Minggu, 09 Oktober 2016

Terjebak di Bermuda

Sudah beberapa tahun aku mengambang di permukaan perairan terkutuk ini. Hanya sebuah kepingan kayu yang ku ikat menjadi rakit yang mempertahankan hidupku. Awan yang begitu tebal dan gelap menghiasi langit di atas. Aku tidak mengerti lagi apa yang harus ku tulis dalam jurnal ini, bahkan aku tidak mengetahui apakah aku masih dapat bertahan hidup atau tidak.

Mungkin bagi siapapun yang membaca jurnalku tidak akan percaya apa yang ku tulis di sini. Berbagai pengalaman dan penemuan yang berakhir sia-sia karena yang menelitinya akan mati dalam waktu dekat ini. Tanpa ada harapan sedikit pun untuk bertahan hidup.
Aku sudah tidak ingat berapa tahun aku terombang-ambing di perairan ini, tetapi sangat jelas di kepalaku alasan pertama kali aku kemari. Untuk mengungkap sebuah misteri yang tidak pernah dipecahkan oleh dunia. Dari awam hingga ilmu saintifik masih belum ada penjelasan yang jelas tentang keberadaan segitiga terkutuk ini, segitiga Bermuda.

Empat rekanku dari ITB aku undang bersama untuk membantuku dalam penelitian ini. Hanya aku seorang mahasiswa dari UI, dari fakultas teknik, jurusan perkapalan. Kami mengajukan sebuah proposal pengujian kapal yang kami buat, untuk membuktikan bawa sebenarnya titik mati yang terdapat di lautan hanya berlaku bagi kapal bermotor.

Sekitar satu setengah bulan kami menunggu persetujuan dan akhirnya kesabaran kami telah dibayarkan. Pukul 21.00, aku sedang mengerjakan tugas di apartemen ku, dengan segelas kopi panas di kanan laptop dan suara televisi dari kamar menemani. Getaran notifikasi berdengung dari handphone yang berada di saku kiri celanaku. Sebuah email muncul, ketika ku buka ternyata merupakan surat penerimaan akan proposalku. Aku menghubungi rekan-rekanku dan memberitahukan bahwa kita menerima sekiranya Rp250.000.000,- sebagai biaya pelaksanaan. Setelah semua itu kami masing-masing menysun rencana pembangunan dengan mengkolaborasikan terhadap jadwal kuliah masing-masing.

Kalau tidak salah—karena ingatan ku telah buyar, terlalu banyak minum air laut untuk bertahan hidup— saat itu bulan November, kami semua berkumpul untuk merumuskan desain. Sebuah kapal, dengan bahan-bahan moderen namun, berlaku bagai kapal layar jaman pertengahan. Kami menyadari bahwa dana yang kami terima masih belum cukup. Sehingga setiap dari kami mencari usaha sampingan untuk menguatkan dana kami, dari berjualan, pelayanan masyarakat, dan sebagainya. Hingga dana kami bertambah Rp300.000.000 saat awal Desember tiba.

Ingatanku tidak dapat kugali lagi. Aku tidak mengingat apa yang telah terjadi setelah awal Desember itu. Aku hanya mengingat ketika kami berangkat, aku mengingat hari itu, begitu detil kejadiannya. Karya kapal kami berhasil dibangun dengan bentuk yang begitu indah. Sepanjang 20 meter dari hidung hingga buritan. Dua buah tiang berdiri tegak menopang tiga layar persegi dan satu layar segitiga. Walau tidak begitu tangguh secara perawakan tetapi kami tahu bahwa dia siap menghadapi kejamnya lautan. Kami semua menaikinya, langsung mempersiapkan pelayaran. Semua layar kami kendalikan melalui katrol yang terdapat di ruang kemudi. Dua orang rekanku berada di ruang masak, mempersiapkan makan siang. Kucatat kecepatan yang ditempuh oleh kapal kami, derajat kami berangkat dari pelabuhan menuju koordindat-koordinat yang di katakan sebagai titik mati lautan di dalam harianku.

Tujuan pertama ekspedisi kami adalah perbatasan Kalimantan dan Sulawesi. Koordinat yang kami tuju merupakan koordinat tempat kejadian jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun silam. Hidung kapal dirotasikan oleh rekanku, Ahmad sejauh 30 derajat menuju tempat jatuhnya pesawat. Terlihat dari teropongku sekitar 25 kilometer dari posisi kami koordinat kami akan menetap. Angin sangat mendukung dalam perjalanan kami untuk membuktikan teori kami.

Kejadian yang begitu unik terjadi, kami merasakan—jika perkiraanku benar—daya apung kapal kami turun begitu saja secara tiba-tiba. David yang dengan begitu menikmati kegiatan di dapurnya keluar dari geladak. Melompat bagai kodok yang sarangnya diganggu, berteriak dengan rasa panik yang dibumbui amarah. Dengan langkah tanggung-tanggung ia berkeliling mencariku.

"Enock, di mana lu?"

" Apa Dav?"

" Ada apa ini? Tiba-tiba saja kapal ini kandas."

"Bukan kandas kawanku. Tenggelam. "

"Tenggelam! Kamu mengajak kami dalam ekspedisi ini hanya untuk bunuh diri begitu? Jadi untuk...."

"Bukan begitu Dav. Tepat di bawah kita merupakan sebuah palung laut. Sepertinya di bawah sana ada kebocoran gas alam sehingga mengubah tekanan pada perairan ini."

Dengan wajah merah padam David kembali ke dapur mempersiapkan makanan kami. Dari depan pintu ia menyahut, "Ok, tetapi sampai kita tenggelam, nyawamu ku seret dengan ku mengerti!"

"Yo", sahutku membalas dengan nada tenang.

Kubuka kembali harianku, kutuliskan apa yang terjadi pada hari ini. Namun menurutku data itu tidak lengkap, masih ada rasa yang menggelitik di tulang punggungku. Perasaan yang membuatku bertanya-tanya apakah hanya ini saja yang terjadi di titik mati ini. Maka aku meminta Sandi, yang sedang berada di meja makan sedang bersantai dengan novelnya untuk mempersiapkan tali dan masker snorkle. Aku ingin turun, melihat secara langsung dan mengukur secara langsung data yang ada di depan mata. Aku sendiri menyiapkan sebuah tali ukur dan papan sketsa untuk merekam data-data yang ku dapat.

Tali telah siap di pinggiran kapal. Tali tersebut ku kaitkan dengan peralatan selamku, dengan tiga buah ring untuk menjamin keselamatan. Ketika mataku bertemu mulut palungan, rasa takut yang mendalam bercampur begitu saja dengan kekaguman terhadap karya geografis yang indah ini. Terasa juga pada tubuhku, tekanan air yang begitu ringan. Aroma metana yang menguap kabur dari retakan di bawah palung tercium pahit di hidungku. Perlahan pandanganku buyar karena pengaruh metana ini. Tanpa ku sadari semua menjadi gelap, aku tidak tahu apakah gas ini mempengaruhi mereka atau tidak, tetapi dalam hati aku sangat berharap tidak. Aku tidak ingin mati sia-sia seperti ini di awal ekspidisi kami.

Terasa panas kedua pipiku secara tiba-tiba. Ketika ku sadar, ternyata aku telah berada di geladak kapal, memuntahkan air dari paru-paru ku. Benny—nama yang kuberikan pada kapal ini ketika aku sadar—ternyata telah meninggalkan koordinat sebelumnya. Menyadari itu aku menggeliat mencari papan sketsa yang ku bawa. Memutar balik hampir setiap sudut kapal. Dengan penuh emosi aku berteriak, bertanya ke setiap rekanku tentang papan sketsa itu. Papan itu merupakan hal terpenting bagi penelitian ini.

Dari belakang Ahmad menghantamku dengan papan yang ku cari. "Ini bodoh, tadi waktu kami menemukanmu pingsan, papan ini masih terikat di lengan kirimu." Kata Ahmad dengan suara yang tawar di balik wajahnya yang khawatir.

Tanpa berpikir dua kali aku langsung memeluk Ahmad dan melemparnya ke sofa. Dengan langkah cepat aku mengarah ke kamar ku mencari harianku yang kuletakan di rak tepat di samping bantal tidur. Sangat beruntung data yang ada di papan sketsa belum terhapus, data sangat penting untuk ekspedisi ini. Dari desain dan perhitungan daya apung kapal yang kemudian dibandingkan dengan ukuran yang kudapati langsung. Aku menyadari ada satu faktor data yang kurang, tekanan air laut. Dengan terpaksa aku harus bergantung hanya dengan perhitungan karena kelalaian kecil ketika mempersiapkan ekspedisi ini, tidak membawa barometer.

Malam tiba bersama sambutan angin laut yang begitu dingin. Kami semua berada di dalam geladak kapal, menikmati makan malam yang disediakan oleh koki terbaik kami, David. Daging sapi yang di tumis dengan minyak zaitun, dibumbui rempah terbaik dari Maluku menghangatkan perut kami semua yang ada di meja makan. Seiring kami makan aku membuka topik untuk kelanjutan ekspedisi ini.

"Bos, begini. Berhubung insiden sore ini kita akan membuat ketentuan dalam penelitian ini. Setuju?"

"Bagaimana tawaranmu?" Sahut Sandi dengan menatap makanannya menikmati setiap keping dari potongan daging yang tersedia di atas piring.

"Aku menawarkan kepada kalian seperti ini. Setiap titik mati yang kita temui kita saling bertukar giliran. Giliran tersebut hanya berlaku selama tiga kali setiap sepuluh menit, sebagai antisipasi kejadian yang sama sebelumnya."

"Apa itu?" Ahmad menanyakan.

"Kebocoran gas alam dul!" Gertak ku

Dari wastafel David menoleh mempertanyakan tawaranku, "Kalau seperti itu sistem yang lu tawarin, yang akan mengawasi kapal siapa?"

"Itu sebabnya aku hanya memberi tiga kesempatan Dav. Agar satu dari kita semua bergilir mengawasi kapal sekalian."

"Ok," kata terakhirku seiring kami menutup malam ini.

Tiga bulan berlalu di atas kapal ini. Data demi data kami kumpulkan seiring perjalanan kami. Banyak hal yang berlalu, banyak pengalaman yang terkenang, dan banyak pelabuhan yang kami kunjungi. Semua kita lalui hingga akhirnya target terakhir kami. Titik mati yang hingga sekarang masih menjadi sebuah misteri. Berbagai konspirasi selalu terkait dengan tempat ini. Teologi, politik, historis, bahkan saintifik selalu saja berkaitan dengan tempat ini. Siapapun yang mendengarnya pasti takut untuk mendekatinya, Segitiga Bermuda.

Berulang kali kami mendiskusikan terget ekspedisi ini. Hingga kami semua memutuskan untuk masuk ke dalam. Hanya dengan dukungan angin dan Tuhan kami semua memasuki perairan yang mereka katakan terkutuk itu. Langit gelap melakolis berhiaskan petir menyambut kami dengan begitu sinis. Perlahan angin di depan garis segitiga semakin kencang menarik kami ke dalam kabut yang melindungi perairan tersebut bagai tembok perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan. Dengan saling merangkul satu sama lain kami berdoa agar selamat dari daerah ini.

Tidak dapat di percaya apa yang terlihat oleh mata kepala kami. Di langit terlihat kegelapan dan terang bersatu saling bergerak bagaikan minyak yang bertemu air. Ketika aku menoleh kepada jam ku, sangat tidak memungkinkan apa yang ku lihat. Jarum jam berhenti begitu saja, mekanisme jam yang ku pakai tersangkut statis pada posisi bandulnya. Perlahan aku menyadari apa yang terjadi, dengan sekejap aku berlari ke dalam geladak mencari buku teori konspirasi yang selalu ku baca sebelum menutup malam dan dalam sekejap juga tiba-tiba aku tersandung. Sandi melihat dengan begitu takut kepada ku. Terlihat begitu jelas di rautnya yang sangat traumatis, kulitnya menjadi pucat seketika seiring dia tumbang terduduk di atas geladak.

"Ada apa Sandi?" Sahut ku dengan nada keras.

Dengan terbata-bata dia membalasku, "Bu, bu, buku...," bersamaan ketika jarinya terarah kepada benda yang ada di bawah punggung kakiku.

Walau hanya spekulasi aku pun tidak percaya apa yang ku lihat. Buku yang ingin ku ambil begitu saja muncul di bawah kaki ku. Untuk memastikan kejadian ini aku masih memerlukan bukti kedua.

"David! Cobalah bayangkan spatula berada dalam genggamanmu, bukan 'di', bukan 'pada' tetapi di genggam."

"Buat apa?"

"Lakukan saja!" Teriakku. Aku harus bisa memastikan apakah benar kejadian pelik yang kucurigai ini sungguh terjadi.

Dengan seketika ada suara retakan cukup kecil, namun setara dengan suara hentakan kaki. Mungkin ini yang menyebabkan aku tidak menyadari buku yang menyandungku terdengar. Sekejap mata spatula tersebut muncul di genggaman David. Sebuah fenomena yang menakjubkan. Lenganku meraih ke dekat kaki ku untuk mengambil buku itu. Bagai maniak aku mengubrak-abrik halaman per halaman pada buku tersebut.

"Lihat halaman ini!" Lenganku mengarah ke depan tepat di hadapan wajah Ahmad dan Sandi, menunjukan halaman yang ku buka.

"Maksudmu dengan menunjukan halaman ini apa?" Sandi menyahut dengan raut wajahnya begitu bingung.

"Kau tidak melihatnya? Teori relativisme Einstein, Robekan dimensi, sungguh kalian tidak melihatnya. Seharusnya kalian sudah curiga ketika jam kalian berhenti. Perhatikan baik-baik, pada bandul jam yang kupakai. Ada yang aneh?"

"Oh iya! Bandul pada jam itu statis pada posisinya, hanya menghadap kebawah."

"Nah, tepat sekali kawanku. Kemudian perhatikan ketika ku putar posisi jamku."

"Tunggu, bukankah ketika posisinya stasioner seharusnya bandulnya tetap memutar mekanismenya?" Ujar David membalas argumenku.

"Benar sekali kawanku. Inilah yang ingin aku beritahu kepada kalian. Seiring waktu berjalan muncul daerah-daerah yang kita sebut sebagai 'titik mati' pada lautan bukan. Juga seiring itu perlahan legenda tentang segitiga Bermuda mulai berkembang sejak kasus penerbangan 19. Tetapi justru karena kasus itu muncul berbagai konspirasi tentang daerah ini mulai dari magis, historis, bahkan menyambung hingga kehidupan alien.

"Perlahan rasa curigaku mulai muncul. Terutama ketika aku menemukan sebuah tulisan saat aku berkunjung ke perpustakaan fakultas sastra. Di sana akau menemukan sebuah buku yang cukup menarik bagi mataku. Tertulis dalam bahasa Spanyol, dengan sampul tebal. Aku kurang tahu isinya apa tetapi aku dapat menjamin isinya pasti penting, yang membuatku semakin yakin adalah terteranya nama Christopher Colombus di bawah judul buku tersebut. Aku meminjam dari perpustakaan itu untuk menjadi kajianku sebelum ekspedisi uji coba ini.

"Aku meminta teman satu jurusanku — karena pemahamanya akan bahasa Spanyol yang cukup baik — untuk menerjemahkan beberapa halaman yang ku anggap penting. Mataku tertuju pada halaman yang menuliskan kalimat 'San Salvador'. Aku sangat  yakin ini pasti terdapat catatan perjalanan yang di tuliskan oleh Christopher. Sekitar dua hari untuk menyelesaikan beberapa halaman yang berisikan catatan pelayaran milik Colombus. Di dalamnya — seperti yang telah kuduga —  bahwa sesungguhnya alasan utama Colombus meleset dari tujuan utamanya bukan karena kurangnya pemahaman mereka akan navigasi melainkan karena gagalnya kompas mereka." kemudian kami semua masuk ke dalam geladak. Aku ingin mengambil sebuah peta tentang Amerika dan karena tidak adanya aturan fisika lainnya, kejadian yang sama terjadi lagi. Peta tersebut muncul dan menimpa Ahmad tepat di kepala.

"Lihat koordinat ini. Kalian hitung kembali koordinat yang sama namun lakukan di atas peta ini. Lihat garis perjalanan mereka baik-baik hingga menuju San Salvador."

Semua mata mereka membesar dalam ketakutan dan kekaguman ketika mereka melihatnya. Koordinat itu tepat di bawah pulau bermuda. Pada posisi itu kompas Colombus mengalami kekacauan, ia tidak dapat menentukan arah sehingga hanya menggunakan insting ia memilih untuk mengikuti jalur yang mereka lalui hingga mendarat di San Salvador. Sekarang kami semua menjalani jalur yang sama seperti Colombus untuk membuktikan teori kami yang tercantum dalam proposal pembangunan kapal ini. Perlahan mereka mencoba untuk menyerap apa yang terjadi pada hari ini, terduduk di meja makan merenungkan semua hal-hal baru yang sungguh mereka lihat di depan mata. Tenggelam dalam pikiran mereka perlahan mata kami semua memberat membawa kami ke dalam tenangnya tidur, seiring kami menutup malam.

Tidak terlama aku berbaring di atas kasurku yang berada di tingkat kedua di kanan ruangan, sebuah tremor berlalu di bawah kasurku. Mungkin tidak begitu signifikan namun cukup konsisten untuk membangunkanku dari tidurku yang kurang lelap. Serpihan debu dari langit-langit geladak menggelitik pelupuk mataku, memaksaku untuk membukanya. Serpihan debu mengiris mataku ketika mataku terbuka, rasa perihnya mengiringku hingga menghantam lantai. Lutut, siku lengan dan keningku terasa sangat nyeri — wajar saja karena aku terjatuh sekitar dua meter satu setengah meter dari tempatku tidur. Dengan satu lengan aku memaksa untuk berdiri sambil menahan sakit. Dengan kakiku yang sakit dengan terengah-engah aku keluar dari kamar, bergegas menuju dapur untuk membangunkan kawan-kawan ku.

Hati berubah menjadi dingin dalam sekejap ketika melihat fenomena yang terjadi dalam kapal ini. Di setiap sudut ruangan terdapat sobekan dimensi kecil, mengacakak-acak semua perabotan penting yang berada di dalam kapal. Tanpa berpikir dua kali tangan kanan kuhantam ke setiap pipi rekan-rekanku membangunkan mereka. Tampang mereka berubah pucat dalam hitungan detik ketika mereka melihat yang terjadi di sekitar kapal. Dengan panik kami semua berlari keluar ke atas geladak mengamankan diri dari fenomena yang berbahaya tersebut. Sebuah kejutan bagi kami melihat yang terjadi di luar, terbentuk robekan besar di langit membatasi void dan cahaya, riak air yang begitu tenang berubah menjadi sekejam badai, yang semakin kurang ku pahami adalah kemunculan petir dari udara di sekitar kami. Aku ingin mencari tahu apa yang terjadi saat ini? Maka aku mencoba untuk memanfaatkan fenomena aneh ini untuk mengambil bukuku. Dalam sepersekian detik aku terlempar sekitar satu meter dari tempat ku berdiri di sebelah Sandi. Mungkin tidak begitu jelas terlihat namun aku sangat yakin sekali robekan yang terjadi ketika bukuku loncat kepadaku sepanjang tinggi badanku. Suara yang dikeluarkan pun setara dengan ledakan pistol 454 Magnum dan suara itu tetap mendengung di telinga.

Penuh rasa sakit aku memaksakan tubuhku untuk kembali ke atas topangan kaki. Sandi dan Dave dengan begitu gesit merangkulku di bawah ketiak untuk menopangku. Aku meminta mereka untuk menggiringku ke depan buku yang keluar dari robekan itu. Dengan gesitnya Ahmad berlari mengambil buku itu dan berlari untuk memberikannya kembali kepadaku. Tetapi terlambat baginya, sebuah pusaran muncul di udara tepat di belakang Ahmad. Begitu kuat gaya yang muncul dari pusaran itu, seluruh angin yang berada di udara terhisap ke dalam. Kilatan demi kilatan bersemburan dari dalam pusaran tersebut menyambar ke berbagai arah. Satu hal pelik menjadi perhatianku pada fenomena kedua ini, setiap benda yang tersambar dengan seketika rapuh atau berkarat. Saat aku menyadarinya, mataku terbuka begitu lebar bagai akan keluar.

"Pusaran Waktu! Ahmad cepat kau menjauh dari situ atau kau akan hilang selamanya!" Seluruh suaraku ku keluarkan untuk mengarahkan dia ke tempat aman. Namun aku terlambat. Dia terhisap kedalam dalam hitungan detik.

"Enock kau bodoh mengapa kau membawa kami ke tempat terkutuk ini?!" Sahut David dengan amarah yang meluap dengan tangannya menghantam kepalaku.

Sandi dengan begitu panik ia menempelkan tubuhnya yang ceking ke pintu geladak. Memperburuk nasib pada Sandi, tanpa disadari pintu yang berada di belakang dia perlahan membusuk hingga menjadi abu. Di balik serpihan abu malapetaka telah menunggu Sandi, pusaran yang sama muncul di dalam geladak kapal menarik tubuhnya ke kehampaan. David bergegas terjun untuk menarik kaki Sandi keluar dari lubang mimpi buruk itu, yang berakhir sia-sia. Tangannya tergelincir dari jeans yang dikenakan Sandi. Semua harapan menjadi hilang seiring kegagalan David untuk menyelamatkan Sandi juga untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Ia terhisap ke dalam portal terkutuk itu.

Tidak ada peluang bagiku jika aku menetap di dalam kapal itu. Berpikir dua kali seakan tidak berguna, maka aku memilih untuk meninggalkan kapalku. Dari sisi yang seharusnya menjadi mahakarya malah menjadi sampah yang membusuk aku melontarkan diriku ke dalam dinginnya perairan Bermuda. Berenang sejauh mungkin dari serangan mimpi buruk sains ini. Sekitar sepuluh meter aku dari mahakaryaku aku menoleh kembali melihatnya membusuk dalam naungan petir-petir waktu. Hanya tiang-tiang yang menopang layar dari kapalku yang selamat dari serangan fenomena unik nan jahanam ini.

Keselamatan tidak akan terjamin jika aku hanya mendayung mempertahankan tubuhku di permukaan air ini. Dengan tenaga yang tersisa aku berenang kembalj kepada yang seharusnya bagian kapalku. Saat aku mendekat tanganku kuulurkan untuk meraih tiang utama yang mengambang tepat di depan wajahku. Pakaian yang sedangku pakai kubuka, kemudian kusobek menjadi dua buah lembaran yang cukup panjang, mengikat setiap keping dari tiang layar kapalku.

Sekarang kembali lagi ke situasiku di sini terombang-ambing di bawah gelapnya langit. Harapan pun tidak ada lagi hanya menunggu waktu habis hingga aku mati. Namun sepertinya itu akan berlangsung segera. Arus yang menopang rakitku tiba-tiba menjadi kuat, dan semakin cepat menarik rakitku. Tenagaku yang tersisa untuk mencari tahu apa lagi mimpi buruk yang menunggu dihadapanku. Seperti yang kuharapkan, malapetaka,  sebuah pusaran raksasa muncul tepat di tengah-tengah segitiga terkutuk ini. Aku dapat menentukan pusaran itu di tengah karena ukuran lubangnya yang seluas Pulau Kalimantan. Karena tidak ada harapan lagi aku hanya bisa menutup mata dan menerima akhirku. Masuk ke dalam pintu mimpi buruk dengan sambutan petir-petir di mulut pusaran.

Kepalaku terasa sakit tiba-tiba. Seperti sebuah dinding menghantam kepalaku. Aku berusaha membuka mataku. Apa yang kulihat membuat diriku sangat shock. Ini tidak mungkin terjadi, situasi tubuhku masih basah celanaku pun sama, jurnalku pun basah, dan tidak tahu bagaimana aku kembali berada di dalam kamarku di Kutek UI. Segera aku berlari ke ruang pengawas kos untuk meminjam telefon. Dengan penuh keraguan aku berusaha menghubungi David. Hatiku semakin dingin ketika dialah yang mengangkat telefon itu.

"Dav?" Tanyaku dengan suara begitu takut.

"Hey!" Dia menggertakku, "Ini apa yang sebenarnya terjadi hah?"

"Maksudmu?"

"Kau tidak ingat? Bukankah harusnya aku sudah tidak ada lagi jika masuk ke dalam portal Itu? Malahan aku berdiri di sini."

Untuk beberapa detik aku merasakan jantungku berhenti sementara mendengar kata-kata itu. Ternyata ia menyadari kejadian mimpi buruk itu.

"Ok, ok. Aku tidak dapat menjelaskan bagaimana semua ini terjadi, tetapi aku mohon jangan sampai perihal ini terumbar paham."

"Setuju. Tetapi bagaimana dengan yang lain?"

"Aku ingin kau menghubungi mereka. Beritahu apa yang ku beritahu padamu mengerti?"

"Ya."


Oleh: Bara Sitohang

1 komentar:

  1. Bagus bar cerpenya. Ditunggu update nya. Kalo bisa post kaskus juga. Mesti banyak yang suka

    BalasHapus

Kampus F.U.B.A.R. Vol. II Epilog

Ini perasaanku atau udara di ruangan ini berat kali bos. Mungkin aku merasa seperti ini karena adrenalinku yang naik kali? Tetesan keringat...