

Aku yang terduduk lemas berseragam, Sudharmo yang mengenakan piyama Arma Negara, dan Kahil yang membaringkan setengah badannya di atas kasur hanya bisa berdiam. Kesunyian kita bersepakat bahwa, dua minggu ini terasa seperti neraka di dunia.

"Mo, kau da...,"

Sekali lagi, aku tidak dapat menyelesaikan kata-kataku karena tidak diizinkan nasib.

"Woy anjing! Masalah lu apa sih!?"

"Hm?"

"Lu pengen ya ngancurin nama angkatan makanya nantangin abang-abang panitia orientasi mulu!? Kalo memang itu mau lu, mending lu ngundurin diri anjing! Kita ga butuh sampah kayak lu," ucap salah satu rekan wisma 17 yang membawa empat orang pendamping ke kamarku.

Aku mengambil langkah kepada rekan wisma yang terdengar mengoceh tanpa berpikir. Kedua tanganku aku jepitkan kepada sikutnya. Lalu, aku menghantamkan kepalaku kepada tepat di keningnya.

"Anjing maksud lu apa!?"

"Mau mastiin, kepala kau ada isinya atau ngga. Aku ga ada dengar gema, artinya otakmu masih ada."

"Lu mau ribut a...,"

Sebelum dia bisa melepaskan genggamanku, aku menjepit dia lebih erat, melipat sikutnya ke dalam pinggang dia yang berlapis lemak.

"Kalau kau benar-benar mikir, kau bakal nanya aku dulu bos "apa masalahku dengan para panitia?" Bukan asal bentak dan mengatai aku "anjing." Kalau kau mikir, kau bakal pasang asumsi terbaik kalau aslinya aku ga ada masalah apa-apa, cuma ada panitia yang selek. Ngerti?

"Juga, jujur memang ada panitia yang selek. Kau tahu gara-gara apa? Gara-gara aku sama kawan-kawanku di kamar ini berusaha nyari cara buat nyembuhin Komang dan kawan kita yang lain, yang di rawat di klinik. Mereka ngira aku ngejilat sama guru karena aku meminta jawaban dari guru daripada nanya panitia. Terutama, abang divisi orientasi kita tercinta, Gaharu.

"Sekarang aku mau tanya, kau adakah solusi selain mengamuk ke aku gara-gara nyari jawaban demi kawan wisma kita? Hm!? Kalau ga ada mending kau balik kanan dan berangkat ke kamar kau."

Aku melepaskan kedua lenganku dari bocah yang mengamuk itu.

Dia berbalik badan namun, dia tidak meninggalkan kamarku. Dia mengambil ancang-ancang untuk memukul aku.

Aku tidak berkutik dan menerima pukulan dia. Refleksku payah bos jadi, aku hanya bisa merespon sesuai kemampuanku. Walaupun seperti itu, kepalaku tidak berputar. Aku hanya menatap lurus pada wajahnya yang merah padam dengan kepalan tangannya mencium pipiku.

"Giliranku kan?"

Sekali lagi, aku menghantamkan kepalaku ke wajahnya. Kali ini keningku meratakan hidungnya.

Bercak darah menghias keningku sementara, hidungnya menjadi air terjun berwarna maroon.

"An...!"

"Sudah, sudah. Gausah maksa lagi!"

Dia ingin melempar pukulan kedua tetapi, teman-temannya menahan dia. Mereka menarik dia kembali ke kamarnya.

Sudharmo mengambil aksi untuk memeriksa keadaaanku.

"Kon ra po po rek?"

"Gapapa bos, santai. Aku cungkring tapi, tulangku keras bos. Ngomong-ngomong, jadi keingat gara-gara insiden tadi, kau ada info kah soal bagaimana kita bisa bebasin kawan-kawan kita yang sedang di rawat inap sekarang?"

Kalian mengapa merunduk?

"Bapaknya sudah ngasi tahu kita langsung cara buat nyelamatin temen-temen kita cuma...,"

"Cuma?"

Aku tidak suka arah pembicaraan ini bos. Perasaanku tidak enak. Hari-hari di sekolah ini semakin lama terasa seperti sedang terjun ke dalam jurang.

"Carane cuma iso kalo si Gaharune ngaku ato wes modar."

Rasanya aku ingin menghantamkan kepalaku sekali lagi ke wajah bocah tadi untuk melepas penat.

Bagaimana caranya aku mengumpan Gaharu untuk masuk ke wisma ini sendirian? Orang itu selalu membawa kroni-kroninya setiap kali menemuiku.

Aku melemparkan seluruh tubuhku kembali kepada kursi dan mencengkeram wajahku erat.

ARGH!!!

***

Anjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjinganjing!

"Woi, gausah ngantamin meja! Berisik anjing!"

"Diam lu sampah!" bentak gua dari kamar ke koridor wisma. "Lu masih mau punya masa depan kan?"

"Sabar Ru, jangan ladenin mereka jir."

"Bener Ru, lu punya urusan yang lebih penting kan dari mereka."

Gua ngabaiin kata-kata mereka. Badan gua merunduk di topang lengan atas gara-gara sudah PW(2). Lampu kamar gua, gua biarin mati soalnya adem.

Kenapa!?

Gua sudah ngelempar macem-macem bala kepada cecunguk itu. Tetapi, tidak ada sedikit pun, TIDAK ADA SEDIKIT PUN tanda-tanda dia menyerah.

Gua tahu dia pasti masih ngontak bapak tua bangsat itu.

Siapa sih dia!? Tidak pernah gua dilecehkan seperti ini anjing! Dia bukan siapa-siapa, bukan anak jenderal, bukan anak militer, gua pun ga tahu dia mau apa untuk masa depannya. Dan gua bakal ka..., Ga! Gua belum kalah sama cecunguk itu.

"Oi Gaharu! Lu ikut kaga?" panggil temen gua dari koridor.

"Ikut-ikut," balas gua sambil mendorong kursi belajar gua keluar meja.

"Lu-lu pada ikut?"

"Iya kita berdua ikutlah Ru."

Gua sama dua sahabat gua jalan bareng, nyusul temen gua yang ngajakin ke kamar mandi.

"Merek yang lu pada bawa malam ini apa?" tanya gua ke temen gua yang mimpin jalan.

"Marlb*r* Menthol. Mau kaga?"

"Sans."

Gua menyempatkan mampir ke ruang cuci buat ngambil ember sebelum bertemu sama fogger.

Ada sembilan orang sudah menunggu di ujung kamar mandi, menduduki ember mereka masing-masing. Walau, dua memilih duduk di atas celah antara sekat pemisah kamar mandi dengan langit-langit kamar mandi.

Gua ga ngerti mereka. Apa ga jijik anjing, dekat dengan lumut gitu?

Mereka adalah kelompok turunan dari sekolah ini yang kerjanya nyelundupin rokok ke dalam Arma, disebut oleh anak-anak: Fogger.

Salah satu bubuahan fogger menyodorkan gua enam batang rokok.

"Gua satu aja," kataku. "Lu pada ambil berapa?"

"Gua dua dah."

"Lu kalau gamau satunya, buat gua aja."

Gua memberikan jatah gua ke dia.

Gua menarik asap rokok sampai paru-paru gua hampir membengkak. Gua berharap nikotin yang ada dalam darah gua bisa bantu melepas stres.

Gua mendudukan diri dan menatap kepada celah antar ubin.

Gua tahu warna yang gua lihat di permukaan ubin adalah warna krem. Tetapi, yang muncul di kepala gua hanyalah merah. Merah, Merah, MERAH, MERAH MERAH MERAH MERAH MERAH!

(Hessttt..., whu...)

Cuma nikotin yang bisa ngelegain gua.

Yang gua hadepin sekarang ini ga beda jauh waktu gua nanganin lu Fahrizi.

Lu sama si cecunguk dari wisma 17 itu ga beda jauh. Lu berdua naro batang hidung kalian di tempat yang salah. Lu ngehalangin gua untuk mendapatkan hak gua. Dan cecunguk itu pingin merusak nama gua. Mereka yang salah. Ya, MEREKA YANG SALAH! NGAPAIN MEREKA NGHALANGIN GUA UNTUK MENDAPATKAN HAK GUA.

HAK GUA UNTUK DAPAT DUIT DARI ORANG-ORANG DI BAWAH GUA!

HAK GUA UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN SIAPA YANG DI BAWAH DAN SIAPA YANG DI ATAS! YANG LEMAH HARUS TAHU MEREKA LEMAH! GUA YANG MASTIKAN MEREKA TETAP SEBAGAI ORANG LEMAH.

GUA KAN CALON PEMIMPIN! KATA-KATA GUA MANDAT ANJING!

(Hessttt..., whu...)

Tetapi, cecunguk itu ga tahu diri. Dia nanya-nanya soal gua, nanya-nanya soal lu Fahrizi. Dan yang kurang ajarnya, setiap kali gua menghambat cecunguk itu, dia dengan berani berdiri dan menginjak harga diri gua sambil natap gua di mata.

(Prak.)

Gua tanpa sadar matahin batang rokok di tangan gua. Badan gua ga bisa bohong kalau gua sudah emosi.

"Bro, bagi sebatnya(3) satu lagi!"

Gua nyalain lagi satu batang rokok yang gua jepit di ujung bibir.

Asapnya gua hembuskan ke permukaan lantai kamar mandi. Gua tahu, gua melakukan itu ga mempengaruhi apa-apa tetapi, ga ada salah gua berlaga semua penat gua larut di genangan air yang ada di permukaan lantai.

"Ru, lu kenapa sih? Muka lu kayak habis nyium kaos kaki Curut anjir. Lu masih kepikiran cecunguk kelas 1 itu?"

Gua ga sengaja ngelepas tawa waktu dengar nama Curut.

Dia orang paling kotor di wisma 12. Juga, dia dapat nama curut gara-gara nyepuin satu wisma waktu mereka nyelundupin whisky ke dalam Arma.

Gua berdiri baru jalan ke sebelah ruang cuci.

"Oi, Gaharu! Lu mau ke mana? Lu belum jawab pertanyaan gua!"

"Matiin lampunya sebagian, silau , ntar gua balik lagi. Sabaran jir."

Angin Magelang ngeselin banget sumpah.

Lantai kamar mandi ini ga kering-kering jir. Gua risih nginjak genangan air yang numpuk di lantai kamar mandi sialan ini. Yang piket harian juga, gimana sih!? Ngeringin lantai doang ga bisa."

(Ctek!)

(Hsst..., whu)

Gua balik lagi ke kumpulan fogger lalu, menarik ember gua biar gua bisa duduk.

"Jadi, lu bakal lanjutin ga? Gaharu?"

"Sabar, gua narik dulu, (hsst..., whu...).

"Lu pada masih ingat adek yang sempat gua panggil kemaren kan?"

"Yang nyolot sama lu?"

"Iya, cecunguk yang nyolot sama gua sama yang kita bantai bareng. Dia malah makin sotoy anjing di meja makan selama orientasi. Masa dia ngelihat ke arah lain baru ngacangin gua selama makan, anjing ga tuh!?"

"Masa mandang doang nyolot anjing!" balas sahabat gua. Gua ga percaya anjing dia mempertanyakan kata-kata gua.

"Lu ngeraguin gua!? Kalo gua bilang dia ngacangin gua buat natap ke arah barisan cewe baru lu percaya?" balas gua sambil menodong sahabat gua pake dua jari yang nahan sebat gua.

"Anjing, nyolot banget tuh adek!"

"Baru, berani-beraninya," gua menarik nafas dan meluapkan emosi gua ke kaki gua. "Berani-beraninya cecunguk itu CERITA KE PAMONG ANJING!" bentak gua. Tanpa sadar, gua menendang ember gua sampai mantul dari dinding sekat shower.

"NGAJAK RIBUT CECUNGUK ITU BANGSAT! BERKALI-KALI, BERKALI-KALI GUA MATAHIN SEMANGAT DIA, DIA BANGKIT LAGI DAN NGELUDAH DI DEPAN MUKA GUA!"

(Hsst..., whu...)

Gua tahu gua ga memberikan detilnya ke dua sahabat gua atau ke anak-anak Fogger karena, detil-detil itu ga penting. Yang penting bagi gua itu fakta cecunguk itu nyolot dan nantangin gua. Dia bukan siapa-siapa anjing! Gua ga sudi dilecehkan sama sampah kayak gitu.

"Lu sekarang ngertikan perasaan gua?" ucap gua sambil nahan emosi sekuat tenaga.

"Jadi, yang bakal lu lakukan selanjutnya paan Ru?"

Gua ga tahu kenapa rasanya sahabat gua nantangin gua juga, dengan menanyakan pertanyaan itu. Gua langsung bereaksi dan menarik kaosnya biar dia berdiri setara dengan gua.

"Kalau lu ada ide atau saran yang lebih baik dari gua mending langsung bilang ke gua, daripada gua gebukin lu buat ngelepas emosi!" kata gua ke sahabat gua.

Kalau dia memang sahabat gua, dia bakal ada buat nerima amukan gua. Atau ga, dia bisa ngasih gua saran bagaimana gua matahin semangat cecunguk sialan itu.

"Bro, bro, maafin gua bro. Gua kaga bermaksud nantangin lu bro. Santuy, santuy. Gua kan sahabat lu bro, gua pasti ada saran buat lu."

"Jadi?"

"Eh...,"

Gua mulai meragukan kesetiaan sahabat gua. Dia kaga bisa mikir cepet anjing. Gua udah tahu dia pasti ga bisa bantu gua. Ga guna kalau dia pintar di kelas, bisa bantu bikinin PR tetapi, ga bisa mempertahankan kesetiaannya sebagai teman gua.

"Woi! Lu jangan ribut di sini jir!" bentak satu anak Fogger. "Nanti malah ngundang pisma(4) b...,"

"LU DIAM! INI URUSAN GUA!" balas gua ke anggota Fogger yang dengan tidak sopan memotong perbincangan gua. "LU MAU GUA NGIKUT-NGIKUT URUSAN LU!? KALO LU MAU, GUA BISA! LU MAU MASUK AKMIL KAN!? GUA BISA GAGALIN LU DARI AWAL DENGAN SATU PANGGILAN TELFON KE BOKAP GUA ANJING!

"JADI, LU MASIH MAU NANTANGIN KAGA!? AYO SINI LANJUTIN!"

Gua udah tebak, dia kaga bisa lakuin apa-apa ke gua. Muka dia udah ngatain semua, dia cuma bisa bacot doang tetapi, kaga berani ngelawan gua. Cuma bisa pamer doang.

Dia ngangkat tangan baru mundur ke embernya yang ada di tengah-tengah koridor kamar mandi.

(Hsst..., whu...)

"Jadi, apa saran lu?"

"Lu kan bisa jebak dia kayak waktu lu jeba...,"

Gua ga perlu ngomong ke sahabat gua. Gua berharap dia lanjutin kalimatnya biar gua ada alasan buat menghajar dia sekarang, di kamar mandi ini.

"Ehem, kayak lu ngasih pelajaran ke Fahrizi gara-gara udah nantangin lu."

"Itu ga nyelesaiin apa-apa! Gua udah berkali-kali ngasih dia pelajaran, di apel, di makan pagi, di makan siang, di makan malam, di apel malam, selama dua minggu berturut-turut. Gua kaga dapat hasil apa-apa."

"Lu udah coba semua cara yang lu bisa belom?"

"Kalau gua udah nyoba cara yang gua bisa, gua kaga bakal nanya lu anjing!" ucap gua. Gua perlahan mengendorkan cengkeraman gua tetapi, gua masih nahan sahabat gua di dinding.

Sahabat gua yang satunya hanya duduk menonton sambil menikmati sebatnya yang ketiga.

Gua kaga bisa ngeluapin emosi ke dia. Dia kaga mulai apa-apa kegua walau, gua merasa sedikit jengkel dia diam doang. Setidaknya, sebagai salah satu sahabat gua, kasih saran kek.

"Ru, Ru, gua tahu."

"Ya, lanjut."

"Lu kan tahu wabah yang nimpa wisma 17 kan?"

"Ya?"

"Kenapa lu kaga bikin kayak dia yang salah?"

"LU MIKIR KAGA SI...,"

Tunggu, kalau gua pikir-pikir, kata sahabat gua kaga salah. Gua bisa bikin kayak si cecunguk itu yang salah.

Fahrizi, gua tahu ini kerjaan lu, dan lu sudah milih pahlawan lu. Sekarang, gua bakal buktikan ke lu, ke angkatan gua, ke angkatan 2013 yang sotoy ini, sampai ke angkatan senior, kalau ga ada yang bisa nyentuh gua. Ga ada yang bisa menghalangi gua untuk mendapatkan hak gua.

Gua ngelepas lengan yang nahan sahabat gua ke dinding. Lalu gua menegakkan badan dia.

"Lu mending ambilin HP gua dah. Setidaknya itu yang bisa lu lakukan buat nebus dosa, gara-gara nantang gua."

"Siap Ru," kata dia sambil melangkah menjauh. "BTW, lu naro HP lu di mana?"

"LU CARILAH ANJING!" bentak gua ke dia. Sumpah, lu udah nantang gua baru berani-beraninya minta keringanan sanksi.

Gua kembali lagi mengambil tempat duduk di atas ember gua yang ada di dalam sekat kamar mandi. Asap nikotin ditarik paru-paru gua sedalam mungkin. Rasa mentholnya melegakan banget jir.

(Whu...,) hembus asap dari paru-paru gua ke permukaan lantai kamar mandi.

Gua mengintip ke arah anak-anak Fogger.

Mereka membalasku dengan senyuman kaku, berupaya bersikap sesopan yang mereka bisa.

Gua suka. Gua suka respect yang mereka berikan ke gua. Gua memang berhak untuk mendapatkannya.

Sahabat gua yang ngambilin HP lama amet.

Gua sudah duduk di atas ember ini berapa lama.

Rokok gua sudah mau habis. Gua udah buang-buang waktu buat ngeluapin emosi sampai satu batang rokok gua ga selesai-selesai. Tetapi, pas gua sudah ngasih dia waktu untuk nebus dosa, dia ga ngasih aku waktu buat nikmatin rokok gua.

Gua udah ga sabaran.

Gua mengangkat ember gua ke arah ruang cuci lalu, gua lempar ke dalam, seiring gua berjalan meninggalkan kamar mandi, biar gua bisa ke wisma.

Pas gua tiba di kamar, gua ngelihatin sahabat gua cuma mutar-mutar kayak anjing yang ngejar ekornya. Tidak ada satu pun tanda-tanda dia mengecek laci atau kolong kasur gua.

"Gaharu! Sori Ru, gua belum nemuin HP lu. Lu taro di mana ya?"

"Minggir lu anjing!" bentak gua sambil mendorong sahabat gua yang ga guna. "Lu lama. Gua nyari sendiri aja. Udah lu pergi sana!"

Dia meninggalkan kamar gua tanpa berbicara apa-apa. Dan dengan berani, dia masang muka sedih padahal, yang seharusnya sedih dan kecewa itu gua.

Gua mengankat kasur lalu, mengambil salah satu batang kayu yang menahan kasur ini di frame-nya.

Batang kayu itu sudah gua modifikasi sedikit. Ada garis semu di permukaanya yang bisa gua geser dan di dalamnya ada sekat yang cukup buat gua selipin HP seluas 5 inci.

Pintar kan gua?

Ga ada guru ato pisma yang bisa nangkap gua. Juga, kalau gua ketangkep, mereka kaga bisa ngelakuin apa-apa.

Gua ambil *phone gua lalu, gua mulai browsing di Youtube. Gua mencari sesuatu yang bisa gua gunakan untuk memberikan pelajaran ke cecunguk di wisma 17 itu.

Diawajib tahu kalau ga ada yang bisa atau boleh untuk nginjak harga diri guasebagai anak jenderal.


End note:

1. Senam yang terdiri dari gerakan berdiri dan jongkok.

2. PW, posisi wenak.

3. Sebat, istilah lain untuk rokok.

4. Pisma, singkatan untuk 'Pembina Wisma'.

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...