Selasa, 18 Oktober 2016

Harian Seorang Pembunuh

Pernahkah kalian merasa sang iblis duduk tepat di sebelahmu? Rasa panas dan ratapan menghantui di setiap detik kau bernafas. Maut seakan sedang berburu, menunggu mangsa selanjutnya yang melalui jalurnya. Aroma tidak sedap, lebih parah daripada sekumpulan mayat yang membusuk akan selalu menghiasi hari-harimu. Semua itu akan semakin mengenaskan ketika engkau mengetahui iblis itu adalah kawan karibmu sendiri. Rasa aman, tenang, dan tentram telah menjadi harapan belaka dalam hari-harimu hidup.

Itulah mimpi buruk yang menyambutku sejak ia masuk ke dalam penjara ini. Hingga hari ini mimpi buruk itu menyambutku setiap hari, dan hanya aku yang disambut. Semua rekan-rekanku telah tiada dalam instansi ini. Ada yang telah mengundurkan diri juga yang tidak bernyawa. Bukan karena waktunya namun karena direngut oleh sang iblis sendiri. Tidak sampai di situ, hampir seluruh narapidana yang ada dalam instansi ini telah berpulang karnanya. Setiap dinding penjara penuh warna merah dari darah yang ia tumpahkan, bagai cat baru di permukaan dinding.

Kalau boleh jujur aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku dapat bertahan melakukan tanggung jawabku dengan orang-orang yang berjumlah begitu kecil. Laporan dan perhitungan statistik keuangan hanya di tanggung sekitar lima hingga enam orang dan dari orang-orang yang ada aku menghitung penjaga dapur juga. Tetapi jika dipikirkan kembali, dibandingkan dengan jumlah narapidana yang sekarang — ya sekarang, karena yang lain telah tiada — kita mendapat beban pertanggung jawaba yang relatif lebih ringan, walau sedikit berat untuk laporan karena jumlah kematian yang terjadi karena dia. Tidak ada lagi yang dapat di lakukan oleh kami selain pasrah terhadap situasi mengerikan ini.

Sabtu, 12 November pukul 19.05 jadwal shift malamku. Pintu besar dengan tinggi sekitar dua setengah meter dari permukaan tanah berbahan kayu Ulin menyambutku. Aroma amis darah pada dinding menghantam hidungku bagai bola meriam yang melesat ke wajahku. Langkah demi langkah aku melalui lorong ini dengan cahaya yang remang-remang, berusaha untuk membiasakan dengan aroma busuk yang mengerikan ini. Dari posisiku berdiri aku melihat menempel di dinding kiri lorong sebuah siluet tingginya sekitar 170-an. Posisi dan bentuk siluet itu seakan-akan menungguku dari jarak lima meter aku berdiri untuk, mengharapkan diriku mendatanginya. Jantungku berdebar cepat seiring aku melangkah, semakin dekat semakin kencang. Perlahan juga siluet itu semakin besar, seperti ia juga ingin mendatangiku hingga kami berdua saling berhadapan.

"Halo kawan baikku." Dengan nada yang begitu tenang seperti ayah kepada anaknya.

Tulang punggung ku menjadi es batu ketika Arthur meletakan telapak tangannya di atas pundakku. Pandangannya begitu tajam kepadaku, namun terlihat begitu tulus. Perihal ini membuat aku merasa begitu bingung, karena setiap kali aku menjaga aku melihat pandangannya tidak pernah ada tanda-tanda belas kasihan. Begitu kelam, sangat tersakiti, begitu penuh rasa benci terhadap orang-orang di sekitarnya. Tetapi situasi ini, sungguh aku tidak bisa menjelaskan.

"Bagaimana keluargamu Zein?"

"Eh, b, b, baik saja kok"

"Engkau kenapa? Seperti melihat setan saja, haha."

Karena memang aku sedang berhadapan dengannya.

"Yasudahlah tidak apa. Dengan izinmu maukah kau mengunjungi selku? Aku ada hal yang harus kuceritakan padamu."
  
Mau tidak mau aku pasti harus ke sana. Tidak ada kesempatan untuk menghindari undangan dia. Maka aku hanya bisa berkata, "Ok."

 Setelah pertemuan itu aku melanjutkan perjalananku ke sayap kiri bangunan. Listrik bangunan LAPAS ini sangat payah, di setiap lorong-lorong hingga ruangan pasti saja ada listrik yang drop, lampu pada lorong yang ku lalui pun hanya dapat berkedip. Warna kelam terlihat bahkan dapat dirasakan sangat kental pada bangunan ini. Aroma dari mayat yang telah kami buang dari bangunan ini masih tertinggal, begitu pekat. Bahkan hingga aku telah memasuki ruang pengawasan yang cukup kedap dari situasi di luar aroma busuk tersebut masih mampu mengikuti. Setidaknya aroma kopi hangat yang telah menungguku di atas meja pengawasku mampu menenangkan rasa pusing dari suasana yang begitu busuk ini.

Sekitar pukul 20.15 aku meninggalkan ruanganku untuk berkeliling, mengawasi sudut demi sudut setiap sayap. Begitu sulit bagi kami untuk mengitari bangunan ini dengan jumlah yang sangat sedikit ini. Namun untuk kemungkinan bagi kami untuk celaka juga sedikit. Narapidana yang tersisa sangatlah takut untuk bertingkah terhadap kami. Mereka semua merupakan saksi hidup dari semua yang telah mati di bangunan ini, menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri apa yang Arthur lakukan kepada kawan-kawan seperkara juga kepada sipir LAPAS ini. Trauma mengerikan hingga hampir semua yang tersisa untuk hidup katatonik ketika mendengar nama Arthur. Kakiku membawaku ke lokasi sel. Senterku menyoroti ruangan demi ruangan. Wajah demi wajah dan semuanya mengerikan, penuh rasa takut yang begitu besar. Satu napi hanya bisa terduduk di pojok selnya mengayunkan badannya ke depan dan belakang. Pandangan pada matanya, penuh rasa amarah dan takut, bibirnya terlihat menggumamkan kata-kata. Aku berani bersumpah bahwa ia mengatakan "Aku harus bertobat, iblis mengirim pemburunya untuk mengambilku." Bisa kumaklumi jika kukaitkan dengan apa yang dilakukan Arthur.

Berlanjut terus hingga aku berada di depan sel Arthur. Ia terlihat sedang duduk di atas kasur gantungnya. Badannya yang sedikit jangkung, berisi dan bongkok, terlihat sangat mengintimidasi. Di tangannya ia menggengam sebuah buku yang sepertinya berbungkuskan kardus yang telah rapuh, tebalnya seukuran kamus bahasa. Tiba-tiba saja perlahan ia menoleh kepadaku.

"Ah, kau sudah di sini," dia mengatakannya bersamaan ketika ia berdiri dari kasurnya, perlahan mendekatiku "ini yang ingin kutunjukan padamu Zein kawanku."

"Apa itu?"

"Ini harianku kawan. Setiap hari engkau melihatku dengan pandangan bahwa aku adalah orang yang mengerikan, aku memperhatikan itu. Namun pastilah engkau penasaran mengapa aku bisa seperti ini."

"Engga kok." Ucapku dengan begitu gemetar.

"Bos, kau bergetar dengan skala dua richter tentulah saja kau pasti penasaran. Pada genggamanku ini merupakan cerita mengapa aku bisa berakhir seperti ini."

Aku mengambil buku itu dari genggamannya. Halaman demi halaman aku lalui. Ia menceritakan di sebelahku dari balik jeruji besi setiap kali aku membuka halaman.

"Kau tahu ketika aku lulus dari studiku di kriminologi aku memiliki hidup yang cukup mapan. Bekerja di Kompas TV sebagai reporter, makan tiga kali sehari, sebuah rumah kecil di pojokan Bandung Barat, dan sebuah mobil van Suzuki APV. Tidak banyak namun setidaknya cukup untuk melalui hari-hari bukan?"

"Heh, ya setuju denganmu bung."

"Ya, ya. Cukup menyenangkan ketika semua itu bertahan. Sangat disayangkan ketika semua itu lenyap karena sebuah proyek lapangan."

"Maksudmu?"

"Kau tidak tahu? Tenteng proyek pembuatan lapangan latihan yang dilakukan di Bandung Barat?"
  Aku hanya menggelengkan kepala.

"Baiklah karena kau kawan lamaku akan kuceritakan padamu. Akan kuceritakan apa yang terjadi di sana dan bagaimana kasus tersebut memposisikanku di sini. Menunggu jadwal penggantunganku.

"Sabtu, 17 April. Aku telah melupakan tahunnya karena sudah terlalu lama aku berada di balik jeruji ini. Setidaknya aku masih mengingat kejadian itu bagaikan itu baru saja terjadi tadi pagi. Baru saja aku pulang dari Jakarta setelah minggu-minggu yang begitu melelahkan dari pekerjaanku, dengan harapan ketika aku sampai ke rumahku aku dapat beristirahat dengan tenang. Tiba-tiba tepat 25 meter di depan kaca mobilku telah siap dua buah tank panzer bersama selusin unit kontraktor dan alat beratnya. Tentu saja —  kalau kau mengenalku dengan baik — dengan begitu santai aku melalui mereka, sambil berlaga bodoh aku bertanya kepada polisi yang memegang toa melalui jendela mobilku. Aku memperhatikan nametag yang ia kenakan, tertulis nama perwira 'Arief', di pundaknya ada dua label yang menandakan ia seorang Iptu. Perawakannya seperti seorang pemain basket, tinggi ramping dengan lengan yang sedikit lebih panjang dari yang seharusnya dan jari-jari yang cukup luas untuk menggenggam bola basket. Wajah dia agak terang berhiaskan jenggot yang menyatu dengan kumisnya. Aku mendapati sedikit kesulitan untuk menentukan apakah dia orang manado atau sunda, tetapi tidak masalah lah."

"Tunggu sebentar. Kau tadi menyebutkan Iptu Arief?"

"Iya. Ada apa?"

"Bukankah ia meninggal karena kecelakaan? Mobilnya selip kemudian terjebur di sungai, dalam koran disebutkan bahwa leher dia patah ketika berkendara."

"Apakah kau memperhatikan siapakah redaktur dan editor dalam artikel itu?"

"Kalau ku ingat kembali tidak. Mengapa?"

"Aku yang menuliskannya bung."

"Apa? Jadi?"

"Aku akan menjelaskan semuanya padamu kawanku ok. Pasti kau akan mengerti ketika nyawamu terancam oleh orang ini. Jadi, kembali lagi ketika aku pulang polisi dihadapanku menatap sinis mataku. Nada amarah tertahan dan wajah yang merah padam menyemburku bagai selang taman di pagi hari.

"'Tanah ini merupakan tanah milik negara. Dalam waktu singkat ini tanah ini harus segera dikosongkan untuk kepentingan perlindungan negara.'

"Tentu saja aku tidak mudah menerima tanpa adanya bukti. 'Tunjukan padaku surat-suratnya biar kita bahas dengan ketua RT di sini.'

"Tidak menerima apa perkataanku ia menodongkan toanya kehadapanku dan berteriak tepat di depan wajahku. 'Pindah!'

"'Pak kalau kau seorang polisi dan engkau mengerti apa tugasmu. Buktikan padaku surat-surat proyek itu untuk di bahas lebih lanjut. Jika tidak aku mungkin saja akan menelfon atasanmu, bahkan presiden pun bisa saya hubungi. Dan jika anda tetap tidak percaya akan ku angkat HPku sekarang dan mebghubunginya.'

"Takut mengambil taruhan tersebut ia membanting toa yang ada di tangannya dan kemudian ia mengangkat tangan kirinya. Mengisyaratkan kepada para anggota dan kontraktornya untuk mundur. Situasi mulai damai, aku melanjutkan perjalananku hingga ke rumahku. Sampah daun yang perlahan mengering di lajur parkiran rumahku menyambut aku pulang. Saking lelahnya aku bergegas menuju pintu, membukanya, sesampainya di dalam kukunci kembali dan kemudian aku merebahkan diri di atas sofa.

"Malam tiba, aku masih tertidur namun, kesadaranku mulai pulih secara bertahap. Kemudian aku mendengar ada suara jejakan di halaman belakangku. Mataku terbuka dengan jantungku yang berdebar kencang karena kaget. Aku langsung tiarap ke depan sofa, merayap ke pintu kaca dapur. Melalui pintu kaca setinggi dua meter itu aku melihat ada dua siluet mendarat di halaman belakangku, meringkuk menyelinap. Walau sedikit buyar, sangat yakin aku melihat salah satu siluet itu menggenggam sebuah senjata api. Aku kurang yakin untuk jenisnya, hanya menerka-nerka sepertinya sebuah revolver. Sunggh sangat beruntung jika yang ia pegang adalah revolver, aku mungkin dapat menghitung selongsongnya. Untuk mencari aman aku menyembunyikan diriku di dalam laci perkakas dapur, hanya memiliki tiga alat masak cukup menguntungkan bagi seorang jomblo.

"Cukup membosankan di dalam. Aku menunggu hingga ada suara pintu yang bergeser namun belum ada bahkan, aku hampir tertidur di dalam ruangan sempit ini. Namun, tiba-tiba terdengar suara seseorang terjeduk. Aku kurang mengerti apa yang mengganjal dia sampai aku mendengar suara yang familiar. Kursi dapurku terjatuh. Hentakannya membuatku sadar seketika. Suara langkahnya terdengar begitu jelas. Aku menghitung setiap langkah hingga aku tahu dia benar telah melaluiku.

"Suara hentakan telapak tangan diatas meja wastafel terdengar jelas. Aku mengambil panci yang ada di dekat pinggangku lalu keluar dari laci. Dalam sekajap aku menghantam dia di kening. Saat ia jatuh salah satu tangan ku letakan di bawah lehernya dan satu menahan dia di kening. Aku menarik dengan paksa hingga ia tak bernyawa. Untuk sementara, mayat Arief ditinggal di dapur. Aku lanjut mencari orang yang kedua, merangkak di dalam bayang-bayang furnitur rumah."

 Mendengar bagian pertama dari cerita ini mataku langsung terbelalak. Sungguh sulit untuk mempercayai yang diceritakannya. Sudah bertahun-tahun aku mengenal dia tetapi, tidak pernah aku mengenal dia sebagai orang ini. Orang yang begitu kejam, melebihi iblis itu sendiri. Dia tersenyum ketika melihatku kaget. Pandangannya seakan dia benar-benar melihatmu secara transparan. Kemudian dia menarik kembali wajahnya dan melajutkan ceritanya padaku.

"Ternyata aku menemukan dia di ruang tamu, sedang membongkar laci televisiku. Aku sedikit sulit menggambarkan bagaimana orangnya karena iya sedang membungkuk. Kesempatan berada tepat di depan mata. Di dekat televisi terdapat sebuah guci yang aku isi dengan payung dan tongkatku. Aku mengambil tongkat. Perlahan aku mendekati dia di tengah kesibukannya. Lalu tongkat itu telah menembusnya. Setelah semua menjadi sunyi aku kembali duduk di sofaku. Merenungkan apa yang telah aku lakukan.

"Momen itu terinterupsi ketika sebuah nada panggilan ponsel datang. Sangat yakin itu bukan milikku. Maka aku mencari di tubuh kedua mayat yang tergeletak. Saat aku menggeledak mayat Arief aku mendapati di saku dalam — aku benar bermaksud di dalam — celana Arief ada sebuah ponsel. Sepertinya ponsel itu merupakan rakitan. Komponen yang digunakan merupakan komponen untuk tipe ponsel rakitan. Bentuknya yang tipis dan berbungkus materi yang kurang jelas dengan kabel-kabel menjalar keluar masuk.

"Panggilan itu terbuka. Muncul suara yang cukup familier dari balik speaker. Jika aku benar, suara itu adalah suara dari bupati kami. Irwin. Manusia yang paling rakus yang kutahu. Banyak sengketa tanah yang melibatkan dirinya. Dan yang lebih kurang ajar adalah, semua uang yang disubsidikan negara masuk ke kantongnya. Tidak pernah ada yang mengkaji berita tentang dia karena hampir semua reporter di bawah genggamannya. Beruntung baginya aku hanya sibuk di Jakarta. Sekarang semua telah usai.
 
"Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya yang ditanyakan padaku.
 
"'Bagaimana? Apakah keparat itu telah dibereskan?'
 
"Aku hanya membalas dengan menggumam. Keberadaan diriku tidak boleh diketahui olehnya.
 
"'Baiklah. Tabunganmu akan segera kutransfer. Nanti akan ku kirimkan email, apa tugas selanjutnya.'
 
"Sekejap panggilan itu ditutup. Aku langsung membuka kolom email. Data pada mailboxnya tertera dua email. Satu notifikasi baru dan satu adalah pesan yang lama. Pesan yang lama dibuka, dan aku jamin kau tidak akan percaya Zein apa yang kutemukan.
 
"Email tersebut adalah sebuah surat persetujuan antara pebisnis terkenal China Zuang Li dan Irwin. Dia menggunakan email gelap untuk menghindari pajak pembangunan. Di bawahnya tertera lampiran nama yang akan terlibat. Ada lima nama tetapi, menurutku hanya tiga yang cukup signifikan. Satu adalah mendiang Arief, kedua Irwin, dan tiga adalah Hakim Chandra.
 
"Jujur aku tidak pernah mengenal Hakim Chandra. Tetapi, banyak berita yang menggambarkan bagaimana kumpulan para polisi — terutama para anggota korup yang kukenal — menyukainya. Sekarang aku telah mengenal dia, karena dia bukan yang menentukan hukuman matiku?"
 
Aku hanya membalas dengan anggukan.
 
"Ya. Cerita berlanjut. Menegetahui itu aku mempersiapkan target. Tujuan utama dari target itu, aku ingin membuktikan kepada mereka yang korup bahwa mereka tak selamanya aman. Dua kepala mereka yang akan menjadi contoh yang akan dan pasti membekas selamanya. Nomor satu adalah Irwin. Aku mencari setiap berita yang mengubgkit tentang dia pada harian-harian yang membusuk di dekat guci.
 
"Akhirnya aku menemukan satu. Ia sedang mempersiapkan sebuah pidato. Dalam tiga hari dia akan menggelarnya di lapangan bola lokal, sekitar 25 kilometer dari sini. Harinya telah ditentukan, dan disitulah ia harus mati.
 
"Sisi lain cerita, aku baru mengingat kedua mayat yang berada di dalam rumahku. Mengenali seragam yang dikenakan okeh Arief tentu ku deduksi bahwa, dia pasti membawa kendaraan. Aku berdoa dia membawa mobil dinas. Aku keluar dari pintu belakang untuk memastikan. Beruntung sekali, mobil yang dibawa benar mobil dinas. Maka aku membawa kedua mendiang itu lalu kuposisikan sedemikian rupa sebelum kujatuhkan ke sungai. Agar terlihat lebih realistis aku merobek ban belakang dengan pecahan beling dari botol YouC1000. Esoknya kubuat masyarakat yakin akan kecelakaan mereka dengan membuat kolom berita itu."
 
Aku tidak dapat merespon dalam situasi ini. Mendengarnya, semua bagian tubuhku — sumpah semua — mati rasa bahkan, jejak aroma amis dari darah pun tidak lagi tercium. Nafasku semakin berat. Rasanya aku ingin marah kepada Arthur, tetapi terasa sia-sia juga. Tidak mungkin aku mampu melawan dia, argumen maupun fisik. Sepertinya aku hanya berakhir menjadi penonton saja dari cerita ini. Dia menyadari keteganganku tetapi, dia tidak merespon terhadap reaksi itu. Certianya tetap dilanjutkan olehnya.
 
"Aku tahu kau merasa risih bukan Zein? Biarlah, aku tetap melanjutkan cerita. Mungkin ini dapat membuatmu mati rasa sedikit nanti ketika melihat penggantunganku.
 
"Mengetahui Irwin adalah dalang kejadian ini aku mengincar dia. Seperti yang telah kugambarkan sebelumnya, melalui berita aku menelusuri kemungkinan yang tepat untuk mengakhiri dia.
 
"Rantai demi rantai rencana disusun sedemikian rupa. Dalam waktu dekat semua harus dipersiapkan.
 
"Hari H tiba. Lapangan begitu penuh dengan masyarakat lokal. Polisi memasang pagar betis, membentuk area bagai sepetak sawah berisi manusia. Dalam kerumunan itu aku mengenakan pakaian yang cukup kasual namun dapat menyembunyikan senjata yang kupersiapkan untuknya.
 
"Di sinilah kebodohan terjadi. Aku tidak sabar untuk mengakhiri dia sehingga aku melepaskan tembakan lebih awal yang kemudian meleset. Dan memperburuk keadaan bagiku ketika ternyata aku lupa untuk memasang peredam sehingga polisi mengetahui keberadaanku. Dari balik kerumunan muncul satu orang yang menerjangku.
 
"Perawakannya kecil namun, lincah. Dari tenaga, sepertinya ia seorang bintara. Terselempang senjata M16 padanya. Itulah yang menjadi kesempatanku untuk melanjutkan misiku.

"Kami berdua bergulat di tanah. Cukup memerlukan usaha besar untuk mengangkat kami kembali berdiri. Aku berusaha menggapai M16 yang terselempang padanya dan berhasil. Secara paksa aku menarik senjata api itu dan kumuntahkan seluruh peluru ke atas panggung. Sekitar empat polisi yang terkena luka, kurang tahu untuk berat atau ringan. Tetapi, bagi Irwin nasibnya tidak begitu menguntungkan. Laporan firensik menyatakan tiga peluru berhasil merobek aorta dia, sejajar.
 
"Semua masyarakat melarikan diri dari area. Aku setelah melepaskan tembakan itu langsung menyerahkan diri kepada polisi. Diadili dan sekarang aku berada di sini, dengan awal hukuman hanya delapan tahun. Dan kemudian diadili kembali menjadi hukuman mati karena, ya kau tahu sendirilah. Semua yang telah kulakukan di sini."
 
Begitu sulit dipercaya, melihat dia tertawa terbahak-bahak ketika dicertiakan olehnya semua pemandangan buruk di dalam penjara ini. Terutama ketika ia membunuh semua orang itu. Dari yang memiliki hukuman yang sama yaitu, mati bahkan sampai kelas teri yang hanya dapat melakukan penipuan maupun pencurian. Padahal aku di sebelahnya terduduk dengan tegang. Memaksakan diri untuk kembali tenang dengan memandangi jam tangan.
 
Sudah terlalu lama aku berada dalam sel ini. Aku kaget ketika melihat dua jam telah kulalui mendengarkan cerita dia. Aku meminta izin kepadanya untuk kembali kepada kantor tugasku. Dia mengizinkan namun, dia menahanku untuk memohon sesuatu padaku.
 
"Lusa aku ingin kau menghadiri eksekusiku ya kawan. Sebagai permintaan terakhir."
 
Tentu aku meng-iya-kannya.
 
Melihatku mengangguk membuat dirinya tersenyum lega. Seakan bebannya telah dilepaskan semua. Air mukanya menggambarkan ketulusan dirinya menerima akhir hidupnya lusa nanti.
 
Kembalilah diriku kepada tugasku di ruang pengawasan. Berjalan menelusuri lorong-lorong amis menuju kantor. Dalam hatiku, aku hanya bisa merenungkan akhir hidup kawan baikku. Perihal itu terus mengalir di dalam kepala sampai-sampai itu membawaku ke dalam tangisan kecewa. Lemahnya aku dalan berteman. Kuakui aku tidak dapat berbuat banyak baginya. Bahkan, aku jarang menemui dia. Tetapi, sebagai seorang kawan aku harusnya dapat melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dia.
 
Pertengahan aku menangis, sebuah panggilan masuk melalui radioku. Aku berusaha menahan kesedihan agar tidak terdengar oleh mereka. Akan memalukan jika sampai mereka tahu. Dengan mempertegas diri panggilan itu kuterima. Laporan yang sungguh mengejutkan yang disampaikan. Hakim akan mengunjungi Arthur sendirian esok hari pukul 16.00. Mau bagaimana pun aku dan pekerja lain yang tersisa harus bisa mempersiapkan bangunan ini sebelum sang hakim tiba.
 
Hanya tinggal satu hari sebelum eksekusi. Dan sesuai laporan pukul 16.00 Hakim Chandra telah berasa di tempat. Ia menunggu di depan pintu untuk dijemput olehku. Saat aku bertemu dia, beliau memintaku untuk langsung menuju ke sel Arthur. Sesampainya di sana ia memintaku untuk pergi. Mengawasi pembicaraan mereka berdua dari ruang CCTV.
 
Sampainya di ruangan aku terkejut. Salah saru laya yang tepat menghadap lorong sel Arthur hanya menunjukan layar hitam. Padahal indikator menyatakan kamera dan laya televisinya aktif. Aku langsung bergegas menuju sel Arthur aku khawatir nanti akan terjadi sesuatu. Tiba-tiba sang Hakim yang hampir papasan denganku menahanku.
 
"Mengapa kau berlari-lari nak? Tidak perlu khawatir ia sudah tidur kok. Persiapkan saja untuk hari esok ya."
 
Aku hanya mengangguk kepada peritahnya. Kemudian aku kembali ke kantor. Namun, ada satu yang sangat menggangguku. Semua ini berlangsung terlalu cepat. Dan yang kemudian sangat mengelitik perasaanku adalah pembawaan Hakim Chandra ketika berbicara padaku. Pikiran ini menahanku terjada hingga hari eksekusi tiba.
 
Pagi menyingsing bangunan dari sayap timur. Walau matahati hanya tampil setengah tetapi, itu tidak menahan rencana eksekusi. Para petugas yang diminta untuk mengurus Arthur telah menjemputnya. Aku masih menetap untuk membereskan bekas selnya dia. Telah kurencanakan untuk menyusul saat Arthur akan di gantung di pelataran eksekusi.
 
Semua barang-barang yang ia tinggalkan keubersihakan. Sambil membersihkan, melalui radio aku memperhatikan perkembangan-perkembangan sebelum eksekusi mulai. Dia telah sampai pengadilan ketika aku sedang membuka sarung bantal. Kemudian, aku menemukan sesuatu yang ganjal pada bantalnya. Ada sebuah sobekan yang muat untuk dimasukan benda seukuran kepalan tangan. Rasa penasaranku mengundang untuk membongkar isi bantal itu dan aku sungguh tidak percaya apa yang kutemukan. Di dalam ada sebuah suntikan, segulung benang jahit, dan sebuah silet yang telah berlumur darah. Aku semakin panik ketika aku sadar bahwa darah tersebut masih segar. Aroma darah itu menyadarkanku untuk segera bergegas sebelum eksekusi berjalan.
 
Tidak memperhatikan untuk mengunci bangunan aku langsung bergegas ke lokasi eksekusi. Radio yang tercantol di kopel-rimku mulai mengoceh. Diberitahukan bahwa, Arthur telah berada di atas altar. Talinya telah dilingkarkan pada lehernya. Aku berteriak di radio, memohon untuk menunda eksekusi. Namun, ada yang mengganggu sinyalku sehingga pesanku tidak tersampaikan. Tidak ada pilihan lain, aku harus segera ke sana. Gir mobil lansung pindah ke empat, semua aturan lalu lintas ku abaikan, ambulans saja kalah oleh kecepatanku. Tetapi, akhirnya berakhir sia-sia. Eksekusi telah dijalankan dan usai. Amarah tidak bisa kutahan. Sampai-sampai spion yang tergantung di langit-lamgit mobil dinas kupatahkan. Namun, ini tidak menghentikanku. Aku tetap berangkat untuk memastikan apa yang telah kucurigai.
 
Sesampaiku di sana aku meminta untuk tim pengangkut untuk menahan pengiriman ke kamar mayat. Aku ingin memastikan apa yang kucurugai. Aku pun tidak ingin mempercayainya, tudak mungkin Arthur senekat itu. Jari-jariku meraba kepala belakang mayat itu. Saat jariku menyentuh di bawah rambut di dekat lehernya, aku menjadi tegang. Semua organ menjadi beku. Aku langsung mendekatkan kepalaku ke belakang kepalanya. Ternyata benar. Ada jahitan yang membentang dari dari telinga ke telinga hingga ke bawah leher. Ini hanya wajah, seluruh tubuh, semuanya adalah milik Hakim Chandra. Aku langsung berdiri tegak mencari siapapun yang memiliki wajah sang hakim.
  
Pinggangku bergetar karena ponselku. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ku kenal. Aku langsung membukanya, aku sangat yakin ini dari dia. Di dalamnya tertulis sebagai berikut.
 
"Terima kasih kawan engkau mau hadir. Mohon maaf telah mengecewakanmu, ini hanya sesuat yang harus ku lakukan. Aku harap kita akan bertemu di lain waktu, sebagai teman ke teman."
 
Dan pesan itulah yang ia tinggalkan padaku. Aku tidak tahu apakah ini akhir atau permulaan. Yang kutahu aku hanya bagian dari sesuatu yang dia rencanakan.
          



Oleh: Bara Daniel Thording Sitohang
 
 
 
  

 
 

Minggu, 09 Oktober 2016

Terjebak di Bermuda

Sudah beberapa tahun aku mengambang di permukaan perairan terkutuk ini. Hanya sebuah kepingan kayu yang ku ikat menjadi rakit yang mempertahankan hidupku. Awan yang begitu tebal dan gelap menghiasi langit di atas. Aku tidak mengerti lagi apa yang harus ku tulis dalam jurnal ini, bahkan aku tidak mengetahui apakah aku masih dapat bertahan hidup atau tidak.

Mungkin bagi siapapun yang membaca jurnalku tidak akan percaya apa yang ku tulis di sini. Berbagai pengalaman dan penemuan yang berakhir sia-sia karena yang menelitinya akan mati dalam waktu dekat ini. Tanpa ada harapan sedikit pun untuk bertahan hidup.
Aku sudah tidak ingat berapa tahun aku terombang-ambing di perairan ini, tetapi sangat jelas di kepalaku alasan pertama kali aku kemari. Untuk mengungkap sebuah misteri yang tidak pernah dipecahkan oleh dunia. Dari awam hingga ilmu saintifik masih belum ada penjelasan yang jelas tentang keberadaan segitiga terkutuk ini, segitiga Bermuda.

Empat rekanku dari ITB aku undang bersama untuk membantuku dalam penelitian ini. Hanya aku seorang mahasiswa dari UI, dari fakultas teknik, jurusan perkapalan. Kami mengajukan sebuah proposal pengujian kapal yang kami buat, untuk membuktikan bawa sebenarnya titik mati yang terdapat di lautan hanya berlaku bagi kapal bermotor.

Sekitar satu setengah bulan kami menunggu persetujuan dan akhirnya kesabaran kami telah dibayarkan. Pukul 21.00, aku sedang mengerjakan tugas di apartemen ku, dengan segelas kopi panas di kanan laptop dan suara televisi dari kamar menemani. Getaran notifikasi berdengung dari handphone yang berada di saku kiri celanaku. Sebuah email muncul, ketika ku buka ternyata merupakan surat penerimaan akan proposalku. Aku menghubungi rekan-rekanku dan memberitahukan bahwa kita menerima sekiranya Rp250.000.000,- sebagai biaya pelaksanaan. Setelah semua itu kami masing-masing menysun rencana pembangunan dengan mengkolaborasikan terhadap jadwal kuliah masing-masing.

Kalau tidak salah—karena ingatan ku telah buyar, terlalu banyak minum air laut untuk bertahan hidup— saat itu bulan November, kami semua berkumpul untuk merumuskan desain. Sebuah kapal, dengan bahan-bahan moderen namun, berlaku bagai kapal layar jaman pertengahan. Kami menyadari bahwa dana yang kami terima masih belum cukup. Sehingga setiap dari kami mencari usaha sampingan untuk menguatkan dana kami, dari berjualan, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Hingga dana kami bertambah Rp300.000.000 saat awal Desember tiba.

Ingatanku tidak dapat kugali lagi. Aku tidak mengingat apa yang telah terjadi setelah awal Desember itu. Aku hanya mengingat ketika kami berangkat, aku mengingat hari itu, begitu detil kejadiannya. Karya kapal kami berhasil dibangun dengan bentuk yang begitu indah. Sepanjang 20 meter dari hidung hingga buritan. Dua buah tiang berdiri tegak menopang tiga layar persegi dan satu layar segitiga. Walau tidak begitu tangguh secara perawakan tetapi kami tahu bahwa dia siap menghadapi kejamnya lautan. Kami semua menaikinya, langsung mempersiapkan pelayaran. Semua layar kami kendalikan melalui katrol yang terdapat di ruang kemudi. Dua orang rekanku berada di ruang masak, mempersiapkan makan siang. Kucatat kecepatan yang ditempuh oleh kapal kami, derajat kami berangkat dari pelabuhan menuju koordindat-koordinat yang di katakan sebagai titik mati lautan di dalam harianku.

Tujuan pertama ekspedisi kami adalah perbatasan Kalimantan dan Sulawesi. Koordinat yang kami tuju merupakan koordinat tempat kejadian jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun silam. Hidung kapal dirotasikan oleh rekanku, Ahmad sejauh 30 derajat menuju tempat jatuhnya pesawat. Terlihat dari teropongku sekitar 25 kilometer dari posisi kami koordinat kami akan menetap. Angin sangat mendukung dalam perjalanan kami untuk membuktikan teori kami.

Kejadian yang begitu unik terjadi, kami merasakan—jika perkiraanku benar—daya apung kapal kami turun begitu saja secara tiba-tiba. David yang dengan begitu menikmati kegiatan di dapurnya keluar dari geladak. Melompat bagai kodok yang sarangnya diganggu, berteriak dengan rasa panik yang dibumbui amarah. Dengan langkah tanggung-tanggung ia berkeliling mencariku.

"Enock, di mana lu?"

" Apa Dav?"

" Ada apa ini? Tiba-tiba saja kapal ini kandas."

"Bukan kandas kawanku. Tenggelam. "

"Tenggelam! Kamu mengajak kami dalam ekspedisi ini hanya untuk bunuh diri begitu? Jadi untuk...."

"Bukan begitu Dav. Tepat di bawah kita merupakan sebuah palung laut. Sepertinya di bawah sana ada kebocoran gas alam sehingga mengubah tekanan pada perairan ini."

Dengan wajah merah padam David kembali ke dapur mempersiapkan makanan kami. Dari depan pintu ia menyahut, "Ok, tetapi sampai kita tenggelam, nyawamu ku seret dengan ku mengerti!"

"Yo", sahutku membalas dengan nada tenang.

Kubuka kembali harianku, kutuliskan apa yang terjadi pada hari ini. Namun menurutku data itu tidak lengkap, masih ada rasa yang menggelitik di tulang punggungku. Perasaan yang membuatku bertanya-tanya apakah hanya ini saja yang terjadi di titik mati ini. Maka aku meminta Sandi, yang sedang berada di meja makan sedang bersantai dengan novelnya untuk mempersiapkan tali dan masker snorkle. Aku ingin turun, melihat secara langsung dan mengukur secara langsung data yang ada di depan mata. Aku sendiri menyiapkan sebuah tali ukur dan papan sketsa untuk merekam data-data yang ku dapat.

Tali telah siap di pinggiran kapal. Tali tersebut ku kaitkan dengan peralatan selamku, dengan tiga buah ring untuk menjamin keselamatan. Ketika mataku bertemu mulut palungan, rasa takut yang mendalam bercampur begitu saja dengan kekaguman terhadap karya geografis yang indah ini. Terasa juga pada tubuhku, tekanan air yang begitu ringan. Aroma metana yang menguap kabur dari retakan di bawah palung tercium pahit di hidungku. Perlahan pandanganku buyar karena pengaruh metana ini. Tanpa ku sadari semua menjadi gelap, aku tidak tahu apakah gas ini mempengaruhi mereka atau tidak, tetapi dalam hati aku sangat berharap tidak. Aku tidak ingin mati sia-sia seperti ini di awal ekspidisi kami.

Terasa panas kedua pipiku secara tiba-tiba. Ketika ku sadar, ternyata aku telah berada di geladak kapal, memuntahkan air dari paru-paru ku. Benny—nama yang kuberikan pada kapal ini ketika aku sadar—ternyata telah meninggalkan koordinat sebelumnya. Menyadari itu aku menggeliat mencari papan sketsa yang ku bawa. Memutar balik hampir setiap sudut kapal. Dengan penuh emosi aku berteriak, bertanya ke setiap rekanku tentang papan sketsa itu. Papan itu merupakan hal terpenting bagi penelitian ini.

Dari belakang Ahmad menghantamku dengan papan yang ku cari. "Ini bodoh, tadi waktu kami menemukanmu pingsan, papan ini masih terikat di lengan kirimu." Kata Ahmad dengan suara yang tawar di balik wajahnya yang khawatir.

Tanpa berpikir dua kali aku langsung memeluk Ahmad dan melemparnya ke sofa. Dengan langkah cepat aku mengarah ke kamar ku mencari harianku yang kuletakan di rak tepat di samping bantal tidur. Sangat beruntung data yang ada di papan sketsa belum terhapus, data sangat penting untuk ekspedisi ini. Dari desain dan perhitungan daya apung kapal yang kemudian dibandingkan dengan ukuran yang kudapati langsung. Aku menyadari ada satu faktor data yang kurang, tekanan air laut. Dengan terpaksa aku harus bergantung hanya dengan perhitungan karena kelalaian kecil ketika mempersiapkan ekspedisi ini, tidak membawa barometer.

Malam tiba bersama sambutan angin laut yang begitu dingin. Kami semua berada di dalam geladak kapal, menikmati makan malam yang disediakan oleh koki terbaik kami, David. Daging sapi yang di tumis dengan minyak zaitun, dibumbui rempah terbaik dari Maluku menghangatkan perut kami semua yang ada di meja makan. Seiring kami makan aku membuka topik untuk kelanjutan ekspedisi ini.

"Bos, begini. Berhubung insiden sore ini kita akan membuat ketentuan dalam penelitian ini. Setuju?"

"Bagaimana tawaranmu?" Sahut Sandi dengan menatap makanannya menikmati setiap keping dari potongan daging yang tersedia di atas piring.

"Aku menawarkan kepada kalian seperti ini. Setiap titik mati yang kita temui kita saling bertukar giliran. Giliran tersebut hanya berlaku selama tiga kali setiap sepuluh menit, sebagai antisipasi kejadian yang sama sebelumnya."

"Apa itu?" Ahmad menanyakan.

"Kebocoran gas alam dul!" Gertak ku

Dari wastafel David menoleh mempertanyakan tawaranku, "Kalau seperti itu sistem yang lu tawarin, yang akan mengawasi kapal siapa?"

"Itu sebabnya aku hanya memberi tiga kesempatan Dav. Agar satu dari kita semua bergilir mengawasi kapal sekalian."

"Ok," kata terakhirku seiring kami menutup malam ini.

Tiga bulan berlalu di atas kapal ini. Data demi data kami kumpulkan seiring perjalanan kami. Banyak hal yang berlalu, banyak pengalaman yang terkenang, dan banyak pelabuhan yang kami kunjungi. Semua kita lalui hingga akhirnya target terakhir kami. Titik mati yang hingga sekarang masih menjadi sebuah misteri. Berbagai konspirasi selalu terkait dengan tempat ini. Teologi, politik, historis, bahkan saintifik selalu saja berkaitan dengan tempat ini. Siapapun yang mendengarnya pasti takut untuk mendekatinya, Segitiga Bermuda.

Berulang kali kami mendiskusikan terget ekspedisi ini. Hingga kami semua memutuskan untuk masuk ke dalam. Hanya dengan dukungan angin dan Tuhan kami semua memasuki perairan yang mereka katakan terkutuk itu. Langit gelap melakolis berhiaskan petir menyambut kami dengan begitu sinis. Perlahan angin di depan garis segitiga semakin kencang menarik kami ke dalam kabut yang melindungi perairan tersebut bagai tembok perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan saling merangkul satu sama lain kami berdoa agar selamat dari daerah ini.

Tidak dapat di percaya apa yang terlihat oleh mata kepala kami. Di langit terlihat kegelapan dan terang bersatu saling bergerak bagaikan minyak yang bertemu air. Ketika aku menoleh kepada jam ku, sangat tidak memungkinkan apa yang ku lihat. Jarum jam berhenti begitu saja, mekanisme jam yang ku pakai tersangkut statis pada posisi bandulnya. Perlahan aku menyadari apa yang terjadi, dengan sekejap aku berlari ke dalam geladak mencari buku teori konspirasi yang selalu ku baca sebelum menutup malam dan dalam sekejap juga tiba-tiba aku tersandung. Sandi melihat dengan begitu takut kepada ku. Terlihat begitu jelas di rautnya yang sangat traumatis, kulitnya menjadi pucat seketika seiring dia tumbang terduduk di atas geladak.

"Ada apa Sandi?" Sahut ku dengan nada keras.

Dengan terbata-bata dia membalasku, "Bu, bu, buku...," bersamaan ketika jarinya terarah kepada benda yang ada di bawah punggung kakiku.

Walau hanya spekulasi aku pun tidak percaya apa yang ku lihat. Buku yang ingin ku ambil begitu saja muncul di bawah kaki ku. Untuk memastikan kejadian ini aku masih memerlukan bukti kedua.

"David! Cobalah bayangkan spatula berada dalam genggamanmu, bukan 'di', bukan 'pada' tetapi di genggam."

"Buat apa?"

"Lakukan saja!" Teriakku. Aku harus bisa memastikan apakah benar kejadian pelik yang kucurigai ini sungguh terjadi.

Dengan seketika ada suara retakan cukup kecil, namun setara dengan suara hentakan kaki. Mungkin ini yang menyebabkan aku tidak menyadari buku yang menyandungku terdengar. Sekejap mata spatula tersebut muncul di genggaman David. Sebuah fenomena yang menakjubkan. Lenganku meraih ke dekat kaki ku untuk mengambil buku itu. Bagai maniak aku mengubrak-abrik halaman per halaman pada buku tersebut.

"Lihat halaman ini!" Lenganku mengarah ke depan tepat di hadapan wajah Ahmad dan Sandi, menunjukan halaman yang ku buka.

"Maksudmu dengan menunjukan halaman ini apa?" Sandi menyahut dengan raut wajahnya begitu bingung.

"Kau tidak melihatnya? Teori relativisme Einstein, Robekan dimensi, sungguh kalian tidak melihatnya. Seharusnya kalian sudah curiga ketika jam kalian berhenti. Perhatikan baik-baik, pada bandul jam yang kupakai. Ada yang aneh?"

"Oh iya! Bandul pada jam itu statis pada posisinya, hanya menghadap kebawah."

"Nah, tepat sekali kawanku. Kemudian perhatikan ketika ku putar posisi jamku."

"Tunggu, bukankah ketika posisinya stasioner seharusnya bandulnya tetap memutar mekanismenya?" Ujar David membalas argumenku.

"Benar sekali kawanku. Inilah yang ingin aku beritahu kepada kalian. Seiring waktu berjalan muncul daerah-daerah yang kita sebut sebagai 'titik mati' pada lautan bukan. Juga seiring itu perlahan legenda tentang segitiga Bermuda mulai berkembang sejak kasus penerbangan 19. Tetapi justru karena kasus itu muncul berbagai konspirasi tentang daerah ini mulai dari magis, historis, bahkan menyambung hingga kehidupan alien.

"Perlahan rasa curigaku mulai muncul. Terutama ketika aku menemukan sebuah tulisan saat aku berkunjung ke perpustakaan fakultas sastra. Di sana akau menemukan sebuah buku yang cukup menarik bagi mataku. Tertulis dalam bahasa Spanyol, dengan sampul tebal. Aku kurang tahu isinya apa tetapi aku dapat menjamin isinya pasti penting, yang membuatku semakin yakin adalah terteranya nama Christopher Colombus di bawah judul buku tersebut. Aku meminjam dari perpustakaan itu untuk menjadi kajianku sebelum ekspedisi uji coba ini.

"Aku meminta teman satu jurusanku — karena pemahamanya akan bahasa Spanyol yang cukup baik — untuk menerjemahkan beberapa halaman yang ku anggap penting. Mataku tertuju pada halaman yang menuliskan kalimat 'San Salvador'. Aku sangat  yakin ini pasti terdapat catatan perjalanan yang di tuliskan oleh Christopher. Sekitar dua hari untuk menyelesaikan beberapa halaman yang berisikan catatan pelayaran milik Colombus. Di dalamnya — seperti yang telah kuduga —  bahwa sesungguhnya alasan utama Colombus meleset dari tujuan utamanya bukan karena kurangnya pemahaman mereka akan navigasi melainkan karena gagalnya kompas mereka." kemudian kami semua masuk ke dalam geladak. Aku ingin mengambil sebuah peta tentang Amerika dan karena tidak adanya aturan fisika lainnya, kejadian yang sama terjadi lagi. Peta tersebut muncul dan menimpa Ahmad tepat di kepala.

"Lihat koordinat ini. Kalian hitung kembali koordinat yang sama namun lakukan di atas peta ini. Lihat garis perjalanan mereka baik-baik hingga menuju San Salvador."

Semua mata mereka membesar dalam ketakutan dan kekaguman ketika mereka melihatnya. Koordinat itu tepat di bawah pulau bermuda. Pada posisi itu kompas Colombus mengalami kekacauan, ia tidak dapat menentukan arah sehingga hanya menggunakan insting ia memilih untuk mengikuti jalur yang mereka lalui hingga mendarat di San Salvador. Sekarang kami semua menjalani jalur yang sama seperti Colombus untuk membuktikan teori kami yang tercantum dalam proposal pembangunan kapal ini. Perlahan mereka mencoba untuk menyerap apa yang terjadi pada hari ini, terduduk di meja makan merenungkan semua hal-hal baru yang sungguh mereka lihat di depan mata. Tenggelam dalam pikiran mereka perlahan mata kami semua memberat membawa kami ke dalam tenangnya tidur, seiring kami menutup malam.

Tidak terlama aku berbaring di atas kasurku yang berada di tingkat kedua di kanan ruangan, sebuah tremor berlalu di bawah kasurku. Mungkin tidak begitu signifikan namun cukup konsisten untuk membangunkanku dari tidurku yang kurang lelap. Serpihan debu dari langit-langit geladak menggelitik pelupuk mataku, memaksaku untuk membukanya. Serpihan debu mengiris mataku ketika mataku terbuka, rasa perihnya mengiringku hingga menghantam lantai. Lutut, siku lengan dan keningku terasa sangat nyeri — wajar saja karena aku terjatuh sekitar dua meter satu setengah meter dari tempatku tidur. Dengan satu lengan aku memaksa untuk berdiri sambil menahan sakit. Dengan kakiku yang sakit dengan terengah-engah aku keluar dari kamar, bergegas menuju dapur untuk membangunkan kawan-kawan ku.

Hati berubah menjadi dingin dalam sekejap ketika melihat fenomena yang terjadi dalam kapal ini. Di setiap sudut ruangan terdapat sobekan dimensi kecil, mengacakak-acak semua perabotan penting yang berada di dalam kapal. Tanpa berpikir dua kali tangan kanan kuhantam ke setiap pipi rekan-rekanku membangunkan mereka. Tampang mereka berubah pucat dalam hitungan detik ketika mereka melihat yang terjadi di sekitar kapal. Dengan panik kami semua berlari keluar ke atas geladak mengamankan diri dari fenomena yang berbahaya tersebut. Sebuah kejutan bagi kami melihat yang terjadi di luar, terbentuk robekan besar di langit membatasi void dan cahaya, riak air yang begitu tenang berubah menjadi sekejam badai, yang semakin kurang ku pahami adalah kemunculan petir dari udara di sekitar kami. Aku ingin mencari tahu apa yang terjadi saat ini? Maka aku mencoba untuk memanfaatkan fenomena aneh ini untuk mengambil bukuku. Dalam sepersekian detik aku terlempar sekitar satu meter dari tempat ku berdiri di sebelah Sandi. Mungkin tidak begitu jelas terlihat namun aku sangat yakin sekali robekan yang terjadi ketika bukuku loncat kepadaku sepanjang tinggi badanku. Suara yang dikeluarkan pun setara dengan ledakan pistol 454 Magnum dan suara itu tetap mendengung di telinga.

Penuh rasa sakit aku memaksakan tubuhku untuk kembali ke atas topangan kaki. Sandi dan Dave dengan begitu gesit merangkulku di bawah ketiak untuk menopangku. Aku meminta mereka untuk menggiringku ke depan buku yang keluar dari robekan itu. Dengan gesitnya Ahmad berlari mengambil buku itu dan berlari untuk memberikannya kembali kepadaku. Tetapi terlambat baginya, sebuah pusaran muncul di udara tepat di belakang Ahmad. Begitu kuat gaya yang muncul dari pusaran itu, seluruh angin yang berada di udara terhisap ke dalam. Kilatan demi kilatan bersemburan dari dalam pusaran tersebut menyambar ke berbagai arah. Satu hal pelik menjadi perhatianku pada fenomena kedua ini, setiap benda yang tersambar dengan seketika rapuh atau berkarat. Saat aku menyadarinya, mataku terbuka begitu lebar bagai akan keluar.

"Pusaran Waktu! Ahmad cepat kau menjauh dari situ atau kau akan hilang selamanya!" Seluruh suaraku ku keluarkan untuk mengarahkan dia ke tempat aman. Namun aku terlambat. Dia terhisap kedalam dalam hitungan detik.

"Enock kau bodoh mengapa kau membawa kami ke tempat terkutuk ini?!" Sahut David dengan amarah yang meluap dengan tangannya menghantam kepalaku.

Sandi dengan begitu panik ia menempelkan tubuhnya yang ceking ke pintu geladak. Memperburuk nasib pada Sandi, tanpa disadari pintu yang berada di belakang dia perlahan membusuk hingga menjadi abu. Di balik serpihan abu malapetaka telah menunggu Sandi, pusaran yang sama muncul di dalam geladak kapal menarik tubuhnya ke kehampaan. David bergegas terjun untuk menarik kaki Sandi keluar dari lubang mimpi buruk itu, yang berakhir sia-sia. Tangannya tergelincir dari jeans yang dikenakan Sandi. Semua harapan menjadi hilang seiring kegagalan David untuk menyelamatkan Sandi juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia terhisap ke dalam portal terkutuk itu.

Tidak ada peluang bagiku jika aku menetap di dalam kapal itu. Berpikir dua kali seakan tidak berguna, maka aku memilih untuk meninggalkan kapalku. Dari sisi yang seharusnya menjadi mahakarya malah menjadi sampah yang membusuk aku melontarkan diriku ke dalam dinginnya perairan Bermuda. Berenang sejauh mungkin dari serangan mimpi buruk sains ini. Sekitar sepuluh meter aku dari mahakaryaku aku menoleh kembali melihatnya membusuk dalam naungan petir-petir waktu. Hanya tiang-tiang yang menopang layar dari kapalku yang selamat dari serangan fenomena unik nan jahanam ini.

Keselamatan tidak akan terjamin jika aku hanya mendayung mempertahankan tubuhku di permukaan air ini. Dengan tenaga yang tersisa aku berenang kembalj kepada yang seharusnya bagian kapalku. Saat aku mendekat tanganku kuulurkan untuk meraih tiang utama yang mengambang tepat di depan wajahku. Pakaian yang sedangku pakai kubuka, kemudian kusobek menjadi dua buah lembaran yang cukup panjang, mengikat setiap keping dari tiang layar kapalku.

Sekarang kembali lagi ke situasiku di sini terombang-ambing di bawah gelapnya langit. Harapan pun tidak ada lagi hanya menunggu waktu habis hingga aku mati. Namun sepertinya itu akan berlangsung segera. Arus yang menopang rakitku tiba-tiba menjadi kuat, dan semakin cepat menarik rakitku. Tenagaku yang tersisa untuk mencari tahu apa lagi mimpi buruk yang menunggu dihadapanku. Seperti yang kuharapkan, malapetaka,  sebuah pusaran raksasa muncul tepat di tengah-tengah segitiga terkutuk ini. Aku dapat menentukan pusaran itu di tengah karena ukuran lubangnya yang seluas Pulau Kalimantan. Karena tidak ada harapan lagi aku hanya bisa menutup mata dan menerima akhirku. Masuk ke dalam pintu mimpi buruk dengan sambutan petir-petir di mulut pusaran.

Kepalaku terasa sakit tiba-tiba. Seperti sebuah dinding menghantam kepalaku. Aku berusaha membuka mataku. Apa yang kulihat membuat diriku sangat shock. Ini tidak mungkin terjadi, situasi tubuhku masih basah celanaku pun sama, jurnalku pun basah, dan tidak tahu bagaimana aku kembali berada di dalam kamarku di Kutek UI. Segera aku berlari ke ruang pengawas kos untuk meminjam telefon. Dengan penuh keraguan aku berusaha menghubungi David. Hatiku semakin dingin ketika dialah yang mengangkat telefon itu.

"Dav?" Tanyaku dengan suara begitu takut.

"Hey!" Dia menggertakku, "Ini apa yang sebenarnya terjadi hah?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak ingat? Bukankah harusnya aku sudah tidak ada lagi jika masuk ke dalam portal Itu? Malahan aku berdiri di sini."

Untuk beberapa detik aku merasakan jantungku berhenti sementara mendengar kata-kata itu. Ternyata ia menyadari kejadian mimpi buruk itu.

"Ok, ok. Aku tidak dapat menjelaskan bagaimana semua ini terjadi, tetapi aku mohon jangan sampai perihal ini terumbar paham."

"Setuju. Tetapi bagaimana dengan yang lain?"

"Aku ingin kau menghubungi mereka. Beritahu apa yang ku beritahu padamu mengerti?"

"Ya."


Oleh: Bara Sitohang

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...